Narwastu.id – Pada Selasa malam, 1 September 2020, Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (PERWAMKI) dan STT Lighthouse Equipping Theological School (STT LETS Jakarta) mengadakan “Pelatihan Jurnalistik 2020.” Acara ini diadakan selama lima sesi pertemuan daring atau Zoom setiap Selasa sepanjang bulan September 2020. Pelatihan jurnalistik ini, menurut Ketua Umum PERWAMKI Stevano Margianto yang juga Pemimpin Redaksi (Pemred) beritarem.com, sebagai upaya membangkitkan minat warga gereja khususnya, untuk memahami dan mengenal dunia kerja pers dan media, dan tentunya memberikan pemahaman yang benar tentang prinsip-prinsip dasar jurnalistik.
Akan rusak jadinya, ujar Margianto, bila rekruting wartawan media Kristen tanpa diberikan pemahaman yang benar tentang jurnalistik. “Kami tidak ingin membangun pers Kristen yang asal punya kartu pers. Kekuatan media Kristen tidak mengacu dan bertumpu pada kepemilikan kartu pers,” ucap salah satu pendiri PERWAMKI ini. Hal senada diungkapkan oleh Sekretaris Umum PERWAMKI, Agus Rianto Panjaitan (Pemred Majalah “Spektrum“), “Adanya pandemi Covid-19 adalah kesempatan terbaik bagi kami untuk memperkenalkan prinsip-prinsip dasar jurnalistik melalui pelatihan. Dan perlu diketahui bahwa pemateri pelatihan ini, yaitu Jonro I. Munthe, S.Sos (Pemimpin Umum/Pemred Majalah NARWASTU) telah mengikuti uji kompetensi wartawan, juga Dr. Antonius Natan (Salah satu Penasihat PERWAMKI) telah mengikuti uji kompetensi penulis. Artinya, pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan oleh PERWAMKI dan STT LETS secara kualitas telah memenuhi persyaratan.”
Ketua STT LETS Pdt. Ir. Rachmat Manullang, M.A. dalam sambutan di sesi perdana pelatihan jurnalistik ini, menyatakan dukungan sepenuhnya untuk kegiatan ini. Begitu pun yang disampaikan oleh salah satu Penasihat NARWASTU dan advokat senior, Jhon S.E. Panggabean, S.H., M.H., “Kami atas nama Penasihat PERWAMKI mendukung kegiatan pelatihan jurnalistik ini. Maju terus dan tetap semangat. Saya pikir acara seperti ini bagus dan harus terus dilannutkan.”
Pelatihan jurnalistik sesi pertama yang dimoderatori oleh bintang sinetron yang juga berprofesi sebagai praktisi hukum Uya Pinta S.H., M.H. turut memberikan reaksi positif terhadap pelatihan jurnalistik ini. Usai sambutan, tampil pula Clara Panggabean, S.H., calon advokat lulusan UI Jakarta yang juga sahabat PERWAMKI. Penyanyi, praktisi hukum dan aktivis gereja ini juga merespons dengan baik kegiatan yang diselenggarakan oleh PERWAMKI dan STT LETS ini. Dan yang menarik, acara pelatihan jurnalistik ini diikuti pula oleh peserta dari Belanda, Papua, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Jawa Barat, Banten, Bali dan NTT serta DKI Jakarta dan sekitarnya.
Peserta pelatihan tak hanya wartawan muda, tapi juga rektor, dosen, pengacara, pimpinan ormas, pimpinan organisasi wartawan, pemimpin redaksi, mahasiswa, pendeta dan ibu rumah tangga. Bahkan, Hotman Lumban Gaol, S.Th, yang dikenal penulis buku, motivator dan Sekretaris Umum Forum Jurnalis Batak (FORJUBA) dan mantan Wakil Ketua Umum DPP Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (Pewarna) ikut dalam pelatihan kali ini.
Sementara Jonro Inranto Munthe, yang juga peraih award sebagai “Jurnalis Muda Motivator 2009 Pilihan Majelis Pers Indonesia/MPI“, tampil sebagai pembicara pertama. Pekerjaan jurnalistik, menurut salah satu pendiri PERWAMKI dan lulusan Fakultas Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta ini, sebenarnya merupakan profesi atau tugas mulia. “Aktivitas wartawan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Wartawan juga seperti halnya advokat, dokter, guru dan notaris juga mengikuti uji kompetensi. Jadi selain mengikuti sebuah proses belajar, wartawan itu mesti ikut uji kompetensi,” ucap alumni Lembaga Pendidikan Pers Doktor Soetomo (LPPDS) Jakarta, yang sudah mengikuti uji kompetensi wartawan untuk level wartawan utama (Pemimpin redaksi), yang sering juga diundang sebagai moderator dan pembicara dalam seminar/diskusi seputar jurnalistik, media sosial, sosial politik dan kemasyarakatan itu.
