Narwastu.id – Tiga tahun lalu saat anak saya, Naomi masih duduk di kelas 3 SMA, ia menyatakan tekadnya, kelak akan kuliah di Universitas Indonesia (UI), Jakarta. Sebagai orang tua, kami mengingatkan kepadanya untuk menyerahkan pengharapan dan kerinduannya itu dalam doa-doanya kepada Tuhan dan terus tekun belajar. Dan itu benar-benar dia lakukan. Puji Tuhan, Naomi diterima berkuliah di FIB UI Jurusan Sastra Belanda, seperti yang diharapkan dan digumulinya bersama Tuhan.
Saat saudara membaca tulisan ini, kita sudah ada di penghujung tahun 2017. Tahun yang di dalamnya penuh dengan warna kehidupan. Ada saat kita bersukacita, karena keberhasilan-keberhasilan yang dicapai, usia yang bertambah, penyakit yang disembuhkan dan berbagai bentuk sukacita lain. Atau sebaliknya, di tahun ini kehidupan justru kita lewati dengan air mata karena berbagai hal. Kita mungkin juga menanyakan Tuhan mengapa doa kita belum juga dijawab, bahkan sampai di pengujung tahun ini. Ada pergumulan secara pribadi, pergumulan bersama keluarga, bersama gereja, bahkan kerinduan-kerinduan kita bersama bagi negeri kita tercinta.
Marilah kita sejenak merenungkan Yakobus 2:17, “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” Mungkin saja kita berkata bahwa tahun 2017 sudah kita jalani dengan iman dan percaya yang sungguh kepada Tuhan. Segala pergumulan dan rencana-rencana kita di tahun ini tak satu pun yang tidak kita doakan, semua kita minta Tuhan campur tangan. Tapi mengapa justru di akhir tahun ini, saat kita coba melihat ke belakang dan introspeksi, mungkin kita berkata, “Ah, tak satupun doa kita yang Tuhan jawab. Tak satupun harapan kita di tahun ini yang dikabulkan Tuhan.”
Saya belajar merenungkan ayat Firman Tuhan ini lewat pengalaman iman anak saya Naomi bersama Tuhan. Dia tahu persis bahwa tidak cukup baginya untuk bisa tembus di Universitas Indonesia sesuai harapannya hanya dengan berdoa meminta kepada Tuhan dengan imannya. Harapannya tersebut diikuti dengan tindakannya untuk belajar giat bahkan sampai larut malam. Kamar yang berantakan dengan hamburan buku-buku di mana-mana saat belajar, terkadang baru sempat ia rapikan esok paginya sebelum berangkat lagi ke sekolah. Tidak sedikit juga waktu makan malam yang dia lewati hanya karena keasyikan belajar. Bahkan waktu berkomunikasi dengan teman-temannya pun harus ia kurangi demi menambah jam belajar untuk mempersiapkan dirinya menghadapi ujian lulus SMA dan ujian masuk Universitas Indonesia.
Naomi melakukan sesuatu yang menjadi bagiannya, sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya, yaitu memberi waktu yang cukup baginya untuk belajar giat demi mewujudkan kerinduan dan mimpinya untuk bisa belajar Sastra Belanda di Universitas Indonesia. Naomi tidak hanya beriman bahwa Tuhan pasti akan menolongnya untuk kelak diterima di sana, tapi dia memperlengkapi dirinya untuk itu semua.
Saat kita menemukan di akhir tahun ini, ada doa dan harapan kita yang belum dijawab Tuhan, mari bersama-sama, saya dan pembaca Majalah NARWASTU, kita koreksi jangan-jangan kita hanya berdoa dan meminta sesuatu dari Tuhan sepanjang tahun 2017 ini, tapi kita kemudian diam dan pasif. Kita tidak melakukan apa-apa, seperti yang Tuhan kehendaki bagi kita. Kita menjadi seperti Naomi hanya pada bagian berdoa dan meminta kepada Tuhan dengan iman saja. Tapi kemudian tidak mau belajar sampai larut malam, tidak bersedia waktu untuk kegiatan kita yang lain harus dikurangi. Kalau ini yang kita lakukan, maka benarlah kata Firman Tuhan di atas: IMAN TANPA PERBUATAN ADALAH MATI.
