75 TAHUN MERDEKA MELAWAN POLITIK DINASTI

* Oleh: Yohanes Handoyo Budhisedjati, S.H.

62

Narwastu.id – Dirgahayu Republik Indonesia. Telah 75 tahun penjajahan fisik oleh Belanda dan Jepang pergi dari Indonesia. Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan harta, darah dan air mata serasa masih basah di bumi pertiwi ini. Cita-cita para pendiri bangsa adalah memberikan kesejahteraan bagi seluruh warganya. Sederhana dalam kata, sulit dalam pelaksanaannya. Indonesia telah berganti 7 sosok presiden namun cita-cita mensejahterakan masih jauh panggang dari api. Pekik kemerdekaan hanya tinggal teriakan kaum elite untuk pemberi semangat dan sekaligus pengingat bahwa kita sudah merdeka. Tetapi apakah sesungguhnya benar kita sudah merdeka?

Merdeka dari penjajahan fisik memang benar. Kita sudah merdeka. Merdeka dari penjajahan ekonomi? Ini akan terjadi perdebatan yang seru karena pasti banyak parameter dan tolok ukur sebelum mengambil kesimpulan tentang “penjajahan ekonomi.” Juga perlu tahu siapa yang menjadi narasumber dan latar belakangnya sehingga bisa diketahui mazhab mana, dan terminologinya juga. Kata “merdeka” sekarang menjadi populer, karena di dunia pendidikan pun ada “Merdeka Belajar.” Yang sedang heboh karena banyak disorot oleh para pegiat pendidikan.

Ada satu hal yang tidak disadari oleh masyarakat yang mendambakan masyarakat adil makmur dan sejahtera sesuai cita-cita pendiri bangsa. Apakah itu? Praktik mempertahankan kekuasaan dari kelompok yang sedang berkuasa dan kemudian berusaha agar anak, istri, saudara, kerabatnya juga ikut berkuasa atau melanjutkan berkuasa sehingga disebut “politik dinasti.” Dinasti politik adalah kekuasaan yang dipegang secara turun menurun yang dilakukan dalam kelompok keluarga yang ada ikatan hubungan darah dengan tujuan mempertahankan kekuasaan. Itu menurut Bung Denny Siregar.

Tentu saja ada pro dan kontra mengenai  politik dinasti.  Yang pro bisa mempunyai argumentasi tentang bagaimana pentingnya kesinambungan program sehingga akan tercapai apa yang menjadi tujuannya. Yang kontra  tentu mempunyai dalih yang berbeda. Di AS, banyak contoh tentang dinasti politik, misal Kennedy clan, Bush family. Di Indonesia bisa diperhatikan para pemimpin semasa Presiden Soeharto, kemudian Presiden SBY demikian juga di Banten dengan Ratu Atut-nya.

Pertanyaan yang lebih menukik adalah, apakah kemerdekaan Indonesia berarti juga bebas merdeka mempertahankan kekuasaan dengan cara melakukan politik dinasti? Apakah cara-cara melanggengkan kekuasaan di tujukan untuk bonum commune? Masyarakat yang akan menilai dan merasakannya dan segala sesuatu yang bermanfaat bagi sesama, akan mendapatkan tempat di hati. Apabila sebaliknya, maka masyarakat juga menilai dan tentu saja dinasti tersebut  akan hancur.

Secara bijak, harus melihat masalah dinasti politik dari sisi manfaat dan mudaratnya bagi masyarakat, bukan hanya alergi pada pejabat yang ada pertalian darah yang selalu berkonotasi  negatif. Dalam kurun waktu 75 tahun ini, makin bijak melihat persoalan akan menyelamatkan bangsa ini dari masalah-masalah sekelas pandemi Covid-19 sekalipun.

 

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik dan perburuhan serta Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here