Narwastu.id – Pengendalian diri elemen, kekuatan pikiran yang tak lepas dari visualisasikan diri. Mengendalikan elemen itu dengan fokus kita lebih dalam, tepatnya pada energi yang terdapat pada diri kita tersemat dalam jiwa. Alih-alih jiwa merupakan potensi kekuatan yang tersembunyi dalam diri seseorang. Tentu, membiarkan jiwa tak terkelola akan mengantar emosional. Kemarahan yang tak mampu dikuasai dan mengendalikan diri kita hanya akan merusak dan menghancurkan diri kita sendiri. Di sinilah membiasakan diri berpikir positif dengan dialog batin yang positif. Dimulai dengan mengubah obrolan batin yang negatif menjadi positif dengan menggunakan afirmasi.
Oleh sebab itu, disiplinkan diri kita senantiasa belajar dengan sigap, ada hasrat di sana. Ketika hasrat menjadi semakin kuat, kemungkinan diri sendiri harus lebih besar hingga kekuatan pengendalian diri yang lebih besar untuk jangan terjatuh. Di sinilah kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya sendiri. Amsal berkata, orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya. Mengendalikan diri dimulai dari mengelola ucapan. Ibarat seperti bagal yang tak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, demikian juga manusia, perlu dikendalikan oleh ucapannya.
Belajar kekuatan pengendalian diri dimulai diri sendiri. Tak ada kendali yang bisa terkendali jika bukan dari diri sendiri yang mengusahakan atau mengkondisikannya menjadi habitus diri. Misalnya, orang yang mengendalikan diri mampu tenang dan tak meluap kemarahannya. Tatkala merasa tertekan, direndahkan, tentu tak mudah tak marah. Lalu, apa kekuatan dari keinginan dan kemampuan untuk menahan dorongan itu. Jelas jika kita ingin mengendalikan keinginan dalam diri kita, kita mulai dari komitmen diri. Salah satu yang dipelajari dari ilmu spiritual untuk kesuksesan dunia adalah mengatur jiwa keinginan, mengendalikan diri. Karenanya jika ingin mengendalikan keinginan dalam diri, harus mampu bersyukur setiap saat dalam kondisi apapun yang diimpikan. Oleh karenanya, patut senantiasa bersemangat dan bergairah dalam menjalani hidup. Tentu jika tak antusias, segala sesuatu terasa hampa dan tak bermakna, apa yang dilakukan sekadar rutinitas. Bahkan akan terasa tertumbuk akal dengan tujuan hidup, dan sepertinya tak ada hal yang menarik untuk dilakukan.
Lagi-lagi menyimpan kemarahan yang mendalam, sakit hati dan dendam terhadap seseorang atau suatu peristiwa tak baik. Mendendam itu seperti lahar yang disimpan dalam hati yang pada saatnya akan meluap. Tentu jika kita tak memahami orang-orang di sekeliling, atau sebaliknya, merasa orang-orang di sekeliling kita tak memahami kita, mesti tahu akal. Tentu tak boleh takut untuk mengendalikan diri. Jika pernah gagal, berusaha kembali. Tentu memiliki ketakutan gagal adalah penghambat, tak percaya diri itulah yang merusak.
Menyimpan perasaan bersalah atau merasa dipersalahkan. Merasa selalu gagal dan mengalami hal-hal yang tak diinginkan itulah yang membuat diri makin terpelosok jatuh ke kedalaman, tak percaya diri untuk bangkit. Maka jawabannya untuk mengatasi itu mengontrol emosi dan mengelola amarah harus dikonversi menjadi daya pengubah. Seseorang yang tak bisa mengendalikan kemarahan akan sulit mengambil keputusan dan atau selalu ragu oleh karena tak mengendalikan diri, dan berbagai macam mental block.
Selain itu, orang tak bisa hidup dengan ketenangan oleh karena tak bisa menyelesaikan pekerjaan. Terjebak dalam pekerjaan yang tak sesuai minat dan impian, sudah tentu akan setengah hati dilakukan. Hidup dalam rupa-rupa kegiatan yang membosankan. Tentu memang bisa juga karena bejibun pekerjaan yang menumpuk-numpuk. Atau, emosi yang tak terkontrol bisa juga sebaliknya, terjebak pengangguran berkepanjangan. Banyak hal yang kita inginkan rasanya seperti jauh dari jangkauan, jauh panggang dari api, dan berbagai-bagai rupa lain yang merongrong mental kita.
Kendalikan Ucapan
Setiap orang bisa dilihat dari perkataannya. Menilai manusia itu mudah, bisa dilihat dari kata-katanya. Jika seorang bisa mengendalikan ucapannya, maka seluruh tubuhnya juga bisa dikendalikan. Atau seperti kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil. Perkataan yang keluar dari mulut itu bersumber dari lidah. Lidah adalah bagian penting dalam mulut untuk berbicara.
Sudah tentu sebagai manusia, seseorang bisa keseleo lidah oleh karena terlalu banyak bicara dan tak dikendalikan, sudah pasti ada pelanggaran. Tetapi siapa yang menahan ucapannya, orang yang mengendalikan emosinya. Dalam Kitab Suci dikatakan, perlu mengenakan kekang pada mulut, seperti mulut kuda diikat kekang agar bisa dikendalikan.
Orang yang memahami mengendalikan diri akan menonjolkan kasih, suka akan hal-hal baik, dan selalu bijaksana dalam membuat keputusan, selalu menunjukkkan keadilan, berjuang untuk hidup lebih baik. Dan selalu belajar berbuat baik. Sebaliknya orang yang tak memahami kasih, tak tahu mengasihi, tak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tak dapat mengekang diri, garang, tak suka yang baik.
Lagi, orang yang bisa mengendalikan ucapannya, orang yang sudah dewasa, termasuk dewasa secara mental. Maka ada adagium, kedewasaan itu ada dua. Dewasa oleh karena berumur, dan kedua, dewasa secara mental. Dewasa secara usia sudah pasti, tetapi dewasa secara mental adalah pilihan seseorang. Tak semua sadar diri dewasa mental walau usianya sudah renta. Karenanya, kedewasaan seseorang terlihat dari sikap dan tindak-tanduknya menghadapi kesulitan. Tentu sikap itu harus dilatih dan diperkatakan dan terus ditunjukkan. Dan, orang yang dewasa tak takut pada masa depan, dan tak menangisi masa lalu. Jika seorang sudah dewasa secara mental, dia melakukan apa yang dia tahu bisa dia kerjakan, dan dia bisa mengontrol diri, dan menyalurkan emosi pada hal-hal yang positif.
* Penulis adalah pegiat penerbit dan motivator, penerima Certified Theocentric Motivator.