Pdt. Dr. Mery Kolimon Hamba Tuhan Cerdas dan Tangguh dari Timor

122
Pdt. Dr. Mery Kolimon. Pendeta cerdas, tangguh dan peduli sesama.

Narwastu.id-Perempuan menjadi ketua sinode tentu masih bisa dihitung dengan jari, dan salah satunya adalah Pdt. Dr. Mery Kolimon yang kini menjabat sebagai Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Tahun lalu ia kembali terpilih memimpin GMIT untuk periode kedua pada 2020-2023. Doktor Teologia jebolan Protestant Theological University The Nederland tahun 2008 ini, dikenal sosok yang familiar dengan konsep gender dan feminisme. Hal tersebut diperkenalkan oleh sang ibunda, Sarlin, yang merupakan lulusan dari Yayasan Alpha-Omega, sebuah yayasan di bawah GMIT yang bergerak dalam isu pemberdayaan masyarakat. Menurutnya, para perempuan NTT (Nusa Tenggara Timur) saat ini bisa mulai menjadi pemimpin adalah berkat para ibu yang bekerja keras dan berkomitmen agar para anak perempuan bisa sekolah. Karena itu, Pdt. Mery ingin mendedikasikan diri demi para perempuan di NTT. Beberapa tahun lalu, di tengah suasana sukacita merayakan usia 70 tahun GMIT dan 500 tahun reformasi gereja, sebuah kabar gembira dari Swiss menyatakan Pdt. Mery Kolimon dinobatkan sebagai peraih penghargaan Sylvia Michel Prize.

Sylvia Michel Prize merupakan penghargaan berskala internasional yang dianugerahkan kepada perempuan- perempuan bersahaja, baik secara individu maupun berkelompok, yang berperan aktif dalam memajukan peranan kaum perempuan di sektor kepemimpinan gereja dan masyarakat. Penghargaan ini merupakan penghormatan terhadap Sylvia-Michel, yang merupakan ketua sinode pertama dari Gereja Reformed Argovia di Swiss.

Penghargaan dua tahunan itu dikelola oleh Reformed Cantonal Church of Argovia (Gereja Reformasi Kanton Argovia) di Swiss dan World Communion of Reformed Churches/WCRC (Persekutuan Gereja-Gereja Reformasi Sedunia). Sekretaris Eksekutif WCRC untuk Keadilan dan Kemitraan, Arce Valentin, mengatakan, “Bagi kami, isu pemberdayaan perempuan adalah isu keadilan, dan kami adalah persekutuan yang berkomitmen kepada keadilan.”

Sekadar tahu, Pdt. Dr. Mery L.Y. Kolimon lahir di SoE, Timor Tengah Selatan, 2 Juni 1972. Suaminya Ir. Yustus Yeremias Maro, serta anak-anaknya, Rulien Maro, Alberd Willem Maro, Meriana Nomlene. Masa kecilnya dijalani di pedalaman Timor, dan ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya. Tahun 1995 ia menamatkan studi teologi dari Fakultas Teologi UKAW Kupang dan ditahbiskan sebagai pendeta pada 1997. Sejak 2001 ia ditugaskan oleh Gereja Masehi Injili di Timor untuk melanjutkan studi Magister di bidang Misiologi pada Gereformeerde Theologische Universiteit di Kampen, Belanda. Tahun 2008, Pdt. Mery menyelesaikan studi S3-nya di The Protestant Theological University Kampen, dengan disertasi: A Theology of Empowerment. Reflections from A West Timorese Perspective, (Berlin: Lit Verlag, 2008).

