Narwastu.id – Seperti tahun-tahun yang lalu, pada akhir tahun 2019 ini kembali Majalah NARWASTU menampilkan 21 tokoh Kristiani yang beberapa tahun ini menghiasi pemberitaan di majalah yang kita cintai ini. Ke-21 figur ini ada yang berlatar belakang pimpinan organisasi, pendeta, advokat, politisi, profesional, pengusaha dan aktivis gereja. Mereka kami nilai sosok yang mampu menginspirasi, mampu memotivasi, peduli pada persoalan gereja dan masyarakat serta Pancasilais. Bahkan, tokoh-tokoh yang dipublikasikan ini ada pula yang dikenal punya ide-ide atau pemikiran-pemikiran yang kontroversial, inovatif dan mencerahkan serta tak jarang menjadi pembicaraan publik atau jemaat.
Dengan kata lain, seperti yang sudah digariskan Tim Redaksi NARWASTU sejak dulu, tokoh yang bersangkutan mesti pernah tampil di majalah ini atau dikenal sosok “pembuat berita” atas kiprah atau pelayanannya. Tentunya pembuat berita yang positif. Ke-21 tokoh ini kami seleksi dari sekitar 100 figur yang pernah dipublikasikan majalah ini. Dan tokoh-tokoh tersebut kami bahas atau diskusikan lebih dahulu dengan sebuah tim kecil di NARWASTU, dan sejumlah penasihat majalah ini pun ada yang kami mintai pendapatnya tentang seseorang figur sebelum kami angkat.
Sejak medio 2019 lalu, tokoh-tokoh yang akan diangkat sudah kami seleksi, dan beberapa rekan wartawan Kristiani dan tokoh Kristiani ada pula yang kami mintai pendapatnya tentang tokoh yang akan diangkat. Ke-21 tokoh ini memang bukan sosok yang sempurna alias tetap manusia biasa, namun mereka kami nilai figur yang ikut mencerahkan, berjiwa pelayan, Pancasilais, ikut membangun peradaban di tengah masyarakat. Sehingga mereka layak diapresiasi atau diangkat di media ini. Penghargaan ini pun adalah hadiah Natal terindah dari Majalah NARWASTU buat ke-21 tokoh ini, dan ini pula apresiasi kami sebagai insan media kepada mereka. Dan kiranya penghargaan ini bisa memotivasi publik untuk terus berbuat sesuatu yang bermanfaat dan menginspirasi bagi banyak orang di negeri ini.
Ke-21 figur yang termasuk dalam tokoh pilihan Majalah NARWASTU pada 2019 ini, yakni Herman Yosef Loli Wutun (Mantan Anggota MPR-RI dari NTT dan tokoh koperasi), Grace Natalie Louisa (Ketua Umum PSI), Sugeng Teguh Santoso, S.H. (Advokat senior), Pdt. Dr. Tuhoni Telaumbanua, M.Si (Rohaniwan), Susana Suryani Sarumaha (Aktivis perempuan Katolik), Dr. Ir. Asye Berti Saulina Siregar, M.A. (Produser film), Ida Tobing boru Simbolon, S.Sos (Aktivis gereja), Ani Natalia Pinem (Humas di Dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI), dan Pdt. Oniwati Ida Turnip, S.Th (Aktivis gereja).
Lalu, Ronald Simanjuntak, S.H., M.H. (Advokat senior), Fredrik J. Pinakunary, S.H. S.E. (Advokat dan rohaniwan), Mangasi Sihombing (Mantan Duta Besar dan mantan Caleg PSI), David M. Lumban Tobing, S.H., M.Kn (Pengacara), Ir. Lintong Manurung, M.M. (Cendekiawan senior), Kamillus Elu, S.H. (Advokat), August H. Pasaribu, S.H., M.H. (Anggota DPRD DKI Jakarta), Dr. Lasmaida Gultom, S.E., MBA (Profesional), Pdt. Dr. Douglas Manurung, MBA, M.Si (Profesional dan rohaniwan), Eloy Zalukhu (Motivator), Stevano Margianto (Jurnalis Kristiani), dan Yosua Tampubolon, S.H., M.A. (Advokat dan aktivis gereja).
