Perjuangan Bangsa Menyelamatkan Ideologi Indonesia: PANCASILA

99
Jenderal TNI (Purn.) Wiranto (tengah) saat menyampaikan pembubaran ormas HTI di Kantor Kementerian Polhukam RI, dan didampingi Jamintel Kejagung RI, Menhukam, Mendagri dan Kapolri.

Sejatinya Pancasila sudah final sebagai ideologi bangsa. Namun belakangan, di media sosial (medsos) maupun media massa, baik cetak maupun elektronik, Pancasila sebagai ideologi bangsa kembali menjadi pembahasan hangat, sebab fakta menunjukkan adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menggantikannya dengan ideologi sektarian.

Nah, menilik perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia, pasang surut ideologi Pancasila memang sangat dinamis. Di masa Orde Lama, ada upaya menggabungkan nasionalisme, agama dan komunis (NASAKOM), dalam ideologi Pancasila, dan menimbulkan resistensi yang luar biasa dari sebagian besar rakyat Indonesia, karena tidak sesuai dengan pemahaman falsafah Pancasila yang sudah mengalir dalam darah rakyat Indonesia.

Puncaknya adalah pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965 untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan tumbal banyaknya pertumpahan darah rakyat akibat konflik horizontal yang terjadi di antara rakyat. Ini sangat memilukan dan merupakan puncak sisi gelap dalam sejarah perjalanan bangsa yang sebelumnya sudah terjadi beberapa pemberontakan dengan tujuan mengubah ideologi Pancasila.

Ideologi komunis akhirnya diharamkan di Indonesia melalui TAP/MPRS-RI NOMOR XXV/MPRS/1966.

Di masa Orde Baru, ideologi Pancasila oleh Pemerintah diperkokoh dengan berbagai strategi dan kebijakan Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pemerintah Orde Baru mengelaborasi pemahaman Pancasila yang sadar atau tidak sadar, suka tidak suka ujung-ujungnya untuk melanggengkan kekuasaan. Dirumuskan butir-butir Pancasila, dengan 36 butir sebagai penafsiran resmi Pemerintah. Dan untuk mengedukasi masyarakat dibentuk lembaga yang namanya BP7, dan penatar-penatarnya diberi gelar Manggala pada level nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian keluar kebijakan pemerintah agar setiap organisasi masyarakat harus menerapkan azas tunggal Pancasila dan tidak boleh ditambah embel-embel azas lain.

Pola penerapan ideologi Pancasila gaya Orde Baru mendapatkan penolakan dan resistensi dari sebagian masyarakat terutama para tokoh-tokoh Ormas dan dunia kampus. Sejak lengsernya Soeharto tahun 1998, dan melahirkan Orde Reformasi yang sudah berjalan 19 tahun sampai saat ini, persoalan ideologi Pancasila tidak begitu banyak dibicarakan. Pancasila sebagai ideologi terbuka nampaknya merupakan fenomena baru dan menjadi semangat lahirnya gerakan reformasi.

Kita tidak ada lagi mendengarkan perdebatan dan diskusi serius soal ideologi Pancasila. Para ideologi bangsa mulai khawatir jangan-jangan masyarakat Indonesia mulai lupa Pancasila, dan bahkan generasi muda tidak hafal sila-sila Pancasila. Upaya alm. Taufiq Kiemas sewaktu menjadi Ketua MPR-RI, mensosialisasi 4 pilar Pancasila, UU Dasar 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan langkah hebat dan terpuji untuk mengawal bangsa ini, agar tidak lupa dengan ideologi bangsanya, yaitu Pancasila.

Masalah Ideologi Muncul Kembali

Mantan Presiden RI ke-5, yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, saat memberikan sambutan dalam rangkat HUT ke-44 PDIP pada Selasa 10 Januari 2017 di Jakarta Convention Center (JCC), menyinggung soal ideologi Pancasila, dan berkembangnya ideologi tertutup yang mengancam bangsa ini. Pada kesempatan itu, Megawati meminta seluruh kadernya memahami pentingnya Pancasila sebagai dasar kehidupan bernegara.

Menurut Megawati, Pancasila mendeteksi dan menjadi tameng terhadap serangan “ideologi tertutup.” Ideologi tertutup yang dimaksudkan Megawati mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ideologi ini bersifat dogmatis dan tidak berasal dari cita-cita yang sudah hidup di masyarakat. “Ideologi tertutup tersebut hanya muncul dari suatu kelompok tertentu ang dipaksakan diterima oleh seluruh masyarakat,” tukasnya.