Sejak awal Pdt. Mery mengabdi di almamaternya di Timor dengan mengasuh mata kuliah Misiologi, Teologi Kontekstual, dan Teologi Agama-Agama. Ia pernah menjadi Direktur Program Pascasarjana UKAW Kupang. Lalu pada 2009 ia bersama sejumlah kawannya mendirikan Jaringan Perempuan Indonesia Timur untuk Studi Perempuan Agama dan Budaya (JPIT). Selanjutnya ia pernah menjadi koordinator jaringan tersebut. Bersama kawan kawannya di JPIT, Pdt. Mery meneliti dan menulis buku-buku, antara lain: Memori-Memori Terlarang: Perempuan Penyintas Tragedi 1965 di NTT dan Para Perempuan di Garis Terdepan. Sejak Oktober 2015, Pdt. Mery terpilih sebagai Ketua Majelis Sinode GMIT periode 2015 2019.

Dan pada Maret 2018, Pdt. Mery menerima penghargaan Sylvia-Michel Prize dari Persekutuan Gereja-gereja di Swiss dalam kerja sama dengan Dewan Gereja Reformasi Se-Dunia (WCRC). Pada Juli 2019, ia pun mendapat penghargaan untuk pelayanan di bidang hak asasi manusia dari Global Ministries, yaitu salah satu mitra GMIT di USA. Di Sidang Sinode GMIT pada Oktober 2019, Pdt. Mery terpilih untuk periode kedua sebagai Ketua MS GMIT.

Kepada Majalah NARWASTU, Pdt. Merry bicara tentang pandemi Covid-19 dan perayaan Natal tahun ini. Menurutnya, sudah mau dua tahun masyarakat dunia dan Indonesia merayakan Natal di tengah situasi keprihatinan. Dan seperti seruan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Sinode GMIT pun berpedoman pada spiritualitas ugahari atau kesederhanaan. Dalam Natal ini, katanya, Allah yang maha tinggi turun dengan mengambil rupa seorang hamba. Dalam kondisi seperti ini, kesederhanaan dalam merayakan Natal harus diterapkan. Dan, ujarnya, kita perlu menyatakan solidaritas pada sesama kita yang terdampak pandemi. Menurutnya, Wakil Presiden RI KH Maruf Amin baru-baru ini ke NTT dan bicara kemiskinan ekstrem. Dan ini patut kita perhatikan. “Pandemi ini sesungguhnya mengajarkan pada kita supaya ada tindakan bela rasa dalam membantu sesama. Akibat badai Seroja beberapa waktu lalu ada banyak warga yang tinggal di pengungsian, sehingga mereka merayakan Natal secara sederhana,” ujar Ibu Pendeta yang cerdas dan nasionalis ini.

Menurutnya, gereja tak diutus untuk dirinya sendiri, namun gereja mesti jadi berkat bagi sesamanya. Indonesia adalah rumah bersama bagi banyak suku dan agama. Dan di tengah kemajemukan ini gereja mesti terus menunjukkan persahabatan dan gotong royong. Dan kita berharap agar di Tahun Baru 2022 ekonomi Indonesia bangkit, dan penularan virus corona semakin menurun. Kita harapkan pula agar pertanian, peternakan dan perikanan sebagai kekuatan ekonomi bangsa bisa terus diberdayakan.

“Kita jangan saling menyalahkan dengan situasi pandemi ini. Seluruh dunia sekarang terdampak pandemi. Sehingga kita mesti bangkit, dan Indonesia adalah negara tangguh dan harus bersatu. Roh Kudus akan memberi daya kepada kita ditengah goncangan hidup ini. Roh Kudus membuat kita bangkit dan tidak tergeletak,” paparnya. Ibu Pendeta ini juga mengajak agar umat Kristen dan anak bangsa menjaga persatuan dan cerdas dalam memanfaatkan media sosial (Medsos). Menurutnya, sekarang masyarakat kita berada dalam tradisi lisan di media digital seperti medsos, sehingga perlu literasi dan edukasi di era digital. “Kita harus terus mengembangkan kebaikan hidup, dan kedewasaan berdemokrasi, termasuk dalam memanfaatkan medsos,” ujar perempuan yang punya motto: Pendidikan adalah alat yang ampuh untuk melawan belenggu patriarki.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here