Pawang Hujan dalam Perspektif Iman Kristen

* Oleh: Viktus Murin

764
Narwastu.id – Wanita asal Bali, bernama Rara Istiati Wulandari belakangan ini viral di dunia maya, menyusul aksi uniknya sebagai “pawang hujan”(rain shamans) di arena balapan Mandalika MotoGP 2022 atau Pertamina Grand Prix Indonesia di Sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat, pada awal Maret 2022 baru-baru ini. Viral, lantaran aksi Rara menahan atau mengendalikan hujan itu disiarkan secara langsung oleh media televisi internasional. Bagi sebagian besar orang yang bukan orang Indonesia, terkhusus warga negara tempat di mana para pembalap internasional peserta Mandalika MotoGP berasal, aksi Rara dipandang amat unik, sebab memadukan aspek bernuansa mistis-klenik dan trik-trik aksi bergaya moderen. Lihat saja tampilan dandanan Rara saat melakukan aksinya di arena balapan Mandalika.
Pernak-pernik tradisional penopang aksinya sebagai pawang hujan dikombinasi secara stylish dengan busana bernuansa kekinian. Ada pula “topi proyek” atau helm pengaman di kepalanya. Dalam video wawancara yang beredar, termasuk melalui aplikasi TikTok, sekilas Rara menjelaskan perihal keterlibatan dewa-dewa yang dimintakannya untuk datang membantu dirinya mengendalikan hujan. Tentu saja Rara menjelaskan dalam perspektif imannya secara subjektif. Dalam konteks toleransi, kita tentu mesti menghormati perspektif iman Rara, yang berdoa kepada Sang Pencipta alam semesta dengan caranya sendiri.
Pasca aksi Rara di area sirkuit balapan Mandalika, jagad maya heboh dan amat ramai memperbincangkannya. Ada cukup banyak nitizen yang memuji aksi Rara sebagai kearifan lokal Nusantara, tetapi ada banyak pula pihak yang mengecam aksi Rara itu beraroma klenik dan mistis, dan karena itu musyrik adanya. Ada nitizen yang sinis; negara-negara maju di dunia sudah mengandalkan keunggulan teknologi canggih pengendali cuaca bahkan curah hujan, Indonesia malah masih sibuk berbangga-bangga dengan urusan klenik-mistis-magis.
Bahkan, sebagaimana rekaman video yang beredar di kanal medsos, Pdt. Gilbert Lumoindong sebagai hamba Tuhan yang terkenal di aras gereja nasional turut angkat bicara. Dalam nada dan pesan yang tegas Pendeta Gilbert “mengingatkan” para petinggi negeri ini untuk tidak bermain-main dengan mantra-mantra magis dan segala sesuatu yang bersifat klenik. Sebab, seturut Alkitab, hal-hal yang bersifat klenik amatlah dekat dengan pengaruh kuasa iblis. Pendeta Gilbert mengingatkan bahwa iblis tidak pernah bekerja secara gratis. Iblis selalu meminta tumbal, dan tumbal itu berupa tumbal darah.
Pro-kontra aksi Rara si pawang hujan sudah terlanjur mencuat di ranah massa. Namun, uniknya, ada juga para pihak yang menganggap aksi pawang hujan yang diperankan Rara bukanlah soal klenik atau semacamnya, tetapi merupakan bagian dari realitas ‘kearifan lokal’ di Nusantara.
Di lain pihak, ada pula pengamat atau pemerhati marketing yang menyoroti bahwa aksi Rara di arena Mandalika MotoGP adalah semata-mata strategi marketing demi menaikkan rating pamor event balapan internasional Mandalika MotoGP. Bahwa ini adalah strategi marketing belaka. Indikatornya, hal-hal klenik-mistis-magis lazimnya dilakukan orang secara tersembunyi atau berlangsung di area yang bersifat tertutup. Tetapi, lihatlah aksi Rara si pawang hujan; tampilan aksinya bahkan disiarkan langsung televisi, bersifat liputan “on the spot” dan atau “live streaming.” Hal klenik-mistis-magis didemonstrasikan atau didramatisir secara vulgar menggunakan sorotan tajam mata media massa. Aneh tapi nyata, bukan?
Konon, dengan dipanggungkan aksi Rara secara mencolok, maka nitizen di mancanegara pun menjadi kian penasaran akan apa hal-hal unik yang ada di Indonesia. Alhasil, bilik “searching” pada seluruh platform internet pun makin padat dan ramai menelusuri Indonesia, termasuk tentunya mengenai Mandalika, bahkan mungkin peristiwa klenik-mistis-magis lainnya di Nusantara.
Tulisan ini, tidak berpretensi untuk menyalahkan, apalagi menghakimi aksi Rara, si wanita pawang hujan, sebab yang bersangkutan secara privat memiliki keyakinan iman sendiri dari konteks agama yang dipeluknya sebagai pribadi. Tulisan ini ditujukan secara terbatas kepada umat Kristiani, agar umat Kristiani boleh mengambil “hikmat iman” dari tiap-tiap peristiwa kehidupan, bahwa hanya kepada Allah Tuhan kitalah, kita mesti bermohon dan meminta belas kasihNya.
Rara si pawang hujan.

