Narwastu.id – Ketentuan hukum yang berkaitan dengan penyebaran dan penanganan penularan corona virus disease 2019 (Covid-19) di Indonesia dapat ditemukan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht), UU No. 4 Tahun 19874 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Ketentuan ini dapat diterapkan mengingat telah dikeluarkannya Kepres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Kepres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Lebih teknis dan operasional diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Bagi pakar hukum dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Hulman Panjaitan S.H., M.H., dampak pandemi Covid-19 ini membawa banyak konsekuensi perubahan. “Kita tahu bersama pandemi Covid-19 telah mengakibatkan banyak perubahan, termasuk berubahnya pola budaya masyarakat dalam kehidupan keseharian, secara hukum bagaimana mengaturnya,” ujar pria kelahiran Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 20 September 1968 ini.
Dia menyebut perubahan bisa terjadi tanpa ada alas hukumnya. Dan betul, bahwa kondisi pandemi Covid-19 telah mengakibatkan berubahnya pola budaya dan hidup masyarakat. Konsekuensi perubahan “new normal” itu di antaranya, jika bertemu tidak lagi bersalaman, saling menjaga jarak, siaga masker dan handsanitizer, Work From Home (WFH) dan pembelajaran/ibadah daring termasuk protokoler pernikahan dan pemakaman, tambah anggota jemaat Gereja HKBP ini.
Menurut Ketua Alumni Ikatan Pascasarjana UKI ini, mengajar di UKI sejak tahun 1994 dan sejak tahun 2014 hingga saat ini, terdapat kaidah atau norma dalam masyarakat yang dapat mengatur pola atau perubahan budaya tersebut. Ada yang disebut kaidah sosial dan kaidah agama. Kaidah atau norma ini berupa pedoman berperilaku setiap anggota masyarakat. Selain itu, terdapat kaidah hukum. Perubahan pola atau budaya tadi kemudian diatur dalam berbagai aturan secara sektoral oleh pemerintah daerah, instansi dan perusahaan tertentu secara internal.
Bagi Hulman, secara filosofis, suatu aturan atau ketentuan hukum berfungsi untuk mengatur tertib hidup dalam masyarakat, dan tujuan akhir adalah kesejahteraan. Namun, kerap kali aturan tak berdaya guna dirasakan masyarakat. “Betul bahwa tujuan akhir dari suatu aturan atau ketentuan secara filosofis adalah kesejahteraan. Tertib hidup dan keamanan dalam masyarakat sebagai tujuan hukum adalah merupakan bagian dari kesejahteraan.
Sering terjadi suatu aturan tak berdaya guna dalam masyarakat karena anggota masyarakat beranggapan bahwa aturan tersebut tindak bermanfaat atau bahkan dapat menghalangi suatu tujuan atau perbuatan mereka dan selain itu, yang utama adalah, masyarakat belum mempunyai kesadaran yang tinggi akan tujuan hukum itu sendiri sehingga harus ada pemaksaan berupa pengenaan sanksi,” ujar pria yang juga aktif mengikuti perkembangan sosial politik ini.
Hulman mencontohkan, kaidah atau norma sosial, karena sanksinya tak tegas maka anggota masyarakat sering mengabaikannya. Karena itu, menurutnya, diperlukan norma hukum, yang mempunyai sanksi yang tegas dan nyata. Hulman menambahkan, sebagaimana dia uraikan di atas bahwa suatu aturan tak akan berdaya guna kalau tak ada sanksi sehingga aturan tersebut harus memaksa (dwingen recht) tak cukup mengatur (anvullend recht). Sanksi inilah yang memaksa masyarakat untuk taat dan tunduk terhadap aturan tersebut.
Lalu, ditanya pendapatnya terkait dengan proses pemakaman korban Covid-19, kepentingan yang diperhadapkan dan kepentingan segolongan tertentu masyarakat adat, dan tentang hal itu ia menjawab, sebagai masyarakat sosial khususnya warga Indonesia yang mengakui Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidupnya, maka kepentingan umum selalu harus diletakkan di atas kepentingan lainnya, termasuk kepentingan golongan.
