Narwastu.id – Disengaja atau tidak, arah hidup manusia sekarang ini cenderung berorientasi kepada kesibukan kerja. Maksudnya, masalah kesibukan kerja telah menjadi titik utama dalam arah kehidupan ini. Itulah sebabnya, di mana-mana, terlebih di kota-kota besar, kita melihat dan menyaksikan kehidupan manusia-manusia yang padat dan sarat dengan kesibukan. Dari pagi hingga petang, kita bertemu dengan begitu banyak orang yang tak mempunyai waktu lagi untuk duduk tenang, mengaso tenteram, sehingga tak ada kesempatan lagi untuk tersenyum ramah kepada sesama atau memberi simpati kepada mereka yang malang.
Sebenarnya faktor apakah yang mendasari sikap-sikap seperti ini? Barangkali telah diketahui, bahwa salah satu kebutuhan terdalam yang diangankan setiap orang, adalah kebutuhan untuk dihargai. Tiap orang membutuhkan pengakuan atas dirinya, bahwa dia mempunyai harga dan nilai.
Dengan adanya kodrat manusiawi seperti ini, lalu manusia mencari di mana letak nilai dan harga seseorang dalam tata kehidupan ini. Ada banyak model dan bentuk dari perwujudan sikap manusia dalam mencari nilai kehidupan. Namun yang terbanyak adalah dicari di dalam sukses-sukses diri. Karena dianggap, bahwa kesuksesanlah yang menempatkan manusia pada nilai dan harga yang layak. Dan untuk mencapai sukses, manusia harus bekerja keras.
Faktor ini juga ditunjang dengan adanya norma masyarakat yang memang menghargai seseorang yang karena kerja kerasnya, dapat meraih sukses. Pada umumnya, masyarakat kurang menghargai mereka yang dapat hidup layak tanpa memeras keringat. Bukan itu saja. Posisi seseorang dalam masyarakatpun, banyak ditentukan oleh pekerjaannya. Orang yang tidak bekerja pastilah tak akan menerima penghormatan yang layak. Tetapi masyarakatpun memandang rendah terhadap orang yang mempunyai pekerjaan, tetapi tidak sungguh-sungguh dalam bekerja. Demikianlah, falsafah tentang bekerja keras untuk meraih sukses, agar mendapat nilai dan harga dalam kehidupan ini, telah berkembang menjadi suatu sistim nilai kehidupan manusia.
Falsafah kehidupan semacam ini, pernah juga diutarakan oleh seorang tokoh dalam Alkitab, yaitu Marta. Ia menganggap, bahwa dirinya yang sibuk bekerja lebih patut dan terhormat daripada adiknya yang hanya duduk bersimpuh di kaki Yesus. Ia menyangka, bahwa dengan kesibukannya itu ia akan mendapatkan penghargaan yang layak. Sedangkan adiknya yang dinilai “malas” itu, akan mendapat teguran. Maka dengan suara lantang, ia berkata kepada Tuhan Yesus, “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.” Tetapi apa jawab Kristus? “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya” (Lukas 10:38-42). Apa yang terbaik menurut penilaian Kristus? Ialah duduk di dekat kakiNya sambil mendengarkan perkataanNya!
Sebagai manusia Kristiani, memang ada saat-saat khusus di mana kita perlu dan lebih baik berdiam diri di hadiratNya daripada sibuk bekerja. Bukan maksudnya di sini untuk membuat klasifikasi, bahwa berdiam diri di hadapan Tuhan lebih patut dan lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan kesibukan kerja. Sebagai makhluk hidup, masalah bekerja mempunyai arti amat penting dalam kebutuhan manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Tetapi janganlah hendaknya perihal keharusan bekerja ditempatkan sebagai motto kehidupan, sehingga hidup kita sepenuhnya hanya diperuntukkan untuk bekerja, tanpa dapat terisi lagi dengan kebutuhan-kebutuhan lain, dalam kaitannya dengan keberadaan kita sebagai mahluk sosial terlebih insan religius.