Salah satu tugas wartawan kata Jonro, yaitu untuk mencerdaskan bangsa. “Bagaimana caranya mencerdaskan bangsa, kalau dia sendiri kalah cerdas. Setidaknya harus memahami prinsip-prinsip dasar jurnalistik. Sehingga orang atau kelompok yang nantinya akan memimpin penerbitan media massa seharusnya adalah orang yang berprinsip baik, berkarakter, punya integritas dan mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi,” ucap Jonro Munthe.
Menurut Jonro dalam pemaparannya, nilai positif dari profesi mulia pers atau wartawan saat ini sering kita lihat di masyarakat “dinodai” oleh sekelompok oknum yang mengaku wartawan. “Mereka tidak terampil menulis dan tidak memahami etika atau kode etik pers, namun bisa memiliki kartu pers. Ini memprihatinkan,” katanya. Jonro meminjam istilah tokoh pers nasional dan mantan Wakil Ketua Dewan Pers, Drs. Leo Batubara (Alm.), “Kelompok itu sering dijuluki wartawan abal-abal. Mereka merusak reputasi wartawan dengan memakai kartu pers ke pejabat, pengusaha atau politisi bermasalah supaya mendapatkan uang atau memaksakan keinginannya untuk dipenuhi.”
Sehingga, imbuh Jonro, sebelum seseorang menjadi wartawan harus lebih dulu memahami prinsip-prinsip jurnalistik sebagai pedoman untuk berkarya. Wartawan itu, ucap Jonro, mesti punya prinsip: Kejujuran, kebenaran, tidak berpihak, kreativitas, dan kecerdasan. “Wartawan mesti paham dan membaca kode etik pers yang sudah dibukukan Dewan Pers. Kita juga harus terus belajar dan banyak membaca, terutama memahami Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999 itu,” tukas Jonro.
Ketua Pelaksana Pelatihan Jurnalistik 2020 yang juga senior di PERWAMKI, Emanuel Dapaloka (Pemred tempusdei.id.) merasa optimis kegiatan ini akan menuai hasil yang baik. “Persiapan hanya sebulan, tapi panitia pelaksana memiliki optimisme yang tinggi. Dengan tim yang solid, kami meyakini semua akan berjalan dengan lancar,” ujar Eman yang juga penulis buku, serta pernah menjuarai sanyembara penulisan artikel yang diadakan media nasional “Kompas” dan aktif pula menulis di koran berbahasa Inggris “The Jakarta Post.”
Dalam sesi tanya jawab di acara Zoom ini, ada pula peserta yang menanyakan, kenapa di era Reformasi ini orang atau wartawan bisa dengan mudah menghina tokoh atau pemimpin bangsa lewat berita, sedangkan di era Orde Baru wartawan sangat takut menulis hal seperti itu, karena takut medianya dibreidel pemerintah. Bahkan, wartawannya bias dipenjarakan. Ada lagi yang mempertanyakan, apakah seorang wartawan bisa diskors atau dicabut kartu persnya jika salah dalam melakukan tugasnya saat menulis berita. Jonro Munthe mengatakan, saat ini ada lembaga independen, yakni Dewan Pers yang bisa mengadili wartawan jika salah atau keliru di dalam menulis berita, lalu diadukan masyarakat. Sehingga buku panduan yang diterbitkan Dewan Pers, kata Jonro, perlu dibaca karena itu penting untuk diketahui wartawan.
“Di dalam buku panduan yang diterbitkan Dewan Pers itu juga diatur atau dijelaskan dengan detail kode etik wartawan, dan itu perlu dibaca. Termasuk penjelasan tentang Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999. Dan itu perlu kita ketahui. Masih banyak wartawan yang tidak mengetahui hal itu. Dan, kalau ada masalah pemberitaan pers yang merugikan masyarakat, tidak bisa langsung dilaporkan ke pihak yang berwajib atau polisi. Ada MOU atau kesepakatan bersama antara pihak Polri dan Dewan Pers, juga Mahkamah Agung RI dengan Dewan Pers serta Kejaksaan Agung RI dan Dewan Pers, bahwa setiap masalah pemberitaan yang mencemarkan nama baik bisa dilaporkan atau diselesaikan ke Dewan Pers,” ujarnya.
“Jadi polisi tidak bisa memproses sebuah aduan masyarakat tentang pemberitaan wartawan yang mengarah pada pencemaran nama baik. Itu Dewan Pers yang punya wewenang di situ. Tapi bukan berarti wartawan tidak bisa dilaporkan ke polisi. Kalau wartawan itu sudah melakukan tindak pidana, maka dia harus diproses secara hukum oleh pihak yang berwajib atau polisi. Tapi kalau masalah pemberitaan atau tulisan di media yang dipersoalkan, iya, harus ke Dewan Pers,” ujar Jonro Munthe.