Perempuan Cerdas dan Berani yang Berjuang Lewat PSI
Pada Jumat, 16 November 2018 silam, kala Komisi Gereja, Masyarakat dan Politik (Germaspol) PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) Wilayah DKI Jakarta mengadakan seminar “Partisipasi Warga Gereja dalam Menghadapi Pemilu 2019” perempuan cerdas, cantik dan berani ini ikut hadir sebagai pembicara. Seminar yang diadakan di Kantor PGI DKI Jakarta di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, itu selain menghadirkan nara sumber, Grace Natalie Louisa (Ketua Umum PSI/Partai Solidaritas Indonesia), pun hadir Jojor Manalu (Politisi PDI Perjuangan), Maria Hennie Longkeng (Politisi Partai Demokrat dan mantan anggota DPRD DKI Jakarta) dan moderator Ir. Albert Siagian, M.M. dari Komisi Germaspol PGI DKI Jakarta.
Grace Natalie yang lahir di Jakarta, 4 Juli 1982 dan pernah menjadi reporter stasiun TV terkenal, berpendapat, saat Jokowi dan Ahok (Basuki Tjahaya Purnama/BTP) memimpin DKI Jakarta, kita merasakan politik baik untuk masyarakat. Saat Grace mengurus surat lahir untuk anaknya birokrasinya sangat mudah. Dulu sebelum Jokowi dan Ahok memimpin DKI Jakarta, untuk membuat surat harus bolak-balik, minimal ada uang rokok dan masih dipersulit. Tapi saat Jokowi dan Ahok memimpin terasa aparatur negara melayani, dan tak bikin repot warga. Ketika melihat ada sampah yang tidak diangkut di jalan, warga bisa melapor ke Balai Kota, pasti ditindaklanjuti
Dari pelayanan itu, Grace yang saat menjadi reporter TV pernah mewawancarai tokoh-tokoh internasional,
melihat bahwa politik itu bermanfaat. Menurutnya, gereja tidak pernah punya pendidikan politik, bahkan di gereja terlihat kecenderungan ada garis suci antara gereja dan politik. Gereja jarang mempresentasikan diskusi politik, walaupun gereja tidak harus memilih. Tapi gereja bisa memfasilitasi warganya agar tercerahkan. Dan kadang gereja tidak tahu apa manfaat politik dalam kehidupan ini. Menurut Grace yang pernah menjadi direktur eksekutif sebuah lembagai survei terkenal itu, titik awal untuk memperbaiki politik, yaitu lewat partai politik (parpol).
Karena parpol bisa merekrut orang baik, orang yang sudah terbiasa berorganisasi, punya visi jelas, orang yang punya kapasitas, dan orang-orang bagus ini bisa jadi wakil rakyat. Visi PSI, ujarnya, adalah meningkatkan partisipasi publik agar timbul dengan sendirinya ketika calon-calon yang tersedia itu bagus. Misalnya pada saat Pemilihan Presiden 2014 lalu dan Pilkada DKI Jakarta 2012 dulu, masyarakat punya antusiasme untuk memilih, karena pemimpin yang tersedia jelas programnya.
Tapi kalau calonnya tidak terkenal dan tidak tahu apa yang mau dilakukan, kita tak ikut memilihnya. Grace yang penganut Kristen yang taat ini menerangkan, untuk mendapatkan orang-orang bagus, yaitu dengan cara rekrutmen terbuka. Siapapun boleh ikut mendaftar dan jurinya tiga orang independen. Sehingga, katanya, penilaian dibagi tiga juga. Serentak dalam proses ini disiapkan pula di media social (Medsos). Dan proses yang baik akan menghasilkan out put yang baik. Tugas selanjutnya, katanya, menjaga orang-orang yang bagus ini dengan sistem yang dipelajari dari Jokowi dan Ahok, yaitu sistem semua serba terbuka atau transparansi. Dan dibuat mentoring sistem dan wajib melaporkan ke publik setiap hari, apa kerjanya.
