MPH-PGI Keluarkan Pesan Pastoral Jelang Pilkada 2020

120
Ketua Umum.PGI, Pdt. Gomar Gultom, M.Th.

Narwastu.id – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di 270 daerah yang tersebar di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di Indonesia  akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang. Menyadari tugas panggilan gereja untuk membangun masyarakat berkeadaban bersama semua orang yang berkehendak baik, Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) merasa perlu untuk menerbitkan pesan pastoral sebagai rujukan bagi gereja-gereja di Indonesia dalam menyambut pilkada ini.

Dalam pesan pastoralnya, MPH-PGI mengingatkan beberapa hal, pertama, gunakan hak pilih sebagai bentuk tanggung jawab iman dan tanggung jawab kewarganegaraan Anda. Dengan memilih, Anda mengambil bagian dalam pelaksanaan panggilan gereja melayani bangsa ini dalam kerangka teologis kasih Allah kepada dunia melalui gereja. Melalui pilkada kita memilih pemimpin daerah yang akan menduduki jabatan selama lima tahun ke depan.  “Sebagai warga negara kita terpanggil untuk menjadikan pilkada sebagai sarana untuk mengembangkan kualitas demokrasi substansial demi terwujudnya kebaikan bersama. Melalui pilkada pula kita melakukan kontrol dan koreksi terhadap kekuasaan dengan cara menolak memilih mereka yang tidak memiliki rekam jejak yang kuat dalam pengelolaan kekuasaan sebagai alat untuk melayani masyarakat. Sebaliknya, memilih mereka yang diyakini mampu mengelola kekuasaan dalam pengertian dan pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah, di mana kekuasaan dinyatakan melalui pelayanan kasih dan keadilan terhadap sesama dengan semangat pelayanan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Yesus (Lukas 22:26),” demikian pesan tersebut.

Pilkada dalam pengertian ini merupakan instrumen kedaulatan rakyat untuk memberikan apresiasi maupun penghukuman terhadap calon pemimpin dan partai-partai pengusungnya, berdasarkan kesungguhan kerjanya bagi kesejahteraan rakyat. Kedua, lawan politik uang. Partisipasi politik Kristen tidak boleh tersandera oleh sikap yang pragmatis dan transaksional. Gereja harus menjauhkan diri dari praktik-praktik menjual suaranya kepada calon kepala daerah demi alasan-alasan kebutuhan dana bagi pengembangan pelayanan atau pembangunan di lingkungan gereja. Gereja sebaliknya, harus mengelola fungsi dan peran edukasinya kepada umat dan kepada calon kepala daerah bahwa politik uang merusak substansi demokrasi kita, dan secara moral berdosa. Berbagai pesan dalam Alkitab dengan tegas menentang perilaku transaksional yang tidak bermoral ini. Keluaran 23:8 menegaskan, “Suap janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar.”

Dalam 1 Timotius 6:10 ditegaskan pula, ”…akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman…” Demikianlah gereja harus berperan untuk memutus mata rantai demokrasi transaksional, dan bekerja keras untuk membangun demokrasi substansial yang mengutamakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ketiga, hindari politik sektarian dan primordial. Demokrasi substansial tak dapat dikembangkan dengan mengedepankan perilaku sektarian yang mengentalkan politisasi suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Gereja harus terlibat sepenuhnya dalam edukasi politik yang mengajak semua pihak menghindari politik fitnah, pelintiran kebencian dan kampanye berbau SARA, karena bisa merusak prinsip-prinsip utama demokrasi dan merobek integrasi kebangsaan.

Tendensi berkembangnya politik sektarian dan populisme SARA dalam berbagai perhelatan demokrasi belakangan ini telah berdampak serius pada melemahnya guyub kebangsaan. Kondisi ini diperparah dengan semakin massifnya penggunaan media sosial untuk menyebarkan hoaks, fitnah, penghinaan dan ujaran kebencian. Untuk Pilkada 2020 fenomena “kampanye hitam‟ (black campaign) ini diperkirakan meningkat akibat penggunaan teknologi informasi secara tidak bertanggung jawab, tetapi juga akibat adanya pembatasan kampanye tatap muka akibat pandemi Covid-19. Menurut MPH-PGI, dalam situasi ini, gereja harus menegaskan panggilannya untuk membangun Indonesia sebagai rumah bersama dengan cara melawan politik sektarian yang kontra spirit kebangsaan, serta menghindari politisasi agama. Gereja harus secara transparan dan kokoh menunjukkan manfaat keberadaannya bagi semua golongan masyarakat. Gereja harus mengalir ke luar dan merangkul dalam relasi komplementer dengan agama-agama dan kepercayaan lainnya, untuk membangun sebuah tatanan politik yang bermartabat bagi perjalanan Indonesia ke depan. Dalam metafora Alkitab, kesatuan bangsa ini dapat diibaratkan dengan satu tubuh di mana setiap anggotanya saling menerima dan melayani, tanpa menegasi satu terhadap lainnya (1 Korintus 12:12-14).

