Pdt. DR. Sapta B. Siagian, M.Th Masuk dalam “21 Tokoh Kristiani 2018 Pilihan NARWASTU”

216
Pdt. DR. Sapta B. Siagian, M.Th. Pendeta berjiwa Pancasilais.

Narwastu.id – Seperti tahun-tahun yang lalu, Majalah NARWASTU yang kita cintai ini kembali menampilkan “21 Tokoh Kristuani 2018 Pilihan NARWASTU.” Dan 21 figur pilihan ini selama ini kami ikuti jejak rekamnya, aktivitasnya (pelayanannya) di tengah gereja, masyarakat dan bangsa. Dan tentu saja mereka adalah sosok yang pernah muncul di dalam pemberitaan Majalah NARWASTU. Kami tak bakal mempublikasikan figur-figur yang sehebat apa pun kalau belum pernah muncul di dalam pemberitaan NARWASTU. Karenanya, sekali lagi, tokoh-tokoh pilihan di akhir tahun ini adalah pilihan Majalah NARWASTU, bukan pilihan media lain atau lembaga tertentu.

Satu hal yang kami lakukan sebelum mengangkat figur-figur ini adalah menanyakan ke sejumlah pihak tentang kiprah mereka, termasuk kepada sejumlah Pembina/Penasihat NARWASTU. Karena, bagi kami, masukan atau komentar dari pihak lain atau Penasihat BARWASTU pun perlu didengarkan dan pertimbangkan. Seperti tokoh-tokoh terdahulu, 21 tokoh yang tampil kali ini kami pilih lantaran punya pemikiran, gagasan atau karya yang mampu mempengaruhi banyak pihak. Dan kriteria yang kami patok untuk memilih seseorang tokoh, pertama, si tokoh mesti seorang figur Pancasilais dan mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta memahami Bhinneka Tunggal Ika.

Kedua, si tokoh mesti peduli terhadap pelayanan di tengah gereja, masyarakat, bahkan bangsa, serta tak jarang menjadi perbincangan banyak orang. Dengan istilah lain si tokoh bisa bahkan sering menjadi the news maker (pembuat berita). Ketiga, si tokoh mesti mampu menginspirasi dan memotivasi banyak orang dengan kiprahnya, apakah itu di bidang sosial kemasyarakatan, gereja, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, media, organisasi maupun profesionalisme.

Ada pun ke-21 tokoh pilihan tersebut, yakni (1) Pdt. Dr. Andar Ismail, (2) Raden Y. Dian Setio Lelono, (3) Pdt. Gomar Gultom, M.Th, (4) Djarot Subiantoro, (5) Erwin Ricardo Silalahi, S.E., (6) Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham, (7) Pdt. Lusiana Harianja Pella, M.Th, (8) Pdt. Banner Siburian, M.Th, (9) Cara Laksono, MBA, (10) Ir. Jannerson Girsang, (11) Adri Lazuardi, (12) Pdt. Dr. Ir. Tjepy Jones Budhidarma, M.Sc, (13) Viktus Murin, S.Pd, (14) Dr. Angel Damayanti, M.Si, (15) Bangun Salmon Siagian, S.H., M.H., (16) DR. (HC) Esther Sijabat, (17) Pdt. Mangasa Butarbutar, S.E., M.Th, (18) Pdt. Jimmy Jackson Iskandar, (19) Heben Heser Ginting, S.E., A.Md, (20) Lidya Natalia Sartono, M.Pd dan (21) Pdt. Sapta B.U. Siagian, M.Th.

Tokoh-tokoh yang kami pilih ini berasal dari berbagai etnis (suku), denominasi gereja maupun latar belakang politik. Dan kami berikan apresiasi atau award sebagai tokoh Kristiani kepada mereka sebagai hadiah Natal dan Tahun Baru 2019 terindah di akhir tahun 2018 ini. Tentu saja, figur-figur pilihan NARWASTU yang sudah diseleksi sejak Juli 2018 lalu dari 100-an tokoh yang pernah dipublikasikan di majalah ini, tetaplah insan biasa yang punya kekurangan.

