Narwastu.id – Pekerjaan jurnalistik itu sebenarnya profesi atau tugas mulia. Karena aktivitasnya memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas jurnalisme itu, selain berfungsi memberikan: (1) Informasi kepada masyarakat, (2) Memberi gagasan kepada publik, (3) Memberi edukasi atau pencerdasan pada publik, (4) Memberi hiburan, (5) Pengontrol sosial dan (6) Pembentuk opini publik. Sehingga orang atau kelompok yang memimpin penerbitan media massa seharusnya adalah orang yang berprinsip baik, berkarakter, punya integritas dan mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Serta pemimpin media dan wartawannya itu mesti punya visi mensejahterakan rakyat dan menciptakan kerukunan serta kedamaian di tengah masyarakat.
Peran pers di dalam masyarakat pun sangat berpengaruh, sehingga sering pers (media massa) disebut kekuatan atau pilar keempat di sebuah negara demokrasi setelah: (1) EKSEKUTIF, (2) LEGISLATIF, (3) YUDIKATIF, 4) PERS, (5) Media sosial dan (6) lembaga survei. Begitu pentingnya peran pers di tengah masyarakat, tak heran kalau penguasa, politisi, pengusaha, kaum cendekiawan dan seluruh elemen di tengah masyarakat ingin “menguasai” media agar gagasan-gagasan atau informasi yang positif tentang mereka bisa dipublikasikan lewar media massa.
Nilai positif atau profesi mulia pers itu saat ini sering kita lihat di masyarakat “dinodai” oleh sekelompok oknum yang mengaku wartawan. Mereka tidak terampil menulis dan tidak memahami kode etik jurnalis, namun memiliki kartu pers. Dan meminjam istilah tokoh pers nasional dan mantan Wakil Ketua Dewan Pers, Drs. Leo Batubara (almarhum) kelompok itu sering dijuluki “wartawan abal-abal.” Mereka merusak reputasi wartawan dengan memakai kartu pers ke pejabat, pengusaha atau politisi bermasalah supaya mendapatkan uang atau memaksakan keinginannya untuk dipenuhi. Ada juga yang menyebut wartawan perusak itu wartawan bodrek, karena mereka bukan lagi menjadi guru atau cendekiawan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Mereka sering membuat masalah dengan kartu pers yang dimiliki, yang saat ini begitu mudah untuk dicetak. Dan ironisnya pula ada banyak pejabat, pengusaha dan politisi yang resah juga dengan keberadaan wartawan abal-abal ini. Sesungguhnya wartawan abal-abal ini bisa dilaporkan ke pihak yang berwajib, karena mereka sebenarnya bukan wartawan yang kompeten, baik dan benar. Sehingga dalam kesempatan ini perlu kita memahami esensi dari jurnalisme, yang dalam bahasan kali ini kita diskusikan dalam materi “Prinsip-prinsip Jurnalistik.” Dalam ilmu komunikasi, jurnalistik itu adalah ilmu yang mempelajari penyampaian informasi atau pesan-pesan melalui media komunikasi yang terbit secara teratur. Sehingga kalau kita lihat sekarang ini di media sosial tulisan-tulisan atau postingan-postingan individu atau lembaga, itu tak bisa disebut produk atau karya jurnalisme atau jurnalistik.
Tulisan-tulisan yang ditampilkan di media sosial jika bertentangan dengan kepentingan publik, atau mengarah pada pencemaran nama baik atau berisi ujaran kebencian, maka itu tidak bisa dipersoalkan dengan undang-undang pers atau media. Namun bisa dilaporkan ke pihak yang berwajib karena melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Dulu: UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik/UU ITE).
Sementara di dalam dunia jurnalistik jika ada tulisan yang dianggap bermasalah atau melanggar kode etik jurnalis yang dimuat di sebuah media, baik koran, majalah, tabloid, radio, media online atau TV, bisa dilaporkan ke Dewan Pers. Karena setiap produk jurnalistik yang melanggar norma sosial, norma agama atau mencermarkan nama baik seseorang/lembaga sudah diatur konsekuensinya di Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999. Dan Dewan Pers yang punya wewenang untuk membina atau mengadili wartawan yang keliru menjalankan tugas jurnalistiknya.
Sehingga terkait dengan itu, kita mesti memahami bahwa media sosial dan media pers itu sebenarnya amat berbeda secara prinsip, meskipun ada pula persamaannya. Di media sosial individu atau lembaga bisa bebas menulis pesan-pesan yang dikehendakinya. Sedangkan di media/pers ada aturan, norma dan etika yang mengatur wartawan saat akan menyampaikan pesan-pesan atau informasinya. Nah, supaya kita semakin memahami tentang dunia jurnalisme, maka perlu kita perhatikan prinsip-prinsip jurnalistik, karena ini dasar dari aktivitas dari setiap anggota masyarakat yang ingin memahami atau ingin terjun ke dunia pers.
* Penulis adalah Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah NARWASTU, lulusan IISIP Jakarta dan alumni Lembaga Pendidikan Pers Doktor Soetomo (LPPDS) Jakarta. Tulisan ini disampaikan di acara “Pelatihan Jurnalistik PERWAMKI” via Zoom pada 1 September 2020.