Narwastu.id – Seorang anak Tuhan kelahiran Jakarta, belum lama ini mencetak prestasi yang membanggakan, menjadi orang Indonesia pertama yang meraih gelar Doctor of Musical Art untuk Bidang Komposisi Jazz di sebuah sekolah musik terbaik dunia, New England Conservatory (NEC) yang terletak di Boston, Amerika Serikat. Gelar akademis tertinggi itu diraih Peter pada Desember 2020 dengan disertasi doktoralnya yang berjudul “Psalms Symphony.” Peter menekuni musik sejak muda dan melayani Tuhan di GKI Samanhudi, Jakarta, sebagai pemain musik sejak remaja pada Ensemble Galilea (kini Galilea Orchestra). Keluarga Peter bukanlah keluarga musisi, hanya saja kedua orang tuanya adalah anggota paduan suara aktif di gereja.
Minatnya terhadap musik khususnya piano mulai tumbuh ketika saat TK ada penawaran kursus piano yang datang ke sekolahnya. Sejak saat itu Peter tekun les piano. Selulus SMA, Peter tidak langsung melanjutkan pendidikan di sekolah musik, namun sempat mengambil kuliah Engineering di NTU Singapore dan lulus dengan 1st Class Honor. Setelah itu keinginan mendalami musik tak terbendung lagi. Tidak tanggung-tanggung setelah lulus dari Singapura, Peter terbang ke Amerika untuk sekolah di Boston. Pendaratannya yang pertama di Amerika adalah Berklee College of Music yang sama-sama sekolah musik terbaik di dunia dan terletak di Boston juga. Baru setelah menamatkan tingkat bachelor Peter melanjutkan jenjang master dan doktor di NEC. NEC dan Berklee adalah dua sekolah musik ternama dan selalu menempati 5 besar sekolah musik terbaik di dunia. Peter lulus dari Berklee dengan predikat summa cum laude dan lulus master dengan predikat academic honor dan doktor di NEC.
Meskipun tidak secara khusus belajar musik gereja, kecintaan Peter kepada musik gereja tidaklah luntur. Bahkan untuk disertasi doktornya Peter membuat karya simfoni yang berjudul “Psalms Symphony” sebuah simfoni orkestra yang terdiri dari 4 movements di mana setiap movement-nya menggambarkan sifat Allah berdasarkan Kitab Mazmur. Untuk memainkan simfoni ini dibutuhkan orkestra besar dengan pemain musik 70-90 orang. Pada masa pandemi Covid-19 yang juga melanda Amerika Serikat, karya mutakhir Peter ini belum sempat diwujudkan. Selama studi di Amerika Serikat, Peter sering mengangkat karya-karya Indonesia termasuk karya Mazmur 98 yang lagunya digubah oleh Pdt. Juswantori Ichwan. Interprestasi Peter terhadap lagu ini bisa dinikmati di kanal YouTube Peter Jonatan (https://www.youtube.com/watch?v=nDXqnzQ8Nkw). Selain lagu rohani, Peter juga menggarap karya Ismail Marzuki dan menciptakan komposisi berjudul “Cendrawasih” yang diangkat dari cerita rakyat Papua Barat.
Peter dan New England Conservatory
Prestasi yang diraih Peter Jonatan di New England Conservatory (NEC) bukanlah prestasi kacangan. NEC adalah sekolah musik terkemuka dunia, lulusannya sangat dihormati dan selalu mendapat tempat istimewa di orkestra musik kelas wahid dunia, seperti Boston Symphony Orchestra, London Symphony dan New York Philharmonic. NEC sangat selektif di dalam menerima mahasiswa, bahkan untuk studi doktoral mereka hanya menerima 12 mahasiswa per tahun. Peter adalah mahasiswa terpilih tersebut, bahkan tidak sekadar terpilih Peter, bahkan penerima beasiswa karena prestasinya.
Studi yang diambil Peter baik di Berklee maupun di NEC adalah Komposisi Jazz. NEC sebenarnya adalah sebuah konservatori yang menitikberatkan kurikulumnya pada musik klasik Eropa. Namun asupan Jazz mulai diperkenalkan di dalam beberapa dekade ini untuk mengikuti perkembangan zaman. Musik klasik tidak akan berkembang jika tidak menerima pembaharuan-pembaharuan, termasuk pembaharuan yang ditawarkan oleh jazz. Belajar komposisi jazz di NEC menjadi sesuatu yang unik. Pendekatan harmoni musik klasik dari segala era mulai barok hingga klasik kontemporer ala Schoenberg digunakan sebagai kerangka bangunan komposisi jazz.
Peter saat ini dipercaya menjadi dosen di New England Conservatory. Tidak sekadar menjadi dosen biasa, Peter tergabung ke dalam tim pembaruan kurikulum di NEC dan meletakkan dasar penguasaan teknologi kepada para mahasiswa tingkat dasar di NEC. Di era digital ini para musisi dan komposer muda harus bisa menguasai teknologi karena tanpa itu kehadiran mereka akan menjadi kurang relevan dengan perkembangan zaman. Meskipun tinggal jauh dari Indonesia, Peter tidak melupakan tanah airnya. Beberapa kali dia bekerja sama dengan GKI Samanhudi memberikan workshop “Komposisi Musik” secara gratis kepada aktivis pemusik gereja di Jakarta. Pandemi Covid-19 yang menjadi ancaman ternyata membawa berkat, karena justru di saat pandemi terbuka kesempatan untuk menyelenggarakan workshop virtual dan webinar, sehingga Peter pun berkesempatan membagikan ilmu dengan para musisi Indonesia secara daring. Demikianlah kisah Peter yang ditempatkan Tuhan untuk memberikan pembaruan kepada orang-orang di sekitarnya dan tidak pernah lupa untuk senantiasa membagikan berkat melalui talentanya.
* Penulis adalah anggota GKI Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.