Hanya saja, ada dalam diri mereka nilai-nilai juang dan kegigihan dalam mengupayakan pencerdasan, kedamaian, kerukunan, kebaikan dan kesejahteraan kepada sesama. Akhirnya Tim Redaksi Majalah NARWASTU mengucapkan, selamat dan sukses kepada “21 Tokoh Kristiani 2018” ini, kiranya Bapak/Ibu terus ditolong dan diberkati Tuhan Yang Maha Rahmat di dalam kiprah selanjutnya di tengah gereja, masyarakat dan negeri tercinta ini. Syalom dan salam kasih NARWASTU.

Lulusan LEMHANNAS dan Rohaniwan yang Pancasilais

Pdt. DR. Sapta Baralaska Siagian, M.Th, yang dikenal Pemimpin Redaksi Tabloid “Solafide” dan Wakil Ketua Umum BPP PERWAMKI (Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia) tak bisa melupakan hari bersejarah, Rabu malam, 21 Februari 2018 lalu. Pasalnya, waktu itu ia mendapat penghargaan (award) bergengsi atas prestasinya setelah menulis artikel berjudul “Membumikan Pancasila Melawan Radikalisme.” Dan TNI Angkatan Darat yang mengadakan acara lomba penulisan itu menilai, gagasan atau tulisan Pdt. Sapta Siagian yang juga lulusan LEMHANNAS (Lembaga Ketahanan Nasional) cukup berbobot dan visioner.

21 Tokoh Kristiani 2018 Pilihan Majalah NARWASTU saat menerima penghargaan di Graha Bethel, Jakarta Pusat, pada 10 Januari 2019. Pemberian penghargaan seperti ini sudah dimulai sejak 2007 lalu di Gedung LPMI, Jakarta Pusat.

Acara pemberian penghargaan yang diadakan di Balai Kartini, Jakarta, ini cukup meriah serta dihadiri banyak tokoh nasional dan Pangdam seluruh Indonesia. Pdt. Sapta Siagian bersama sejumlah tokoh media massa, seperti Pemimpin Redaksi Kompas TV, Rosiana Siahaan pun dianugerahi penghargaan serupa oleh TNI Angkatan Darat. Dan hadir memberi penghargaan tersebut Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal TNI Mulyono. Pdt. Sapta Siagian yang juga pengurus Sinode Gereja Sahabat di Indonesia (GSI) mengatakan, ini anugerah Tuhan buatnya.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi NARWASTU, Jonro I. Munthe, S.Sos diwawancarai wartawan TV, media cetak dan online di sebuah acara pemberian penghargaan kepada 21 tokoh Kristiani Pilihan Majalah NARWASTU.

Pdt. Sapta mengatakan, “Terima kasih atas dukungan dan doa dari para sahabat saya, terutama teman-teman di PERWAMKI yang selama ini memotivasi saya di dunia penerbitan media Kristiani.” Ketua Umum BPP PERWAMKI, Dr. Yusak Tanasyah, M.Th, M.Pdk pun menyatakan selamat dan sukses terus bagi kader-kader PERWAMKI, seperti Pdt. Sapta yang bisa meraih prestasi di tingkat nasional dan lembaga yang disegani, yaitu TNI Angkatan Darat.

“Tuhan Yesus kiranya terus memberkati teman-teman di PERWAMKI yang tak pernah bosan berkarya di tengah gereja dan masyarakat. Jerih payah kita tak akan sia-sia bila kita memuliakan Tuhan. Dan PERWAMKI pun telah ikut berkontribusi memberikan pemikiran untuk persatuan serta kemajuan bangsa dan negara ini,” pungkas Yusak Tanasyah yang juga pimpinan sebuah perguruan tinggi teologi dan Pemimpin Redaksi Majalah “Berita Baik“.