John Panggabean yang juga pernah memimpin Majalah hukum “Pledoi” menambahkan, wartawan mesti tetap memperhatikan rambu-rambu hukum dalam menjalankan tugasnya. “Kalau wartawan melakukan tindak pidana atau sengaja ingin melakukan kejahatan, maka harus dilaporkan ke polisi. Tapi kalau urusan pemberitaan di media yang dipersoalkan, maka harus dilaporkan ke Dewan Pers. Dewan Pers yang akan menangani kasus itu atau membina si wartawan dengan membuat koreksi atas pemberitaan yang salah tersebut. Dan itu ada disebut hak jawab dan hak koreksi. Sehingga wartawan harus paham juga tentang cover both side (keseimbangan pemberitaan),” terang pengacara senior yang pernah mensomasi sebuah media terkenal, karena pemberitaannya merugikan kliennya dengan tulisan yang tak berimbang.
Selain itu, dalam acara Zoom ini, sempat juga ada yang bertanya, apakah wartawan boleh berpolitik atau menyampaikan dukungannya pada partai politik tertentu. Pertanyaan lainnya, kenapa wartawan dikatakan tidak bisa berpihak dalam menjalankan profesinya. Tentang hal ini, Jonro menerangkan, wartawan dalam menulis sebuah berita memang harus mengutamakan fakta yang terjadi dan tidak bisa berada di satu pihak, tapi sedapat mungkin menulis beritanya supaya cover both sides atau berimbang.
“Sesungguhnya wartawan itu tetap bisa berpihak pada nilai kebenaran dan keadilan serta kedamaian. Tapi kembali lagi, harus memuat beritanya berimbang, atau jangan memihak pada satu kelompok, dan kelompok lainnya pun harus tetap diberikan tempat. Lalu apakah wartawan bisa berpolitik, iya, bisa saja. Asal yang bersangkutan keluar dulu dari media tempatnya berkarya, lalu masuk ke sebuah partai politik supaya medianya jangan jadi alatnya berpolitik,” terangnya.
Diakui oleh Emanuel, peserta tidak melulu yang beragama Kristen atau Katolik saja, “Ada beberapa peserta sahabat-sahabat Muslim dan Hindu. Kami ingin berbagi melalui apa yang Tuhan telah percayakan kepada kami.” Selain Jonro Munthe dan Emanuel Dapaloka, pelatihan jurnalistik ini juga menghadirkan pembicara Antonius Natan, Agus Rianto Panjaitan, Paul Moku Goru (Pemred kitakatolik.com dan mantan Pemred Tabloid “Reformata“) dan Roy Agusta Mantiri (Pemred chronosdaily.com dan mantan pendiri Aliansi Jurnalis Kasih Indonesia/AJKI).
Dalam acara pelatihan ini, para pemred yang jadi pembicara ini akan berbicara tentang dasar-dasar wartawan, tehnik penulisan berita dan penulisan feature serta membagi pengalaman mereka sebagai wartawan di medianya. Panitia juga memberi kesempatan kepada peserta pelatihan untuk bisa magang di media Kristiani yang ada di PERWAMKI jika sudah mengikuti acara pelatihan jurnalistik ini. Antonius Natan yang juga kolomnis di Majalah NARWASTU, Sekretaris Umum PGLII Wilayah DKI Jakarta dan termasuk di dalam “20 Tokoh Kristiani 2010 Pilihan Majalah NARWASTU” berharap acara pelatihan ini bisa bermanfaat bagi masyarakat, terutama bagi peserta pelatihan.
“Jangan sia-siakan kesempatan untuk ikut pelatihan ini. Karena pembicara yang turun adalah pemred-pemred media Kristiani yang tergolong senior. Setelah acara ini bisa nanti magang di media-media Kristiani yang ada di PERWAMKI. Para pembicara ini orang-orang hebat, seperti Bung Jonro Munthe, punya media cetak dan online NARWASTU. Juga Emanuel Dapaloka selain pernah juara menulis di ‘Kompas’ juga menulis di ‘The Jakarta Post.’ Kalau kemampuan bahasa Inggrisnya biasa saja tak mungkin bisa menulis di situ. Kita mendukung acara ini untuk pencerdasan,” tukas Antonius Natan yang juga membuka acara ini di awal dengan doa. Acara ini diakhiri pula dengan doa oleh Paul Moku Goru yang juga seorang penulis buku dan salah satu pengurus DPP PERWAMKI. Nl/RA