Narwastu.id – Saat memakai jarum tangan, jarum menusuk jarinya, darah mengalir deras. Karena marahnya, emosinya naik tinggi, jarum langsung dipatahkan. Tidak seberapa lama kemudian. Setelah jarinya diobati, diplester hansaplast, ingin melanjutkan kerjanya. Tapi jarum sudah patah, dia sangat menyesal. Mengapa tadi jarum satu-satunya yang ada di rumah, aku patahkan. Apa salah jarum ini, bukankah aku yang kurang hati-hati? Menyesal kemudian tidak ada gunanya.
Pada saat kita marah, emosi masih meluap, pasti yang sedang kita marahi kita salahkan. Bahkan, orang yang kita salahkan, kita permalukan di media sosial dan media publik. Tapi setelah hati kita tenang, marah dan emosi telah hilang, kita dapat berpikir jernih, bisa saja kebenaran terungkap di hati kita. Bisa kita yang benar, tapi bisa saja yang kita marahi itu benar atau kita yang bersalah.
Alkitab berbicara tentang sikap marah. Mazmur 37:8, “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.” Amsal 21:14, “Pemberian dengan sembunyi-sembunyi memadamkan marah, dan hadiah yang dirahasiakan meredakan kegeraman yang hebat.” Pengkhotbah 7:9, “Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh.” Efesus 4:26, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” 1 Timotius 2:8, “Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan.”
Yesus tidak pernah berbicara tentang marah. Tapi murid-muridNya yang bercerita bahwa Yesus marah hanya kepada orang yang betul-betul salah, dan kemarahannya tidak membuat malu yang dimarahi. Tapi yang diinginkan Tuhan perubahan atau pertobatan. Misalnya, Yesus marah melihat ketidakpercayaan orang yang ada di sekelilingnya (Markus 3:5). Yesus marah kepada murid-muridNya yang menghalangi anak-anak datang kepadaNya (Markus 10:14).
Jika hati kita senang oleh perbuatan seseorang, jangan terus langsung kita memujinya dulu. Dan bila kita marah kepada seseorang jangan langsung kita “pukul” (hantam) dia sekuat tenaga. Butuh kesabaran menunggu beberapa saat. Saat kita menghadapi situasi sulit ber-DOA-lah, sehingga dapat bersikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan tanpa mengeluh. Kita mampu mengendalikan diri, suatu sikap yang bernilai tinggi dan berjiwa yang teguh. Dalam suasana tenang pikir itu pelita hati. Salam dari saya. Depok, 25 Agustus 2020.
* Penulis adalah mantan Kepala Biro Informasi HKBP, mantan Pemimpin Redaksi Majalah “Immanuel” HKBP dan mantan Praeses HKBP Distrik Sumbagsel.