Narwastu.id – Adat dan gereja adalah dua lembaga yang penting dalam kehidupan dan kemajuan orang Batak. Dulu lembaga ini sangat bagus dan berkontribusi dalam perkembangan orang Batak. Namun belakangan ini kontribusi kedua lembaga ini semakin menipis. Antara lain kurang dapat menyesuaikan diri dengan modernisasi. Dalam acara adat misalnya, terlalu banyak uang yang beredar. Bagaimana caranya supaya kedua lembaga ini dapat memberi manfaat kepada kemajuan orang Batak.
Hal itulah yang menginspirasi sejumlah tokoh Batak menggelar webinar PABAYO dengan topik “Pertemuan Antara Injil dengan Adat Batak/Dalihan Na Tolu.” Tampil menjadi narasumber, Humala Simanjuntak, S.H. dan Pdt. Eldarton Simbolon, D.Min, pada Rabu, 12 Agustus 2020 lalu. Diskusi ini diinisiatori Perkumpulan Pabayo (Parsadaan Batak Alumni Yogyakarta).
Pembicara pertama Humala Simanjuntak (85 tahun di bulan November 2020) yang juga penulis buku “Dalihan Na Tolu Nilai-Nilai Budaya yang Hidup” Buku yang mengupas adat Batak dan kebatakan dengan perspektif yang sangat luas termasuk isu globalisasi, politik Indonesia, hak asazi manusia, ekonomi, hukum dan agama terutama dari sudut pandang agama Kristen.
Dalam webinar itu Humala mengajak orang Batak terutama generasi muda untuk kembali dan melestarikan adat istiadat Batak yang sangat luhur sebagaimana tercermin dalam ajaran “Pantun do hangoluon, tois do hamagoan.” Dia mengajak agar dalam menjalankan adat Batak secara objektif dan jujur, sebab menurutnya, garis besar ajaran falsafah hidup orang Batak Dalihan Na Tolu yang hidup di tengah-tengan masyarakat Batak dewasa ini serta perbandingannya dengan pandangan hidup suku-suku lain seperti Maluku dan Minahasa.
Dalam diskusi yang diikuti puluhan orang ini, tentu memberikan hal-hal yang positif terhadap budaya Batak. Sebagai orangtua Batak, menurutnya, budaya Batak sangat mendalam, karenanya dia mengajak generasi mudah Batak agar jangan mempertentangkan antara agama dengan budaya. “Adat Batak yang sangat luhur sebagaimana tercermin dalam ungkapan-ungkapan filosofinya. Falsafah hidup orang Batak Dalihan Na Tolu harus kita banggakan. Ada banyak nilai positif dari adat Batak. Jangan terlalu pesimis, jika kita perbandingannya dengan pandangan hidup suku-suku lain, budaya kita banyak yang lebih positif,” ujar mantan Kepala Pengadilan Tinggi Ambon ini.
Menurutnya, kekristenan dan adat budaya Batak tak ada pertentangan dan tak perlu dipertentangkan. Kalau pun ada yang mempertentangkan hanya segelintir orang. Sementara itu, Pdt. Eldarton Simbolon memaparkan panjang lebar antara adat dan Injil. “Kalau kita benar-benar konsisten ketika bertindak, bersikap dan berbuat berdasarkan firman Tuhan, saya pikir kita sudah menempatkan adat Batak di bawah terang Injil,” kata Pdt. Eldarton dari HKBP itu.
Dalam diskusi itu mencuat juga pertanyaan, apakah budaya yang mempengaruhi agama atau agamalah yang mempengaruhi budaya? Inilah kenyataan yang terjadi, agama dan budaya kerap kali berjalan beriringan, tetapi tak bisa menyatu. Ibarat air dan minyak, bisa bercampur tetapi tak bisa menyatu. Di sinilah perlu kritis menyikapi hal ini, di mana yang bisa bercampur dan di mana yang tidak bisa bercampur. Dalam tradisi Batak misalnya, jika ditinjau dari agama Kristen tentu banyak hal berbenturan, akan terjadi pro dan kontra.
Sebagaimana Helmut Richard Niebuhr, seorang etikus dari Yale University, Amerika Serikat, menyebut ada lima bagan tentang sikap kekristenan terhadap kebudayaan. Dalam bukunya “Christ and Culture” disebut: Paralel, Kontradiksi, Akomodatif, Transformatif, Asimilatif. Tentulah, bagi orang Batak Kristen yang eksklusif, budaya dianggapnya kisah tentang gereja atau kebudayaan Kristen yang bangkit dan peradaban kafir yang sedang menuju kematiannya. Namun, sebaliknya, jika menyikapi budaya dan agama dengan jernih, tentu kedua kekuatan ini saling menguatkan. HM