Megawati menambahkan, kaum penganut ideologi tertutup ini kerap memaksakan kehendaknya. Dialog dan prinsip-prinsip demokrasi tidak ada lagi. “Bagi mereka teror dan propaganda adalah jalan kunci tercapainya kekuasaan,” ucapnya. Menurut Megawati, syarat hidupnya ideologi tertutup, yaitu lahirnya aturan hingga dilarangnya pemikiran kritis. Mereka menghendaki keseragaman dalam berpikir dan bertindak dengan cara pemaksaan.

“Karena itu pemahaman terhadap agama dan keyakinan sebagai bentuk kesosialan pun dihancurkan, bahkan dimusnahkan,” tuturnya. Megawati berujar, kaum dengan ideologi tertutup ini antikebhinnekaan. “Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan akhir-akhir ini,” katanya.

Selain itu, Megawati menganggap para pemimpin ideologi tertutup ini memposisikan dirinya sebagai para peramal masa depan. Mereka, kata Megawati, tampak fasih meramalkan yang terjadi di masa depan hingga masa pasca kehidupan. “Padahal notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya,” kata Megawati.

Dari pidato tersebut, secara keseluruhan tentu adanya keinginan untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini dengan menggunakan referensi Pancasila sebagai ideologi terbuka. Bahkan, Pancasila harus dijadikan benteng terhadap serangan ideologi tertutup. Karakter ideologi tertutup yang disampaikan oleh Megawati tentu tidak dikehendaki oleh siapapun di republik ini. Apalagi melarang pemikiran kritis, memaksakan kehendak, antikebhinnekaan, tidak ada dialog, dan tidak ada demokrasi.

Keprihatinan terhadap munculnya gerakan yang mencoba mengganggu ideologi Pancasila juga diungkapkan Persekutuan gereja-gereja di Indonesia (PGI). Dalam suratnya yang disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu, PGI mensinyalir adanya kecenderungan sekelompok masyarakat yang berniat meminggirkan Pancasila dari kehidupan kita berbangsa dan bermasyarakat, dan menggesernya dengan dasar agama. Menurut PGI, pengedepanan agama secara formal sebagai dasar dalam kehidupan kita berbangsa hanya akan membawa persoalan baru yang menuju kepada perpecahan.

Selain itu, dalam suratnya PGI menegaskan, para pendiri bangsa ini sesungguhnya telah sangat arif menempatkan Pancasila, dan bukan agama, sebagai dasar negara kita. Tentu nilai-nilai agama tetap akan menjadi landasan etik, moral dan spiritual, yang diharapkan membangun semangat persaudaraan sebagai bangsa yang majemuk serta memberi kontribusi positif bagi kemaslahatan seluruh ciptaan Tuhan. Tentu saja nilai-nilai agama tersebut haruslah telah melalui proses objektifikasi, sehingga dapat diterima semua kalangan dan tidak mendiskriminasikan orang dari latar belakang keyakinan dan kelompok mana pun.

Sejalan dengan itu, PGI prihatin dengan makin maraknya aksi-aksi intoleran, kekerasan dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, yang dalam beberapa kasus terkesan dibiarkan oleh aparat negara. Hal ini makin memprihatinkan karena ternyata pendidikan di sekolah-sekolah turut mempersubur aksi-aksi ini, baik oleh guru-guru yang tidak memiliki komitmen kebangsaan maupun oleh buku-buku yang berisikan ajakan memerangi mereka yang berbeda keyakinan.

PGI menyatakan keprihatinannya dengan semakin maraknya berbagai aksi/deklarasi sektarian yang berkomitmen menerapkan ideologi di luar Pancasila. Provokasi semacam ini akan semakin melemahkan sendi-sendi kehidupan kita bersama sebagai bangsa yang majemuk. Apalagi ditengarai, aksi dan deklarasi semacam ini juga didukung oleh pernyataan-pernyataan para pejabat publik kita. PGI berpandangan, selama masih ada kelompok yang mengutak-atik dasar negara, dan dibiarkan oleh aparat negara, maka kita tidak akan pernah siap untuk membangun, bahkan sedang menuju kehancuran sebagai bangsa.

Sebab itu, PGI menyampaikan beberapa hal seperti, mendukung sepenuhnya langkah-langkah Presiden Ir. Joko Widoda, bersama seluruh elemen bangsa yang berkehendak baik untuk meneguhkan ulang komitmen kita terhadap dasar negara Pancasila, mewujudnyatakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, serta bersama-sama merawat warisan kemajemukan, yang adalah rahmat Tuhan yang luar biasa bagi bangsa Indonesia.

