Mencegah Bahaya Radikalisme dan Disintegrasi Bangsa

247
Pdt. Sapta B. Siagian, M.Th tampak bersama Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian di sebuah acara

Bicara penyebaran paham radikalisme masih menjadi bahaya laten yang menghantui seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menjadi laten karena paham radikalisme memberi dampak kehancuran yang luar biasa, dan berujung pada aksi-aksi teror. Seperti yang terjadi baru-baru ini aksi bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada Rabu, 25 Mei 2017, dan di London, Inggris, beberapa waktu lalu.

Radikalisme berasal dari kata radic yang berarti akar, dan radikal sendiri adalah sesuatu yang mendasar atau hingga sampai ke akar-akarnya. Penyusunan predikat “radikal” dapat dikenakan pada pemikiran, yang kemudian ada istilah “pemikiran radikal”, dapat juga pada gerakan, yang kemudian disebut “gerakan radikal.” Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai (a) fundamental, mendasar, primer, esensial, kardinal, vital, drastis; (b) ekstrim, fanatik, keras, militan, revolusioner; (c) liberal, maju, progresif, reformis, terbuka; (d) (kaum, orang) ekstrimis, reaksioner, revolusioner.

Dengan demikian radikalisme dapat diartikan sebagai sebuah paham atau aliran keras yang ingin melakukan sebuah perubahan sosial atau politik dengan cara cepat, drastis, keras, dan ekstrem. Dari pemaparan fakta-fakta radikalisme di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah mengalami ancaman besar, karena disinyalir paham radikalisme telah merangsek ke kalangan kampus, dan menghancurkan generasi muda, yang digadang-gadang sebagai “tulang punggung bangsa.”

Para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan, pengaruh paham dan ideologi radikal semakin merisaukan karena gerakan militan marak berkembang di kalangan kelompok strategis, terutama mahasiswa. Hal itu cukup mengkhawatirkan, karena menurut seorang peneliti LIPI, Anas Saidi, hal itu bisa mengakibatkan disintegrasi bangsa dalam dua atau tiga dekade ke depan bila tidak ada tindakan dari negara dan kalangan moderat.

Untuk mengatasinya, kata Anas, perlu strategi kebudayaan yang menyeluruh dan berkesinambungan. Pasalnya, gerakan ideologi dengan mempolitisasi agama yang menggunakan istilah dan berputar pada kekuasaan Tuhan akan mudah membuat orang memiliki semangat yang kuat untuk mengutamakan simbol-simbol agama sebagai daya tarik. “Untuk itu perlu deradikalisasi secara halus, lewat bahasa-bahasa agama yang relevan dan sosialisasi pandangan tentang adanya nilai-nilai afinitas antara agama dan Pancasila. Ini untuk mengembalikan corak keagamaan yang jadi ciri khas Islam di Indonesia, yaitu moderat, inklusif dan toleran,” ujarnya dalam diskusi mengenai radikalisasi di Indonesia yang digelar LIPI di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Anas menambahkan, proses radikalisasi dalam kelompok mahasiswa atau anak muda cenderung berlangsung secara tertutup dan dan tidak terbuka pada pandangan lain, apalagi bagi kalangan mereka yang berbeda keyakinan. “Proses yang monolitik ini jadi potensi untuk radikalisasi. Di sisi lain, seharusnya di atas kertas proses Islamisasi ini bisa mendorong mahasiswa untuk lebih mendalami nilai-nilai agama seperti sifat antikorupsi,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, tahapan dalam proses radikalisme adalah persoalan beda tafsir, baik secara tekstual maupun kontekstual. “Karena tafsir yang berbeda, seseorang bisa mengkafirkan orang lain, padahal sesama saudara. Persoalan beda tafsir bisa membuat orang saling bunuh. Hasil penelitian tahun 2011 yang dilakukan pada lima universitas ternama di Indonesia, yaitu UGM, UI, IPB, Unair dan Undip, menunjukkan ada peningkatan pemahaman fundamentalisme keagamaan di kalangan mahasiswa di kampus-kampus umum. Tetapi kecenderungannya itu tidak berubah dan masih terjadi hingga sekarang,” tutur Anas tanpa merinci hasil survei itu.

