Pemuka Agama dan Aktivis Menelaah Perubahan Nama KKB ke OPM

8
Pemuka lintas agama dan aktivis ini peduli terhadap masa depan dan keberadaan Papua.
Narwastu.id-Koalisi Kemanusiaan untuk Papua menggelar diskusi bertajuk “Menelaah Implikasi Kebijakan Pengubahan Nama KKB/KST Menjadi OPM” di Graha Oikoumene, Jalan Salemba Raya 10, Jakarta Pusat, pada Senin, 29 April 2024 lalu.
Diskusi yang berlangsung secara hybrid ini, merespons putusan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal TNI Agus Subiyanto untuk menggunakan kembali istilah Organisasi Papua Merdeka (OPM) melalui surat telegram tertanggal 5 April 2024. Dengan keputusan ini, TNI tak lagi memakai sebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Kelompok Separatis Bersenjata (KSB), Kelompok Separatis Teroris (KST) untuk merujuk pada kelompok pro-kemerdekaan Papua Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Diskusi menghadirkan narasumber Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) Pdt. Gomar Gultom, M.Th., Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Wahid, Pater Bernard Baru, Peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Dr. Adriana Elisabeth, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Pada kesempatan itu, Pdt. Gomar Gultom menyampaikan, perubahan nomenklatur tersebut hanyalah semacam legitimasi pendekatan militeristik yang telah dilakukan sebelumnya. “Bagi saya, perubahan nomenklatur ini sepertinya hanya semacam legitimasi terhadap pendekatan militer yang sesungguhnya sudah dilakukan selama ini,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Menelaah Implikasi Kebijakan Pengubahan Nama KKB/KST Menjadi OPM” di Graha Oikoumene, Jakarta, itu.
Diskusi “Menelaah Implikasi Kebijakan Pengubahan Nama KKB/KST Menjadi OPM” yang diinisiasi oleh Koalisi Kemanusiaan untuk Papua di Graha Oikoumene PGI, Jakarta.
PGI, lanjut Pdt. Gomar, selalu memberi perhatian terhadap persoalan krisis kemanusiaan yang terus berlangsung dan selalu mengakibatkan korban berjatuhan di Papua, baik warga sipil maupun TNI/Polri. Papua terus bersimbah darah yang tidak ada hentinya. Luka lama belum kering sudah ditoreh kembali dengan “pisau” kepentingan, sehingga menimbulkan luka baru di atas luka lama. “Sebab itu, meski ada perubahan nomenklatur, seharusnya dengan rendah hati kita mengajak semua pihak yang punya kepentingan untuk duduk bersama, bicaralah, seperti pendekatan yang dilakukan oleh Gus Dur, mendengar suara rakyat. Jakarta sentris tidak bisa dipertahankan lagi. Pendekatan militer atau keamanan juga sama. Olehnya yang penting bagaimana semua pihak duduk bersama, dan pemerintah harus ada kerendahan hati, ayo kita mau bikin apa untuk Papua ketimbang menjalankan agendanya sendiri,” ungkapnya.
Lalu hal senada disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Wahid. Menurutnya, perubahan nomenklatur tersebut justru akan membuka pintu pendekatan militeristik yang lebih besar di Papua. Dia pun mengingatkan pentingnya pendekatan yang dilakukan oleh Gus Dur.  “Saya sedih, sebenarnya pendekatan Gus Dur, sudah lama ditinggalkan oleh pemerintah, karena memang itu berat sekali, dibutuhkan kebesaran jiwa dan bertumpu atas kemanusiaan. Selama ini pemerintah Indonesia masih menggunakan pendekatan nasionalisme yang lebih sempit, dan betul pendekatannya Jakarta sentris,” kata Alissa.
Alissa mengingatkan apa yang diungkapkan Gus Dur bahwa tidak ada satupun kekuasaan yang layak dipertahankan dengan menumpahkan darah rakyat, seperti yang terjadi di Papua. Sebab itu, Pemerintah Jakarta seharusnya mencari cara yang berbeda. “Cara yang berbeda, yaitu kembali ke pendekatan Gus Dur. Melihat rakyat punya martabat, maka penuhi martabatnya. Berdialog, mendengarkan suara rakyat Papua, itu menjadi cara. Dengan hati yang tulus mencari yang terbaik. Saya khawatir kita harus bersiap akan adanya pendekatan kekerasan. Siapa terdampak sudah pasti rakyat sehingga ketidakpercayaan akan semakin tinggi. Tugas kita mengubah cara pandang pemerintah,” ujarnya.
Memang sangat perlu mendengar harapan dan curahan hati saudara kita di Papua tentang situasi di daerahnya.
Sementara itu, Pater Bernard Baru, Pr. mengungkapkan, meski telah terjadi perubahan nomenklatur, warna pendekatan yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik di Papua tetap sama, yaitu pendekatan keamanan ketimbang solusi non-militer.
“Meski sejauh ini belum ada dampak dari perubahan tersebut, karena relatif baru, namun tetap menimbulkan kekhawatiran melihat pengalaman masa lalu, ketika istilah OPM dipakai telah merenggut ribuan nyawa rakyat Papua. Kalau rakyat protes langsung dibungkam dengan tuduhan sebagai OPM. Banyak kampung dikosongkan, warganya mengungsi ke hutan atau ke wilayah lain, dan semua orang, siapa saja di Papua dapat dengan mudah dibungkam dengan tuduhan sebagai bagian dari OPM” ungkap Pater Bernard, yang mewakili Mgr. Yanuarius Teofilus Matopai You (Uskup Jayapura).
Hal yang sama juga diungkapkan Peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Jakarta, Dr. Adriana Elisabeth. Menurutnya, pergantian nomenklatur menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) oleh TNI, akan sama saja apabila pendekatan tidak diubah.
“Pengembalian nama itu tidak akan berdampak terhadap perubahan. Konflik di Papua itu dirancang atau tidak? Kalau dirancang, maka yang merancang harus terlibat menyelesaikannya dengan tanpa kekerasan. Kalau pendekatan tetap sama, kita tidak punya peluang untuk merancang bersama-sama bagaimana sih menyelesaikan konflik di Papua ini? Itu tidak akan pernah selesai,” ujarnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melihat perubahan tersebut mengandung dua makna, positif dan negatif. “Makna negatifnya bisa menjadi semacam labelisasi. Tapi siapa yang paling berkepentingan. Jika, bersifat positif, kecenderungannya ke mana. Dengan kata lain kemungkinan istilah yang cenderung negatif, seperti kelompok kriminal, teroris, ingin dihindari. Tentu saja istilah yang berubah itu bukan berarti ada kebijakan negara, itu masih terbatas di lingkungan TNI, bukan kebijakan pemerintah apalagi negara. Seperti Kementerian Luar Negeri misalnya, memang tidak setuju dengan penggunaan istilah OPM. Karena itu menunjukkan pengakuan negara atas sebuah entitas kelompok perlawanan terhadap kedaulatan negara di dalam negeri dan membuka peluang bersentuhan dengan hukum-hukum internasional terkait persoalan tersebut jika negara tidak berhati-hati menghadapinya. Sangat tidak mudah penerapannya,” paparnya.
Sebab itu, menurut Usman, perlu diserukan kepada Panglima TNI untuk memberi penjelasan apa pertimbangan yang sebenarnya dari pengembalian perubahan nomanklatur itu, dan perlu juga penjelasan Menkopolhukam RI mengenai kebijakan terbaru dari pemerintah terhadap konflik di Papua. GK

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here