Dalam kaitan itu, menurutnya, dengan proses pemakaman korban Covid-19, maka setiap anggota masyarakat harus menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan segolongan tertentu. Karena selain kita harus melindungi diri sendiri, dengan kita mentaati ketentuan atau aturan yang telah ditetapkan itu juga melindungi diri keluarga kita, kerabat kita, sekeliling kita dan masyarakat lainnya. “Ingatkan, maskerku melindungimu dan maskermu melindungiku,” tambah Penasihat Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Yayasan Komunikasi Indonesia, ini.
Kalau demikian, adakah ketentuan yang dianggap tak manusiawi dalam prosesi pemakaman korban Covid-19, sehingga dianggap merupakan pelanggaran HAM? Terutama hal ini dirasakan oleh anggota keluarga korban Covid-19. “Sepanjang yang saya ketahui dari ketentuan yang dikeluarkan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah maupun rumah sakit, institusi keagamaan seperti MUI dan PGI, tak terdapat ketentuan yang dianggap merupakan pelanggaran HAM karena aturan dan ketentuan yang ada tersebut adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada termasuk aturan atau pedoman yang dikeluarkan WHO.
Secara khusus telah dikeluarkan Surat Edaran Dirjen Binmas Islam No. P-002/DJ.III/HK.00.7/03/2020 Tahun 2020 tentang Imbauan dan Pelaksanaan Protokol Penanganan Covid-19 di lingkungan Dirjen Binmas Islam jo No. P-003/DJ.III/HK.00.7/04/2020 Tahun 2020 dan Surat Edaran Dirjen Binmas Kristen No. B-512/DJ.IV/Dt.IV.I/BA.01.1/3/2020 Tahun 2020 tentang Pelayanan Pemberkatan Nikah dan Penguburan terkait darurat Covid-19,” paparnya.
Tentulah, bila pelanggaran dilakukan oleh aparat, maka dapat dianggap melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Dan bila pelanggaran dilakukan oleh aparat atas ketentuan tersebut, maka yang bersangkutan dapat dipidana sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk di dalamnya malladministrasi dan mallpraktik bagi petugas medis dan tenaga kesehatan lainnya.
Namun, pertanyaan bila pelanggaran dilakukan oleh pihak ketiga atau keluarga apa juga sanksinya? Jelas, bila pelanggaran dilakukan oleh pihak ketiga atau keluarga sanksinya dapat berupa pidana penjara sebagaimana diatur dalam ketentuan sebagai berikut, pertama, Pasal 212 KUHP: Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan melawan seseorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah atau orang yang waktu membantu pegawai negeri itu karena kewajibannya menurut undang-undang atau karena permintaan pegawai negeri itu, dihukum karena perlawanan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan.
Kedua, Pasal 214 KUHP: Paksaan dan perlawanan tersebut dalam Pasal 212, bila dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ketiga, Pasal 178 KUHP: Barang siapa dengan sengaja merintangi atau menyusahkan jalan masuk yang tak terlarang ke suatu tempat pekuburan atau pengangkutan mayat yang tak terlarang ke suatu tempat pekuburan, dihukum penjara selama-lamanya 1 (satu) bulan dua minggu. Keempat, Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1984: Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Kelima, Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018: Setiap orang yang tak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Hulman Panjaitan sendiri dalam pengalaman berorganisasi di antaranya, pernah ikut menjadi deklarator dan pendiri Partai Patriot tahun 2003, Wakil Ketua Komite Etik Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tahun 2012 sampai sekarang; Ketua Ikatan Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, tahun 2010 sampai sekarang, Wakil Ketua Asosiasi Penyelenggaran Program Studi Ilmu Hukum Indonesia, sejak 2014 sampai dengan sekarang anggota Dewan Pembina Yayasan Reforma Agraria Indonesia sejak tahun 2014 sampai dengan sekarang.
Pernah menjadi anggota Dewan Pembina Yayasan Komisi Pengawas Kekayaan Negara sejak tahun 2015 sampai sekarang. Selain itu, dia aktif menjadi dosen Hukum Perbankan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Investasi Asing. HM