Karena kenyataannya banyak anggota DPR yang masuk kerja dalam 1 minggu hanya 2-3 hari, dan sisanya tidak kerja. Makanya, kata Grace, pertanggungjawaban publik ini harus dibuat, untuk melindungi orang dalam politik uang. Dengan sistem ini kita bisa menjaga orang yang bagus, sehingga tidak jatuh ke dalam pencobaan, karena mereka manusia biasa. Dengan adanya sistem, Grace yakin orang akan semangat dan mempunyai partisipasi yang baik dalam pemilu. “Karena tahu kalau suara mereka bisa dipertanggungjawabkan,” ujar ibunda dari satu anak ini.
Selanjutnya pada Jumat malam, 26 April 2019 lalu, saat FORKOM NARWASTU (Forum Komunikasi Tokoh-tokoh Kristiani Pilihan Majalah NARWASTU) menggelar ibadah syukur atas hari ulang tahun (HUT)-nya ke-3 dan dirangkai dengan diskusi bersama tokoh-tokoh nasionalis di Graha Bethel, Jakarta Pusat, ikut juga hadir Grace Natalie sebagai pembicara. Diskusi saat itu topiknya “Situasi Kebangsaan Pasca Pilpres/Pemilu 2019.”
Pembicara lainnya di diskusi ini saat itu, Prof. Marten Napang, S.H., M.H. (Ketua FORKOM NARWASTU), Yohanes Handoyo Budhisedjati, S.H. (Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia), Viktus Murin, S.Pd, (Mantan Sekjen Presidium GMNI, bekas aktivis 1998 dan Wakil Sekjen Partai Golkar) dan moderator Ir. Albert Siagian, M.M. (Mantan Wakil Ketua Umum DPP GAMKI). Banyak pokok-pokok pikiran menarik disampaikan di dalam diskusi terbatas itu.
Grace Natalie dalam diskusi ini memaparkan, Joko Widodo didukung PSI sebagai capres karena Jokowi ingin memerangi korupsi dan intoleran di Indonesia. “Kami di PSI tentu akan mendukung pemimpin yang berani memerangi korupsi dan intoleran. Dan banyak kajian kami tentang intoleran dan politik identitas di Indonesia,” ujarnya. Ia menambahkan, di Indonesia sekarang ada banyak muncul Perda (Peraturan daerah) di sejumlah daerah, dan ini sangat diskriminatif. PSI, kata Grace, juga prihatin melihat selama ini ada pembakaran atau gangguan terhadap sejumlah tempat ibadah umat Kristen. “Di parpol-parpol besar nasionalis itu sebenarnya ada orang Kristen, dan mestinya mereka bicara dan berjuang untuk itu. Dan PSI tak ingin ada di negeri ini diskriminasi pada anak bangsa. Dan ketika di sebuah negara ada diskriminasi atau intoleran, maka negara itu akan pecah,” tegasnya.
Grace berpendapat, Indonesia yang majemuk ini sesungguhnya bisa disebut sebuah “rumah bersama” karena di dalamnya ada hidup beragam suku dan agama. Sehingga kalau ada kekuatan intoleran hadir, itu mesti dilawan. “Berdasarkan UUD 1945 itu di Indonesia tak ada istilah mayoritas dan minoritas. PSI di mana-mana terus menyampaikan itu,” pungkasnya. Lima tahun ke depan, imbuhnya, akan muncul calon-calon pemimpin bangsa yang muda-muda, dan PSI akan mendukung figur yang berani memerangi intoleran. Di sisi lain, ia menyampaikan keprihatinannya pada kelompok politik tertentu yang tak percaya pada lembaga survei yang kredibel yang sudah melakukan quick qount pasca Pilpres 2019. Masyarakat, katanya, harus dicerdaskan agar memahami politik, dan diberikan pesan-pesan yang edukatif. JH