Runtuhnya Etika Komunikasi atas Kasus Intoleran

* Oleh: Serepina Tiur Maida, S.Sos.,M.Pd., M.I.Kom

40
Sebuah potret intoleran di Tanah Air.

Narwastu.id – Pembubaran paksa rumah doa Jemaat GKSI Anugerah di Padang, Jawa Barat, pada akhir Juli 2025 lalu bukan hanya tentang perusakan properti dan terganggunya ibadah. Lebih dari itu, peristiwa ini menjadi cermin tentang nilai-nilai Pancasila dan etika komunikasi diuji di tengah kehidupan masyarakat yang beragam. Dahsyat! Masyarakat menangis jika di posisi sebagai korban, namun akan tertawa jika berada di posisi sebaliknya. Dalam Pancasila, sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa dan sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menegaskan, setiap warga negara memiliki hak untuk beribadah sesuai keyakinannya. Sejalan dengan itu, etika komunikasi menuntun kita untuk menyikapi perbedaan pandangan atau keyakinan melalui dialog, mendengarkan dengan seksama, dan mencari solusi bersama, bukan lewat kekerasan atau pemaksaan.

Sayangnya, peristiwa di Padang menunjukkan hal sebaliknya. Alih-alih berdiskusi atau menggunakan jalur resmi, sekelompok warga memilih bertindak barbar, anarkis dan menimbulkan kerusakan. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak hubungan antarumat, rentan memutus jembatan komunikasi, dan menimbulkan trauma, terutama bagi anak-anak yang menyaksikan kejadian tersebut. Tragis dan ini harus diselesaikan dengan hati yang dingin, bukan dengan membalas. Tetapi dengan membuka identitas diri. Siapa Aku dan siapa kamu. Penyelesaian konflik berbasis keberagaman membutuhkan kesediaan untuk membuka ruang percakapan yang aman dan transparans. Dalam etika komunikasi, semua pihak saling menghargai, menghindari kata-kata yang memicu emosi negatif, serta mencari solusi yang memelihara persatuan. Prinsip ini sejalan dengan sila ketiga: Persatuan Indonesia dan sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kejadian di Padang menjadi pengingat bahwa menjaga toleransi tidak cukup hanya dihafal dalam upacara atau tercantum di buku pelajaran. Nilai-nilai Pancasila dan etika komunikasi harus dipraktikkan setiap hari, terutama ketika kita berhadapan dengan perbedaan. Dialog yang santun dan terbuka adalah kunci agar keberagaman tetap menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.

Serepina Tiur Maida, S.Sos., M.Pd., M.I.Kom

Sudahkah kita menjadi para pelaku yang tahu dan paham akan Pancasila. Secara formil kita memperoleh pengetahuan Pancasila. Tidak hanya di sekolah, tetapi dari keluarga pun kita diajari oleh orangtua kita untuk saling menghormati dan menghargai agama apapun di Indonesia. Dan di sini perlu tanggapan tegas institusi dan peran pemerintah. Dan sesungguhnya berbagai lembaga gereja dan ormas Islam, serta partai politik dan anggota legislatif sudah bereaksi keras terhadap kejadian itu.

Dan beberapa liputan atau berita dari media telah mengangkat tentang intoleransi itu, antara lain di antaranya berasal dari PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) yang menyatakan bahwa: Tindakan itu merupakan “racun intoleransi”, yang tidak hanya merusak fisik, tetapi juga mental anak-anak yang menjadi saksi langsung kekerasan tersebut dan SETARA Institute mengutuk pembubaran itu sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan hak asasi, yang harus diperlakukan sebagai tindak pidana, bukan sekadar kesalahpahaman.

Penyelesaian di tingkat lokal sempat diupayakan melalui mediasi bersama tokoh lintas agama dan adat di hadapan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Padang. Menghasilkan pernyataan perdamaian bahwa insiden tersebut murni masalah sosial, bukan SARA, serta komitmen untuk menjaga kerukunan dan komunikasi antarkelompok tetap berjalan.

Dan kita pun melihat di kejadian itu ada nilai-nilai Pancasila yang “tertabrak.” Insiden ini pun mencederai beberapa prinsip utama dalam Pancasila:

  1. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa: Menjamin setiap warga negara memiliki hak menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Penyerangan ini secara jelas menghalangi praktik ibadah tersebut.
  2. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab: Kekerasan terhadap anak-anak dan jemaat merupakan tindakan jauh dari adab dan kemanusiaan.
  3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia: Ketegangan berbasis keyakinan mengancam semangat persatuan dan perbedaan.
  4. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan: Harusnya musyawarah menjadi jalan penyelesaian konflik, bukan aksi main hakim sendiri.
  5. Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Semua warga, tanpa pengecualian, berhak mendapat perlindungan dan keadilan.

Peristiwa ini tidak hanya melanggar norma hukum, tetapi juga nilai dasar negara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa dan pembubaran rumah doa di Padang bukan sekadar insiden lokal. Ia mencerminkan kegagalan menerjemahkan dan mempertahankan nilai-nilai dasar Pancasila. Negara Pancasila menuntut perlindungan terhadap setiap warganya, terlepas dari agama, ras, maupun latar belakang manapun. Peristiwa ini tidak seharusnya diselesaikan dengan menghapus jejak pemberitaan, melainkan melalui penegakan hukum yang tegas agar pelaku ekstremisme lokal mendapat efek jera. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan lembaga adat perlu diperkuat untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keberagaman melalui dialog dan literasi identitas. Pemerintah daerah maupun pusat harus berperan aktif menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama dalam merawat keragaman. Selain itu, pendidikan karakter dan nilai Pancasila di sekolah perlu diperkuat sejak dini guna menumbuhkan sikap toleransi di kalangan generasi muda, agar Pancasila benar-benar menjadi roh bangsa, nilai-nilainya perlu diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya diucapkan. Peristiwa di Padang menjadi pengingat bagi seluruh elemen agama, negara, dan masyarakat untuk bersatu menjaga serta menegakkan prinsip persatuan dan toleransi.

* Penulis adalah dosen ilmu komunikasi, praktisi pendidikan serta pengamat sosial dan kemasyarakatan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here