Sedangkan peneliti LIPI lain, Endang Turmudi, menyebutkan radikalisme bukan hal baru di Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan adanya pandangan untuk mendirikan negara Islam sejak kelahiran Darul Islam yang dipimpin Kartosuwiryo. Radikalisme di Indonesia juga sangat berkaitan dengan ideologi yang berasal dari pemahaman agama dan secara kuat melekat pada pemikiran dan jiwa mereka yang mempercayainya. Ideologi juga berpangkal pada pandangan baik tentang keharusan menegakkan ajaran agama dengan cara apapun dan pandangan bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat sekarang adalah hukum kafir, telah membentuk sikap-sikap radikal.

Menurut Endang, mereka yang meyakini paham radikal menganggap bahwa pemerintahan yang melaksanakan hukum tersebut dan mengayomi masyarakat dengan hukum itu adalah thogut atau pemerintahan yang kafir. “Anggapan ini didasarkan pada pandangan bahwa pemerintah yang ada tidak melaksanakan dan menerapkan secara formal hukum Islam sebagai dasar hukum di Indonesia. Yang radikal belum tentu menjadi teroris, tapi bisa saja berpindah haluan menjadi teroris apabila mereka merasa negara tidak berbuat banyak untuk warganya,” tambahnya.

Menurut Endang, para teroris menunjukkan radikalisme dengan melakukan kekerasan, seperti melakukan serangan bom. Ada sebagian lain jumlahnya lebih besar yang mengancam negara dan masyarakat, yaitu mereka yang berpaham radikal dan telah menyebarkan paham pada seluruh segmen masyarakat.

Dia menyebutkan, mereka ini menjadi lebih berbahaya karena bentuknya lunak dan tak memakai kekerasan, tidak memunculkan masalah secara langsung sehingga aparat keamanan umumnya tidak memberikan perhatian khusus pada mereka atau mengamati perkembangannya.

Sementara itu, peneliti LIPI yang lain Hamdam Basyar menyebutkan, penyebaran radikalisme dan perekrutan terorisme bisa terjadi melalui media sosial dan ini merupakan cara baru yang dipakai jaringan kelompok garis keras. “Kalau dulu mereka menyebarkan pandangannya melalui pengajian umum yang menyebarkan kebencian terhadap kelompok yang dianggap musuh, tapi kini bisa dengan gampang disebar melalui media sosial,” katanya.

Hamdan menambahkan, sekarang, ide-ide keras dan radikal yang berasal dari jaringan kelompok teroris disebarkan secara masif lewat internet. Pembaca yang tertarik dapat mendalami lebih lanjut dengan menghubungi alamat web tertentu. “Mereka yang terekrut lewat internet kemudian dikumpulkan dalam kelompok sel tertentu, lalu dilakukan pembinaan secara konvensional sampai mereka siap melakukan tindakan radikal,” pungkas Hamdan.

Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris), Komjen Pol. Suhardi Alius.

Hal senada diungkapkan Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris), Komjen Pol. Suhardi Alius, saat memberikan kuliah umum bertema “Resonansi Kebangsaan dan Mencegah Radikalisme” di hadapan sekitar 5.000 mahasiswa dan para rektor dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta se-wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dalam acara “Deklarasi Semangat Bela Negara dari Semarang untuk Indonesia” yang berlangsung di Universitas Negeri Semarang (Unnes), belum lama ini.

Menurut jenderal bintang tiga ini, penyebaran paham radikalisme sudah mulai sistemik dan sangat mengkhawatirkan. Bahkan penyebaran tersebut sudah terlihat sistemik dengan masuk ke instansi-instansi pendidikan termasuk ke perguruan tinggi. Hal tersebut tentunya memerlukan perhatian yang khusus bagi para rektor perhuruan tinggi yang ada di seluruh Indonesia. “Penyebaran paham radikal di lingkungan kampus sekarang sudah sangat gawat sekali. Sudah tidak ada sekat. Kalau kita tidak gerak cepat untuk mengawasinya tentunya ini akan membahayakan terhadap anak-anak kita nantinya dan tentunya bangsa ini sendiri,” ujarnya.

