Narwastu.id – Ada ditulis di Alkitab, wanita adalah penolong bagi pria. Kalau ia penolong berarti perannya sangat berarti, tak bisa diremehkan. Sebabnya, kaum wanita atau ibu perlu dihargai eksistensinya, baik di rumah tangga, gereja, masyarakat dan bangsa. Kalau wanita tak ada, barangkali sebuah bangsa sulit untuk maju. Karena banyak anak-anak berprestasi justru karena didikan kaum ibu. Termasuk kesuksesan kaum pria, pasti di belakangnya ada seorang wanita (istri).
Hal itu diungkapkan oleh psikolog dan aktivis gereja, Pdt. DR. Sarah Fifi, S.Th, M.Si, kepada NARWASTU dalam sebuah kesempatan, saat berbicara tentang eksistensi kaum wanita. Ketua Departemen Teologi DPP PIKI ini menerangkan, kenapa sekarang ada perayaan Hari Ibu, bukan Hari Bapak, “Karena keberadaan kaum ibu perlu kita apresiasi. Coba lihat ibu rumah tangga. Dari pagi hingga malam nyaris ia tak punya waktu beristirahat. Apalagi kalau punya anak kecil. Ia mengasuh anak, mencuci, memasak, melayani suami dan menjaga rumah. Juga mengarahkan pembantu rumah tangga.”
Sedangkan suaminya, katanya, hanya mencari nafkah. Itu sebabnya, keberadaan kaum ibu perlu kita hargai dengan sebuah peringatan. “Karena dari tangan merekalah lahir manusia yang kelak jadi generasi penerus bangsa,” ujar Ketua Yayasan Apostel Bangun Bangsa, yang giat melayani sebagai Wakil Ketua Sinode Gereja Kristen Getsemani (GKG) ini.
Ada cerita tentang seorang pria yang amat menghargai perjuangan ibu yang melahirkan dan membesarkannya. “Pria ini telah sukses berkarier. Ketika tiba Hari Ibu (22 Desember) ia mematikan handphone-nya agar tak diganggu, ia cuti kerja dan membawa ibunya yang sudah tua makan siang bersama dan berbelanja. Hati ibu ini amat terharu, ia menitikkan air mata karena dihargai anaknya saat Hari Ibu. Ibu ini pun makin tekun berdoa untuk sang anak. Dan, setiap ia berdoa, doanya selalu dikabulkan oleh Tuhan,” tukasnya.
“Anaknya pun selalu sukses dalam hidup, dan akhirnya punya istri yang keibuan pula. Dari sini bisa kita petik kesimpulan, ada cinta kasih anak kepada ibunya, dan doa ibunya selalu didengar Tuhan. Itu sebabnya, kita harus menghargai peran kaum ibu. Dengan kata-kata pujian dan perilaku, kita harus hargai keberadaan mereka,” papar wanita yang sering berkhotbah di lembaga-lembaga swasta ini.
Pdt. Sarah Fifi menambahkan, di saat suami menghadapi pencobaan berat, misalnya, terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) dari kantornya, istri yang sering menghiburnya supaya tabah. “Di situlah istri memberi kekuatan dan pertolongan, baik dengan kata-kata maupun doa. Tanpa pertolongan wanita, pria atau suami sering tak lengkap meraih sukses. Makanya, kalau ada seseorang pria atau suami yang sukses, orang-orang bijak sering bertanya, siapa iya, istri yang berada di belakangnya,” cetusnya.
“Tidak mungkin ada pria atau suami yang sukses tanpa dukungan dari istrinya. Begitu juga sebaliknya, tak mungkin ada istri yang sukses tanpa dukungan suaminya,” ujar pengagum Megawati Soekarnoputri ini. Ia mengatakan, kagum dengan kiprah seorang Megawati Soekarnoputri, karena mantan Presiden RI ke-4 itu tetap memiliki sifat keibuan meskipun ia pernah menjadi pemimpin bangsa dan pimpinan partai politik.
“Di Alkitab pun ada sejumlah wanita yang patut kita teladani karena perjuangannya, misalnya, Maria yang melahirkan Yesus, Ester yang lembut tapi berani dan punya prinsip. Debora, ibu rumah tangga yang berani menyampaikan suara kenabian,” terangnya. Di Indonesia ini, imbuhnya, kaum wanita adalah mayoritas, sehingga keberadaan mereka harus diperhitungkan. “Tidak masanya lagi dipersoalkan atau ditolak wanita yang mampu untuk berkhotbah di mimbar gereja. Kaum wanita pun sejajar dengan pria,” tukasnya.
Saat ditanya, bagaimana ia menyikapi maraknya kini perselingkuhan wanita yang sudah bersuami, dengan lugas Pdt. Sarah Fifi menjawab, “Itu masalah moral. Di gereja pun ada pelayan wanita yang selingkuh, padahal ia sudah bersuami. Kalau istri sudah selingkuh, itu bahaya bagi rumah tangganya. Artinya, hatinya sudah melekat kepada seorang pria. Lain dengan pria, kalaupun ia selingkuh, hatinya masih bisa tetap kepada istrinya. Sebab, wanita cenderung memakai emosi dan pria lebih realistis.”
Menurut pendeta yang sering diundang ceramah soal kehidupan keluarga ini, dalam hidup manusia ada tubuh, jiwa dan roh. “Kalau kebutuhan tubuh adalah makanan, maka kebutuhan jiwa, kasih sayang, perhatian atau pujian melalui kata-kata. Sebabnya, suami jangan meremehkan arti dari pujian lewat kata-kata kepada istri. Istri bisa berpaling kepada pria lain kalau pria lain itu lebih memperhatikannya. Jadi, pujian perlu diberikan secara proporsional kepada istri. Karena, itu adalah kebutuhan jiwa. Dari hasil pengamatan dan pembicaraan saya dengan jemaat bermasalah, ternyata perselingkuhan istri cenderung terjadi karena kurangnya perhatian suaminya,” cetusnya.
Untuk menghadapi dunia yang semakin modern, imbuhnya, kaum ibu atau wanita harus melengkapi dirinya dengan delapan kecerdasan. Pertama, kecerdasan kognitif (berpikir). Kedua, kecerdasan linguistik (berbahasa). Ketiga, kecerdasan body language (bahasa tubuh). Keempat, kecerdasan motivasi. Kelima, kecerdasan emosi. Keenam, kecerdasan daya tahan akan kemalangan. Ketujuh, kecerdasan membina hubungan, dan kedelapan, kecerdasan spiritual. “Saya sering melayani anak-anak remaja di sejumlah lembaga pemasyarakatan (LP). Anak-anak ini sering mengatakan, mereka jatuh pada kenakalan remaja dan narkoba sehingga masuk penjara, karena kurangnya perhatian ibunya. Jadi, ini patut kita renungkan bersama. Kita tak bisa hanya menyalahkan anak,” tukasnya. HNP