Selain itu, mengimbau kepada Presiden RI bersama dengan TNI dan Polri untuk mengambil tindakan tegas atas segala aksi dan kelompok yang berupaya merongrong Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara kita dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. PGI mendukung langkah dan tindakan tegas yang diambil oleh Pemerintah untuk menjaga tetap tegaknya NKRI.

Sementara kepada Pemerintah Pusat dan daerah, PGI mengimbau agar lebih sungguh-sungguh menanamkan nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan, sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, serta mengimbau kepada semua elemen bangsa untuk tetap taat dan setia terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, serta memelihara kebersamaan hidup bermasyarakat dan bernegara dalam bingkai NKRI dan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Pembubaran HTI Langkah Berani

Salah satu respons Pemerintah Pusat yang mendapat apresiasi dari seluruh lapisan masyarakat adalah dengan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang disampaikan oleh Menteri Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam RI), Jenderal TNI (Purn.) Wiranto, dalam jumpa pers yang berlangsung di Kantor Menkopolhukam di Jalan Medan Merdeka Barat, pada Senin (8 Mei 2017). Langkah ini dianggap tepat mengingat visi-misi HTI jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila.

Dalam jumpa pers tersebut, Wiranto menegaskan, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. “Aktivitas yang dilakukan nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI,” ujar mantan Panglima TNI dan mantan Ketua Umum Partai Hanura itu.

Wiranto menegaskan, keputusan ini diambil bukan berarti pemerintah anti terhadap ormas Islam, melainkan semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Seperti dilansir Merdeka.com, sastrawan Goenawan Mohamad pun angkat suara terkait usul pembubaran HTI oleh Pemerintah Pusat. Dia menilai, pembubaran terhadap HTI akan sia-sia saja. Sebab, anggota HTI dapat menyusup ke ormas lainnya. “Pada prinsipnya saya enggak begitu suka,” katanya di Kelapa Dua Depok, Rabu (10 Mei 2017).

Namun menurutnya, akan lebih efektif bila pemerintah melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang tidak menghormati demokrasi dan orang-orang yang anti-NKRI. Sementara itu, dilansir dari Kumparan.com, menyikapi pembubaran HTI, Ketua SETARA Institute Hendardi berpendapat, hal itu bisa saja dilakukan sepanjang melalui proses yudisial yang akuntabel. “Sebagaimana dikemukakan oleh Kapolri, mengganggu ketertiban sosial, potensi memicu konflik horizontal sebagaimana direpresentasikan dengan penolakan kuat Banser NU, dan mengancam ideologi Pancasila, karena agenda yang diusung adalah khilafah, suatu sistem politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan Pancasila,” beber Hendardi pada Selasa (2 Mei 2017).

Menurutnya, di beberapa Negara, seperti di Yordania, Irak, dan lain-lain Hizbut Tahrir sudah dilarang. “Secara fisik, HTI tidak melakukan kekerasan. Tetapi gerakan pemikirannya yang secara massif dan sistematis telah merasuk ke sebagian warga negara Indonesia, khususnya melalui kampus-kampus dan majelis-majelis keagamaan, telah dianggap mengancam kebhinnekaaan, sistem politik demokrasi, dan Pancasila, yang merupakan falsafah bangsa Indonesia,” terang Hendardi.

Dia pun menambahkan, kebebasan berserikat dalam bentuk organisasi masyarakat, seperti HTI dijamin oleh Konstitusi RI. Akan tetapi, jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka HTI sahih untuk dibatasi perkembangannya. “Pemikiran HTI tidak bisa diberangus, karena kebebasan berpikir bukan hak yang bisa dibatasi. Tetapi pemerintah dan penegak hukum bisa melakukan pembatasan penyebarannya. Jika penyebarannya yang dibatasi, maka orang-orang yang menganut pandangan keagamaan dan pandang politik seperti HTI tidak bisa dipidanakan. Hanya tindakan penyebarannya yang bisa dibatasi,” urai dia.

Meski diselimuti sikap pro-kontra, langkah yang diambil pemerintah patut diapresiasi. Sebab hal ini didasari oleh adanya keinginan untuk menyelamatkan dan mempertahankan Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Banyak pihak berharap, tindakan serupa dilakukan kepada ormas-ormas yang terbukti kerap melakukan tindak intoleransi dan menimbulkan keresahan di masyarakat demi mempertahankan NKRI. TS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here