Kekhawatiran akan radikalisasi di perguruan tinggi yang disampaikan Kepala BNPT ini berangkat dari peristiwa Deklarasi Khilafah oleh salah satu organisasi massa di salah satu kampus perguruan tinggi negeri di Jawa Barat beberapa waktu lalu. “Kejadian itu tentunya sangat kami sayangkan. Seharusnya pihak kampus sudah bisa mencegah kegiatan tersebut dari awal. Begitu sudah kejadian dan ramai diberitakan seperti itu jangan malah bilang tidak tahu mengenai organisasi itu,” ujar mantan Kabareskrim Polri ini.

Mantan Kapolda Jawa Barat ini pun meminta pengelola perguruan tinggi di seluruh Indonesia untuk semakin meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas para mahasiswanya, terutama terhadap organisasi kemahasiswaan yang bersifat eksklusif. “Radikalisme bukan hanya karena kemiskinan, kebodohan, kekecewaan ataupun ketidakadilan. Karena saat ini radikalisme sudah terpapar di kaum intelektual. Termasuk adanya deklarasi Khilafah itu tadi, pihak kampus harus bisa mendeteksi kegiatan yang dilakukan mahasiswanya. Kami harapkan ini tidak terjadi lagi di institusi pendidikan lainnya,” katanya.

Semua tentunya berharap agar NKRI jangan sampai ideologi radikalisme berkembang, bahkan mengakar dan menyebar di kalangan generasi muda, oleh karenanya perlu dikaji dan direspon secara serius, bahkan dilakukan penanganan-penanganan khusus oleh berbagai pihak melalui program-program yang preventif dan edukatif baik skala regional, nasional, maupun internasional. Sebab, jika generasi muda telah terkontaminasi dengan pemahaman ideologi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, maka mereka akan kehilangan masa depan yang cerah. Namun sebaliknya, para generasi muda yang baik dan berjiwa damailah yang akan tumbuh dan berkembang di masyarakat yang berperadaban, sehingga mereka akan memimpin dengan baik.

Pihak Rektorat Harus Tahu dan Tidak Masa Bodoh

Mudahnya kalangan generasi muda, secara khusus para mahasiswa disusupi oleh paham-paham radikalisme ini disebabkan mereka (mahasiswa), adalah golongan yang rentan dan sangat mudah menerima berbagai informasi serta doktrin yang dapat mempengaruhinya, apalagi bila membawa keuntungan baginya. Ditambah kemajuan teknologi sekarang ini yang sangat akrab dengan mereka.

“Terkadang tanpa kajian yang mendalam langsung saja diserap dan diterima. Belum lagi budaya kekerasan yang terus menerus diterima dan dilakukan sehingga baginya hal tersebut adalah hal yang biasa,” ujar dosen Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Pdt. Dr. Djoys Rantung Karundeng.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PERWAMKI, Pdt. Sapta B. Siagian, M.Th menuturkan, paham radikalisme sudah masuk semua elemen, contoh ada anggota Polri yang 18 tahun bertugas menjadi teroris, yaitu Sofyan Sauri, dan ada PNS yang juga terlibat. Begitu juga radikalisme masuk kampus, seperti di IPB dengan adanya deklarasi Khilafah. “Biasanya kerja-kerja mereka massif dan eksklusif. Mereka berpikir sempit tentang hakekat agama. Hal ini terjadi karena ada proses pembiaran,” ujar alumni LEMHANNAS PPRA 54 tahun 2016 ini.

Lalu siapa yang harus disalahkan? Menurut Pdt. Sapta yang juga Pemimpin Redaksi Tabloid Solafide ini, rektorlah yang pertama harus disalahkan. Semestinya rektorat harus tahu dan tidak masa bodoh terhadap kegiatan kampus. Peristiwa di IPB sudah berlangsung bertahun-tahun, di mana gerakan radikal menyusup melalui organisasi di kampus, melalui kajian-kajian ekslusif. “Banyak kampus PTN dan PTS banyak disusupi oleh gerakan radikal yang bertentangan dengan tri darma perguruan tinggi,” tukasnya.

Untuk menangkal agar paham radikalisme tidak berkembang luas di lingkungan kampus, jebolan STT Jaffray Jakarta ini melihat, pemerintah secepatnya membuat regulasi terhadap teroris dan radikalisme, serta membumikan Pancasila. “Puji Tuhan, pemerintah Jokowi sudah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila melalui Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2017. Unit ini memiliki tugas menumbuhkan rasa cinta terhadap Pancasila. Semoga melalui unit ini dan Undang-Undang Terorisme dapat berjalan dan bisa mengawal Pancasila sebagai ideologi negara,” katanya.