Lebih daripada itu, adalah suatu kekeliruan besar apabila kita berkonsepsi, bahwa nilai kehidupan itu terletak pada kesuksesan yang kita raih akibat bekerja keras. Tetapi semata-mata terpancar dalam bagaimana kita dapat meresapi dan menghayati arti kehidupan ini secara benar dan mendalam. Dan itu semua baru dapat kita lakukan apabila kita sempat mempunyai waktu untuk sejenak berdiam diri di hadiratNya, merenungkan dan menilai kehidupan ini dengan terang iman yang kita peroleh saat kita menengadahkan muka kepadaNya.
Paus Johannes XXIII menyatakan bahwa gereja harus menjadi tanda keselamatan dalam dunia, bahwa semua orang dari keyakinan religius manapun ditawari keselamatan Ilahi, kalau mereka berusaha hidup menurut hati nurani mereka, ucap Frans Magnis Suseno, Mei 2014.
Bahkan tokoh lintas Agama Desember 2015 antara lain: Abdul Muti dari Muhammadiyah, Imam Pitudu dari NU, Ketut Purwarta dari Parasada Hindu, Krisian dari Majelis Konghucu, Andreas dari PGI, Guido Suprapto dari KWI sangat menyayangkan perlindungan yang dilakukan oleh Mahkamah Kehormatan Etik DPR terhadap seseorang yang menamakan dirinya Pimpinan Wakil Rakyat yang menilai kehidupannya memiliki harta beratus miliar, masih saja berusaha untuk terus meningkatkan kekayaan dirinya dengan beragam sepak terjang “infonya” sampai-sampai membawa nama RI 1 dan RI 2 dan masih diselidiki instansi yang berwenang. Bahkan 2016 terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, terpilih Ketua DPR, tersangka kasus E-KTP 2017.
Sebab pada hakekatnya, manusia bukanlah hanya terdiri dari daging dan tulang; yang hanya membutuhkan nasi dan ikan asin belaka. Pada bagiannya yang terdalam kita memiliki jiwa dan roh yang membutuhkan sesuatu yang lebih luhur dari hanya sekadar makan atau minum. Jiwa dan rohani kita membutuhkan makanan tersendiri, yang hanya dapat dicari dan ditemukan tatkala kita menyatu diri dengan Sang Sumber Hidup itu sendiri. DaripadaNyalah akan hadir kebutuhan-kebutuhan terdalam yang dapat mengisi jiwani dan nurani kita.
“Maria telah memilih bagiannya yang terbaik…,” kata Kristus. Karena memang dengan berdiam diri di hadapanNya itulah, manusia baru dapat menyerap dan menghadirkan ke dalam nuraninya daya-daya semesta alam dan semesta kehidupan ini.
Karena saat kita berdiam diri, berdoa dan menyatukan diri dengan Sang Hidup itulah, seluruh jiwa dan batin kita dapat menghayati suatu pelepasan dari konsep-konsep manusiawi kita yang sering membelenggu dan menjerumuskan kita ke arah penyimpangan hidup.
Melaluinyalah akan berkumandang dalam hati kita lagu syukur atas segala yang sejati. Dari sanalah akan memantul gema yang dapat meneriakkan sesuatu yang mampu mengangkat hati kita dari kebekuan, kekosongan dan ketidak mengertian akan hidup ini, kearah penghayatan makna hidup yang sejati. Sehingga kita akan benar-benar dapat mengecap makna hidup ini dengan seluruh nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Maka benar kata Daud dalam Mazmurnya:
“Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku ke jalan yang benar oleh karena namaNya.
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku.
Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.
Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa … “ Mazmur 23:1-6.
* Penulis adalah pensiunan Jaksa Utama Golongan IVE Kejagung RI, mantan Inspektur Polisi Golongan IIIB Polda Metro. Juga mantan Asisten Golongan IIIA FH & IPK UI. Penatua GMIT (1988) di Larantuka, Flores Timur dan anggota jemaat Gereja HKBP Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.