Kuasa Doa Orang Benar

Baiklah kita tinggalkan urusan Rara si pawang hujan itu. Mari simak isi Firman Tuhan yang bersentuhan dengan urusan kuasa mengendalikan hujan seperti yang tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru tepatnya surat Yakobus. “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan. Lalu ia berdoa pula dan langit menurunkan hujan dan bumi pun mengeluarkan buahnya” (Yakobus 5:16-18).
Pesan penting apakah yang kita dapatkan dari amanat surat Yakobus tersebut? Ternyata untuk mengendalikan hujan, maka diperlukan kuasa doa. Lebih-lebih kuasa doa dari orang-orang benar. Ya, kita hanya perlu berdoa dan dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, yang berlandaskan pada iman percaya. Dalam doa berbasis iman percaya yang kokoh, kita tidak memerlukan macam-macam “peralatan atau aksi panggung” untuk menarik perhatian Tuhan. Sebab sesungguhnya Tuhan tidak melihat rupa kita melainkan hati kita.
Masih ada cukup banyak nats Alkitab atau perikop Kitab Suci yang melarang manusia untuk mengutamakan “kekuatan lain” di luar kekuasaan Tuhan. Sebab mengandalkan kuasa-kuasa lain di luar Tuhan, itu sama halnya dengan menyembah berhala. Di dalam penyembahan berhala manusia berpotensi untuk binasa secara ragawi, lebih-lebih binasa secara imaniah.
Viktus Murin

Seturut riwayat maknanya, penyembahan berhala semula hanya mencakup ritus-ritus sakral yang dilakukan manusia untuk memuja “kekuatan lain” di luar Tuhan, namun dalam perkembangan mutakhirnya, berhala pun mengalami makna yang meluas, yakni pemujaan berlebihan terhadap rupa-rupa simbol material dunia seperti harta benda, kekayaan, kekiasaan, jabatan, kedudukan, gengsi sosial, atau kesombongan. Berhala bahkan menyisir pula hingga ke pemujaan diri secara berlebihan (narsisme). Fenomena narsisme nyata terlihat dalam dunia medsos atau media sosial, dan fenomena narsisme ini bolehlah dikategorikan sebagai berhala diri.

Bagi pemeluk iman Kristen (umat Kristen Katolik dan Kristen Protestan dari berbagai gereja denominasi gereja), tidaklah dibenarkan untuk melakukan ritual mantra-mantra yang beraroma kuasa-kuasa kegelapan dan atau yang bersifat klenik-mistis-magis serupa sihir, tenung, guna-guna, dan hal-hal lain yang sejenis. Hal ini sungguh merupakan tindakan yang bertentangan dan bahkan melawan ketetapan Allah Sang Pencipta, penguasa langit dan bumi.
Simaklah nats Alkitab berikut ini secara seksama! “Di antaramu janganlah didapati seorangpun yang mempersembahkan anaknya laki-laki atau anaknya perempuan sebagai korban dalam api, ataupun seorang yang menjadi petenung, seorang peramal, seorang penelaah, seorang penyihir, seorang pemantera, ataupun seorang yang bertanya kepada arwah atau kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang-orang mati. Sebab setiap orang yang melakukan hal-hal ini adalah kekejian bagi TUHAN, dan oleh karena kekejian-kekejian inilah TUHAN, Allahmu, menghalau mereka dari hadapanmu” (Ulangan 18:10-12).
Bila disimak dengan seksama isi Alkitab, maka ada cukup banyak nats di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang menuntun orang-orang percaya untuk hanya berbakti kepada Allah, tidak kepada ilah-ilah lain dan atau kuasa-kuasa kegelapan. Maka, berbaktilah dan menyembahlah hanya kepada Allah. Kalau demikian, maka para pengikut Yesus Kristus Tuhan tidak boleh “bermain mata” dengan kuasa-kuasa kegelapan. Bersekutu dengan kuasa gelap, itu sama saja dengan tindakan menduakan Tuhan.
Baiklah kita simak lagi sabda Yesus Kristus Tuhan, seperti yang tertulis dalam Injil Matius 6:24, “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
* Penulis adalah salah satu dari “21 Tokoh Kristiani 2018 Pilihan Majalah NARWASTU”, dan bergabung dalam misi pelayanan NARWASTU sejak akhir 2019.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here