Meski demikian dia melihat, politik identitas masih kerap dimainkan oleh kelompok tertentu, begitu juga politisasi agama masih menjadi alat propaganda dalam politik praktis. Hal ini membuat Indonesia harus melalui jalan panjang dalam rangka memberangus penyebaran paham radikalisme.

Melawan Paham Radikal Lewat Sastra

Berbagai upaya dapat dilakukan dalam rangka menangkal radikalisme, salah satunya melalui sastra. Seperti yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Barat (Kalbar), dengan menggelar kegiatan baca puisi, berpantun, dan menuturkan cerita singkat sebagai bentuk “perlawanan” terhadap paham radikal, di ballroom sebuah hotel di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), pada Kamis, 18 Mei 2017 lalu.

Kegiatan tersebut tidak hanya diikuti oleh sastrawan, tetapi juga guru bahasa Indonesia, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), sampai pegawai kantoran. Sekitar seratus orang berpartisipasi dalam acara ini. Mereka mau menyentuh sisi terdalam manusia, yaitu perasaan, melalui apresiasi sastra dengan menggelar pelibatan komunitas seni budaya dalam pencegahan terorisme yang bertemakan “Sastra Cinta Damai, Cegah Paham Radikal.”

Kepala Sub Bagian Tata Usaha Deputi I BNPT, Solihuddin Nasution, mengatakan, pendekatan sastrawi hanya satu dari sekian banyak mekanisme yang telah dijalankan untuk menangkal paham radikal yang mudah muncul lewat berbagai tulisan, postingan media sosial, sampai broadcast pesan melalui jalur pribadi. Dia berharap, gerakan sastrawi mampu menginspirasi kaum muda yang belum terpapar paham radikal untuk merawat semangat persaudaraan baik secara personal, maupun melalui komunitas-komunitas dan kemudian menyebar ke masyarakat luas.

Sementara itu, peneliti sastra pada Balai Bahasa Kalbar, Musfeptial, dalam paparannya di kegiatan itu, menjelaskan sastra memiliki modal untuk masuk dalam ranah pencegahan radikalisme, karena sifatnya mendidik dan menghibur. “Saya menawarkan solusi konkret, yakni melakukan pengenalan sastra pada masyarakat luas, karena sastra juga memuat aspek religi dan budaya. Dengan demikian, antarwarga akan tercipta komunikasi yang intens sehingga mampu meredam potensi pergesekan,” katanya.

Dua sastrawan nasional dihadirkan, yakni penyair Joko Pinurbo dan Eka Budianta. Joko yang sudah menerbitkan 12 buku kumpulan puisi, mengatakan, kadang orang marah tanpa alasan yang di antaranya disebabkan karena kurang rileks dalam beragama. “Puisi bisa menjadi contoh yang bisa mengendorkan ketegangan kita, termasuk cara beriman dan beragama. Puisi punya kemampuan menghibur kala galau, dan disisipkan pesan-pesan kebangsaan dan toleransi,” tuturnya.

Kritik terhadap cara beragama yang tidak rileks sudah lama disuarakan melalui sastra, di antaranya sastrawan A.A. Navis pada 1950 melalui cerita pendeknya berjudul “Robohnya Surau Kami”, yang membawa pesan sifat munafik dalam beragama.

Dia juga mengulas tentang penyair Kristen, Sitor Situmorang, yang pupuler dengan puisi “Malam Lebaran” yang hanya satu baris, “Bulan di atas kuburan.” Juga tentang penyair Muslim, Chairil Anwar, yang menulis sajak tentang Isa Almasih dengan bahasa yang sangat indah berjudul “Isa, kepada Nasrani sejati.” “Saya ingin garisbawahi, bagi orang-orang sastra, toleransi atau hubungan mesra antarmanusia sudah terjadi sejak dulu. Sastra juga mengasah empati kita kepada orang lain dan mengasah kepekaan sosial,” kata Joko, seperti dikutip BeritaBenar.com. KS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here