Secara pribadi, mungkin kita perlu meningkatkan hubungan pribadi kita dengan Tuhan, sehingga dari hari ke hari kita semakin peka dan mengerti apa yang Tuhan mau bagi kita. Jangan-jangan kita sudah tidak punya lagi waktu untuk Tuhan karena menganggap kita pintar dan mampu menjalani hidup kita sendiri atau kita kita sudah menjadi pribadi yang mengandalkan manusia dan teknologi yang ada. Jangan-jangan kita bahkan sudah tidak pernah berdoa. Jangan-jangan kita sudah lama tidak ke gereja. Jangan-jangan….
Secara keluarga, sepanjang tahun ini mungkin kita mengalami kemunduran dalam menyiapkan waktu persekutuan keluarga yang khusus bagi Tuhan. Sebagai orang tua kita terlalu sibuk untuk hanya mendoakan anak-anak kita tanpa diikuti dengan langkah untuk dapat menjadi teladan dan panutan bagi mereka, menyediakan waktu bagi mereka untuk berkomunikasi. Sebagai anak-anak, kita bisa saja menganggap orang tua kita sudah tidak ada karena kesibukan kita masing-masing, atau tidak lagi menghargai keberadaan orang tua kita karena menganggap mereka ketinggalan jaman dan tidak mengerti dunia kita “zaman now.”
Sebagai gereja, lebih parah lagi, kita menikmati zona nyaman kita, dengan melakukan rutinitas yang kita bilang “pelayanan.” Tapi setelah dicek sebenarnya kita bukan melayani Tuhan, tapi kita sedang melayani diri kita sendiri. Kita hidup dalam pelayanan yang luar biasa sepanjang tahun ini, tapi kita juga tetap hidup menjadi batu sandungan bagi jemaat kita sendiri karena perbuatan-perbuatan kita yang “melayani diri sendiri” itu. Kita minta jemaat untuk tidak khawatir akan kebaikan dan kemurahan Tuhan, tapi kita sendiri ketar-ketir saat menyadari uang kas gereja semakin minim. Tanpa sadar kita juga sering menggunakan jabatan kita di gereja untuk dengan mudah mendiskreditkan orang lain yang kita rasa tidak sejalan dengan kita.
Menyikapi keberadaan negeri kita saat ini, mungkin saja kita sudah ambil bagian untuk mendoakan dan meminta Tuhan memulihkan dan menyelamatkan. Tapi apakah kita juga telah memberikan kontribusi kita secara nyata bagi negara kita? Banyak anak-anak Tuhan yang beranggapan, memberikan suara mereka saat pemilu berlangsung adalah perbuatan sia-sia dan buang-buang waktu. Padahal itulah salah satu perbuatan nyata kita mencintai negeri kita dengan bukan hanya cukup mendoakannya. Tuhan mau kita berdampak bagi negeri kita. Apalagi sebentar lagi akan ada pemilihan kepala daerah dan dilanjutkan dengan pemilihan presiden. Mari kita bukan hanya mendoakannya tapi juga memberi dukungan dengan cara melakukan hak konstitusi kita dan sekaligus tanggung jawab kita sebagai warga negara.
Janganlah kita menjadi pribadi yang percaya dan mengimani Tuhan tapi do nothing! Ketika kita merindukan sesuatu yang baik terjadi untuk negeri kita, untuk gereja kita, untuk keluarga kita, dan untuk diri kita sendiri, marilah mulai melakukan bagian kita. Jangan menjadi pribadi yang pasif, jangan menjadi keluarga yang tidak menjadi berkat, jangan menjadi gereja yang suam-suam kuku, dan jangan biarkan negeri kita hancur hanya karena kita pura-pura dan masa bodoh dengan peran dan tanggung jawab kita. Ada pepatah yang mengatakan, “Bila kau sedang menantikan esok, mengapa tidak melakukannya sekarang?” Kita harus melakukan (perbuatan) apa yang menjadi bagian kita. Selanjutnya Tuhan akan melakukan bagianNya untuk kita.
Penyertaan Tuhan bagi kita sepanjang 2017 adalah anugerah yang luar biasa. Saat kita diizinkan untuk terus melangkah memasuki tahun 2018, artinya ada rencana Tuhan yang masih rindu IA genapi dalam hidup kita anak-anakNya, dalam keluarga-keluarga Kristen, dalam setiap gerejaNya, dan juga bagi negeri kita tercinta Indonesia. Selamat memasuki tahun 2018 dengan IMAN dan PERBUATAN yang menyenangkan TUHAN.
* Penulis adalah lulusan Fakultas Komunikasi IISIP, Jakarta dan Ketua Komisi Dewasa GKI Pamulang, Tangerang, Banten.