Keempat, mengawasi setiap tahap pelaksanaan pilkada. Kehidupan demokrasi yang bermartabat bukan saja ditentukan oleh kesediaan masyarakat menggunakan hak pilihnya, tetapi juga melalui kesediaan untuk mengawal setiap tahapan dalam perhelatan pilkada. Gereja-gereja perlu mendorong dan mengedukasi warganya untuk bersama kelompok masyarakat lainnya mengawal pilkada agar berlangsung secara transparan, damai, dan sesuai dengan amanat undang-undang. Kepastian bagi semua warga untuk memperoleh dan menggunakan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil harus dijamin pemenuhannya oleh semua lembaga penyelenggara Pilkada (KPU dan Bawaslu).

MPH-PGI melihat, pengawasan yang ketat dan partisipatif akan meminimalisir berbagai kemungkinan terjadinya manipulasi suara, sebagaimana nampak pada berbagai perhelatan pemilu sebelumnya. Perilaku dan kondisi yang berpotensi mencederai prinsip kedamaian dalam penyelenggaraan pilkada sedini mungkin perlu diantisipasi dan diminimalisir. Termasuk di antaranya, setelah penetapan hasil pilkada dan pelantikan kepala daerah, maka semua perbedaan harus disandingkan dengan damai untuk mendukung kepemimpinan baru yang terpilih secara demokratis bagi semua elemen masyarakat. Kelima, memilih pemimpin berdasarkan jejak keteladanannya. Dengan bertumpu pada keteladanan kepemimpinan Yesus yang melayani, gereja-gereja harus secara intens melakukan pastoral politik kepada masyarakat maupun calon-calon pemimpin untuk sungguh-sungguh memperhatikan jejak keteladanan, kapasitas dan integritas dari setiap calon pemimpin sebelum terlibat dalam perhelatan pilkada.

Adalah penting bagi gereja-gereja untuk mengedukasi umat dan masyarakat mengenai kriteria-kriteria kepemimpinan yang harus dimiliki oleh setiap calon pemimpin yang memberi diri mereka untuk dipilih masyarakat. Mengenal jejak keteladanan dan integritas setiap calon pemimpin dalam kaitan dengan berbagai isu kemanusiaan dan kebangsaan merupakan prasyarat yang tak bisa dielakkan. “Pastikanlah untuk memilih dengan tepat para calon pemimpin daerah yang bijak, berpegang teguh pada nilai-nilai imannya dan konsisten mengamalkannya, berwawasan kebangsaan, memiliki karakter yang pluralis, antikekerasan dan cinta damai, tidak bermental koruptif, memiliki perspektif perlindungan terhadap perempuan dan anak, kaum disabilitas dan kelompok minoritas, membela hak azasi manusia serta perlindungan hak atas tanah dan hak masyarakat adat, peduli pada pelestarian lingkungan, serta tidak menjadi bagian dari oligarki kekuasaan,” tulisnya.

Pilihlah pemimpin yang tidak akan merusak tatanan dan masa depan demokrasi dengan menghalalkan semua cara untuk memperoleh kekuasaan. Baiklah kita semua memedomani arahan Alkitab sebagaimana tertulis dalam Keluaran 18:21, “…kau carilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap…” demikian pesan pastoral yang ditandatangani oleh Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, M.Th dan Sekrwtaris Umum Pdt. Jacklevyn F. Manuputty.

Keenam, waspadai pilkada di tengah pandemi Covid-19. Perhelatan Pilkada 2020 akan digelar di tengah situasi pandemi Covid-19. Tentu hal ini menimbulkan kekuatiran terhadap potensi berkembangnya kluster-kluster baru penyebaran virus. Menghadapi ancaman ini, maka tak ada pilihan lain selain menaati dengan ketat protokol kesehatan yang selama ini ditetapkan oleh otoritas kesehatan. Di antaranya, protokol 3M (menjaga jarak sosial dan jarak fisik, menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir). Penetapan perhelatan pilkada oleh pemerintah di tengah situasi pandemi Covid-19 harus diikuti dengan penegasan pemberlakuan aturan-aturan kampanye yang diselaraskan dengan tuntutan adaptasi perilaku dan kebiasaan baru di tengah masyarakat. Ideal kebaikan bersama yang akan dicapai melalui perhelatan pesta demokrasi yang bermartabat akan berubah menjadi bencana kemanusiaan, bilamana ketentuan-ketentuan pengamanan diri di tengah pandemi Covid-19 tidak ditaati secara konsekuen dan konsisten.

“Selain situasi kesehatan publik yang buruk, Pilkada 2020 juga dilaksanakan di tengah resesi ekonomi yang cukup berat. Kondisi ini mengisyaratkan dihindarinya berbagai bentuk pengelolaan kampanye yang terkesan menghambur-hamburkan uang, sehingga mencederai rasa keadilan masyarakat kebanyakan yang saat ini berada dalam krisis ekonomi. Terhadap potensi ancaman ini, gereja-gereja terpanggil untuk memperkuat advokasi kesehatan di tengah pandemi Covid-19, sambil selalu membunyikan tanda bahaya bilamana mencermati telah berkembang aktivitas umat dan masyarakat luas yang melampaui pembatasan-pembatasan sebagaimana ditetapkan dalam protokol kesehatan pribadi maupun masyarakat,” demikian pesan pastoral yang dikeluarkan pada 15 Oktober 2020 ini. JN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here