Narwastu.id – Pada 23 Februari 2023 lalu, kerusuhan berdarah yang memakan korban jiwa dan korban luka-luka terjadi di Wamena, Papua Pegunungan. Akibat kerusuhan berdarah ini setidaknya dilaporkan 12 orang meninggal dunia dan 17 orang luka-luka. Dari kondisi fisik korban, ada temuan luka yang diakibatkan oleh tembakan maupun senjata tajam. Sayangnya, kejadian akhir Februari 2023 lalu bukanlah peristiwa berdarah pertama yang terjadi di Wamena, maupun di wilayah Papua. Tentu kita masih ingat peristiwa mutilasi empat orang di Mimika tahun lalu dan juga pembunuhan Pdt. Yeremia Zanambani di tahun 2020 lalu.
Kelompok masyarakat sipil menilai serangkaian kejadian tersebut menunjukkan bahwa rantai kekerasan di Papua tidak pernah terputus. Berulangnya peristiwa bisa jadi disebabkan karena pelanggaran HAM di sana jarang, atau bahkan tidak pernah, diusut secara tuntas. Sementara korban terus berjatuhan. Mengingat urgensi dari permasalahan tersebut, Koalisi Kemanusiaan untuk Papua dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengadakan diskusi publik bertema “Wamena Berdarah 2023: Adakah Unsur Kejahatan Kemanusiaan?” di Graha Oikoumene, Jakarta, pada Selasa, 14 Maret 2023 lalu. Diskusi yang diinisiasi oleh Biro Papua PGI ini, dihadiri mahasiswa, wartawan, aktivis peduli Papua, dan perwakilan organisasi masyarakat sipil.
Sejumlah narasumber dihadirkan dalam diskusi yang berlangsung luring dan daring, seperti Atnike Nova Sigiro (Ketua Komnas HAM), Theo Hesegem (Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua), Anum Siregar (Perwakilan Koalisi Kemanusiaan untuk Papua), Cahyo Pamungkas (Peneliti BRIN), Angela Flassy (Jurnalis Senior Jubi), dan Usman Hamid (Amnesti Internasional). Melalui kegiatan ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi di Wamena, dan memberi masukan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk dapat mewujudkan Papua sebagai tanah damai. GH