Tulisan Pdt. Sapta Siagian berjudul “Membumikan Nilai Pancasila dalam Menghadapi Radikalisme” memang menarik disimak anak negeri ini. Dalam tulisannya itu, pria yang juga dosen di sekolah tinggi teologi ini memaparkan, hakikatnya Pancasila bukan merupakan suatu ideologi kaku, namun Pancasila bersifat reformatif, dinamis dan terbuka. Pancasila senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun demikian, berdasarkan konsep eksperiental, sampai dengan saat ini Pancasila masih sangat minim dalam hal pendalaman dan implementasinyapun masih sangat kurang ditanamkan di dalam bangku pendidikan formal di Indonesia. Para founding fathers kita yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, mencetuskan Pancasila sebagai dasar negara, merupakan harapan yang sangat mulia, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara utuh, yang mampu menjawab tantangan zaman.

Lebih jauh lagi para pendiri bangsa menginginkan, bagaimana Pancasila tersebut bisa mengakar pada ideologi masyarakat yang berbeda suku, budaya, bahasa dan agama serta menjadikan mereka harmonis dalam satu kesatuan. Tidak bisa ditampik, bahwa dominasi dan perbedaan yang melekat dalam tubuh negara, senantiasa menimbulkan gesekan dan potensi konflik yang berkepanjangan.  Fenomena sosial seperti ini, bila terus dibiarkan akan melahirkan bibit-bibit pemikiran radikal, hingga berupa tindakan-tindakan radikal.

Ada beberapa hal yang bisa memicu tindakan-tindakan radikal, di antaranya pemahaman agama yang salah, Frustrasi dan terpinggirkan atau dipinggirkan. Dari alasan dan penjelasan di atas, maka bagaimana peran negara dapat memelihara rakyatnya? Dan bagaimana peran negara dalam melindungi hak-hak warga sipil yang dinaunginya? Jika Pancasila telah benar-benar melekat dalam jiwa, dan hati para tokoh negara, maka seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang makmur dan sejahtera dalam hidup maupun kehidupan. Secara jujur, bila kita melihat kondisi masih ada daerah-daerah yang terpinggirkan, dan belum mendapatkan keadilan dalam hal pembangunan. Finansial lebih diutamakan sebagai aset, ketimbang rakyat. Kearifan lokal tergerus dan secara tidak sadar rakyat digiring menjadi manusia konsumtif.

Namun bagaimana nasib mereka saat ini? Tak sedikit rakyat adat yang dipaksa untuk rela terusir karena kebijakan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) di kawasan-kawasan pemukiman adat.  Dari hal-hal semacam inilah yang akhirnya memunculkan bibit pemikiran dan tindakan radikal sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang mereka dapatkan. Seharusnya ini menjadi sebuah pemikiran penting, yang dilanjutkan dengan perubahan sikap individu dalam memaknai dan meresapi nilai-nilai Pancasila. Nyatanya  masih banyak yang menganggap Pancasila sebagai semboyan pelafalan saja, yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Bila kita bertanya, mengapa keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang dapat menjadi filter bagi masuknya berbagai ancaman dari luar dirasa kurang berhasil, dan apa sebabnya? Pertanyaan muncul di benak kita, mengapa masih ada sekelompok masyarakat Indonesia menjadi “radikal” sehingga kehilangan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang pernah muncul dengan nama harum di dunia, antara lain sebagai pemersatu negara-negara dunia ketiga, penggagas Konferensi Asia-Afrika, duta perdamaian dan banyak lagi contoh lain.  Bahkan sekarang julukan yang tidak enak didengar mampir di telinga kita, sebagai negara “sarang teroris.”

Terorisme di Indonesia muncul di saat yang sama dengan dekade, di mana bangsa ini melupakan Pancasila. Tidak pernah lagi Pancasila benar-benar dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal para pendiri NKRI sejak awal menyatakan bahwa penyelamat, pemersatu, dan dasar negara kita adalah Pancasila. CF

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here