Narwastu.ID – Tulisan kesaksian yang disajikan Redaksi Majalah NARWASTU kali ini, mengisahkan tentang pengalaman hidup seorang pengikut Kristus yang pernah nyaris meninggal, dan hidup lagi karena kuasa doa. Peristiwa ini akan selalu dikenang St. Drs. Ungkap Manuhari Pandapotan (UMP) Sianturi dalam hidupnya. Kakek kelahiran Lintong Ni Huta, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 17 Agustus 1945 ini, berikut ini mengisahkan pengalaman imannya. “Dan kubagikan pengalaman ini sepanjang hidupku, karena terjadi dua kali,” ujar St. UMP Sianturi. Kisahnya sebagai berikut. Peristiwa pertama. UMP Sianturi dihanyutkan di Sungai Bah Bolon, salah satu sungai besar di Sumatera Utara. “Kami (ayah, ibu, saya, adik perempuan) tinggal tidak jauh dari sungai tersebut, sekitar 50 meter. Hampir setiap pagi saya dibawa ke sungai itu, ketika itu berusia saya antara lima setengah hingga enam tahun. Setiap pagi jika ke sungai, saya pasti bermain di antara bebatuan yang menonjol di sana,” terang St. UMP Sianturi mengenang masa kecilnya.
Suatu saat, imbuhnya, seperti biasa, setelah ia menempatkan adiknya di tempat aman dan ibunya mengerjakan pekerjaan, UMP Sianturi pun mengambil tempat biasa. “Entah bagaimana, mungkin saya tergelincir, tidak ada pegangan, atau mungkin batu yang biasa saya duduki itu tertutup oleh air. Karena di hulu sungai ada hujan, saya terbawa oleh arus yang lebih kencang dari biasanya. Setelah saya dihanyutkan air sungai beberapa saat barulah orang-orang yang melihat bersorak-sorak riuh. ‘Anak hanyut, anak hanyut!’ Ibu saya pun melihat dan mulai ikut berteriak, ‘Anakku, anakku! Tolong, Tuhan, tolong, Tuhan, tolong anakku!’ Dan itu diteriakkan berulang kali,” paparnya.
Itu diteriakkan sambil mengikuti arah arus sungai sampai dekat. Tetapi apa daya ibunya tidak dapat berenang dan tidak ada seorang pun yang bersedia atau berani menolong. Bahkan, seorang laki-laki yang pandai berenang pun takut menolongnya. Masalahnya saat itu UMP Sianturi kecil telah berada di dekat jembatan yang memiliki saluran ke pabrik es batu. Airnya di sana berputar dan menghisap. Barang terapung apapun akan terhisap, baru kemudian timbul kembali. Sekuat tenaga seseorang pun tidak akan mampu menolong.
Namun, apa yang terjadi? Seseorang yang berada di atas jembatan itu, berpakaian serba putih, celana dan kemejanya putih, terjun dan tepat pada posisi UMP Sianturi kecil. “Ia menangkap saya dan membawa saya ke tepian. Setelah itu, melihat saya bernafas, ia langsung menyerahkan saya ke pangkuan ibu. Entah apa kata-kata ibu kepada sang penolong. Jelas sekali mungkin ucapan terima kasih berkali-kali. Suatu mukjizat, kejadian ini berlangsung 20 hingga 25 menit, saya tidak minum air sungai dan tetap hidup. Sang penolong pun setelah itu langsung pergi tanpa sepatah kata dan tidak bersua lagi,” ucapnya bersaksi tentang peristiwa menegangkan puluhan tahun lalu itu.
Lalu, peristiwa kedua. Ditangani oleh beberapa dokter karena sakit ia tidak sembuh. Tetapi saat bersama dua orang “mantri,” dengan syarat dan doa bersama, UMP Sianturi pulih seketika. “Usia saya saat itu antara 24 sampai 25 tahun, menderita kelumpuhan. Saya diobati oleh 3 sampai 4 dokter yang bertugas di rumah sakit yang sama dengan dua orang mantri. Keduanya seiman dengan saya, yaitu Kristen. Setelah lebih dari 4 sampai 5 bulan penyakit saya tak kunjung sembuh, sang mantri bertanya, ‘Menurut para dokter, saya melihat anda sudah lebih dari tiga bulan. Mengapa tidak ada perubahan atau rujukan yang lebih baik? Bagaimana sebenarnya penyakit Anda?” tanya mereka.
Kemudian UMP Sianturi menjelaskan mengenai penyakitnya. “Tidak ada rasa sakit, tetapi jika dibawa berjalan, maka tidak dapat melangkahkan kaki. Untuk menempuh lima meter saja dibutuhkan hampir dua menit dan sangat capek atau lelah. Kalau naik sepeda, tidak apa-apa,” demikian penjelasan UMP Sianturi. “Padahal di kota kami itu, rumah sakit tersebut yang terbaik,” tambah kakek yang punya anak 10 orang (Satu lelaki dan 9 perempuan) dan mantan karyawan di Unit Pertamina I ini. St. UMP Sianturi menikah dengan Siti Odor Lumbantoruan, dan keduanya bergelar: Ompu Intan Ruthmana. Pendidikan SD, SMP dan SMA diikutinya di Pematang Siantar, Sumut, dan ia kuliah di Akademi Pelayaran, Medan.
Sesungguhnya banyak yang menyarankan dirinya dibawa ke pengobatan alternatif. Pasalnya, waktu itu masih banyak yang berpendapat bahwa dengan pengobatan tersebut bisa sembuh. Akhirnya, kedua mantri berkesimpulan, bahwa, “Besok pagi pukul 8.00 WIB, kita berkumpul di ruangan ini. Sebelumnya di rumah, kami bersama keluarga berdoa. Saat itu, kedua orang tua ikut berdoa bersama atas penyakit saya.” Besoknya sesuai kesepakatan, UMP Sianturi memasuki ruangan kedua mantri, dan telah disiapkan alat suntik ampul besar berwarna merah muda. UMP Sianturi disuruh berbaring dan mereka menyuntikkan obat tersebut. Setelah itu, terjadi proses kesembuhan yang sungguh ajaib dan mengherankan.
“Tepat pukul 12.00 WIB, sirene/pluit untuk istirahat siang berbunyi. Saya mengambil sepeda dan mengayuhnya. Seluruh tubuh saya terasa ringan dan kelumpuhan tiada sedikit pun, hilang total. Istri saya, kedua orang tua, dan kedua mantri berdoa mengucap syukur kepada Bapa Surgawi atas mukjizat itu,” kata kakek yang juga penulis buku adat Batak berjudul “Ugari Dohot Ulaon Adat Ni Halak Batak Toba” dan penggemar harian Sinar Indonesia Baru (SIB) di Sumut itu. Demikianlah tadi kisah “kematian” lalu hidup lagi yang dialami St. UMP Sianturi, karena kuasa doa. Saat ia menyampaikan kesaksian ini, itulah merupakan ucapan syukurnya kepada Allah, Bapa Surga, Kristus Yesus, dan Roh Kudus. RA