Narwastu.id – Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (DPC PIKI) Depok dan Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Setempat (MPH PGI-S) Depok, Jawa Barat, menyelenggarakan webinar dengan topik “Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Depok Kota Religius” pada Sabtu, 11 Juli 2020 lalu menggunakan aplikasi Zoom. Empat pembicara bergantian menyampaikan bahasannya sesuai bidang dan kapasitasnya, masing-masing Sekretaris Daerah Kota Depok Drg. Hardiono Sp.BM, MPH PGI-S/DPC PIKI Depok Pdt. Rommy S. Palit, M.Th, Ketua PC Nahdatul Ulama (NU) Kota Depok Ust. H. Achmad Solechan M.Si, serta Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP PIKI) Theofransus Litaay S.H., LLM, Ph.D. dipandu oleh moderator Anthony Siregar, M.Th.
Beredarnya wacana tentang akan dijadikannya Depok sebagai “Kota Religius” mendapat reaksi dari berbagai kalangan, terutama umat beragama lain selain Muslim. “Itulah mengapa webinar ini kami laksanakan dengan mengundang pihak-pihak yang diharapkan dapat memberikan klarifikasi dan pandangannya,” tegas Sekjen DPP PIKI Pdt. Audi WMR Wuisang S.Th, M.Si dalam sambutan pembukaannya. Sekda Kota Depok menyampaikan bahwa menjadikan Depok sebagai kota religius sebenarnya merupakan implementasi dari visi dan misi Kota Depok pada 2015-2016 lalu. “Dilatarbelakangi permasalahan sosial yang meningkat di Depok, seperti narkoba, pergaulan bebas, serta permasalahan lain yang terjadi, wacana kota religius ini kemudian mengemuka. Semua diwacanakan untuk menuju kepada kebaikan berdasarkan Pancasila,” ungkap Sekda.
Penjelasan Sekda kemudian dilanjutkan oleh Kamali (Bagian Kesos) yang mengharapkan agar wacana kota religius tidak perlu ditanggapi terlalu serius. “Itu adalah bagian dari mendukung program-program yang menguatkan sisi religius di tengah masyarakat,” tambah Kamali. Pdt. Rommy mewakili PIKI/PGI-S berpandangan, religiusitas sebenarnya hanyalah tampilan luar yang belum tentu sama dengan apa yang ada di dalam. Kebenaranlah yang seharusnya menjadi dasar utama. Adalah lebih baik jika pemerintah kota berpikir untuk bagaimana dapat menyediakan guru-guru agama Kristen di setiap jenjang pendidikan di Depok yang saat ini sudah jelas-jelas kurang, daripada sekadar sibuk memikirkan konsep kota religius.
Ustad Achmad Solechan dari NU Depok lebih tegas berpendapat, janganlah memaksakan untuk menggolkan Perda-Perda yang hanya untuk memenuhi janji-janji saat kampanye. Selain itu, kita sebaiknya tidak berpikir terbalik dengan menarik hal-hal yang substantif ke dalam pemikiran yang sempit. “Mungkin lebih baik misalnya membuat program agar tidak didapati sampah di kota Depok menumpuk di mana-mana. Sebaiknya itu yang menjadi prioritas. Karena percuma bergelar kota religius, tapi sampah ada di mana-mana,” sebut Ustad Solechan memberi contoh.
Pembicara terakhir Theofransus Litaay, yang juga seorang pakar hukum, menjabarkan bagaimana sebuah peraturan daerah (Perda) itu sebaiknya dibuat. Litaay menjelaskan 7 azas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan 10 azas muatannya. Di antaranya bagaimana sebaiknya peraturan itu dibuat dengan memastikan apakah punya tujuan yang jelas atau tidak, memiliki rumusan dan bahasa yang jelas, serta adanya azas keterbukaan. “Salah satu muatannya adalah bahwa peraturan tersebut harus memiliki asas kebangsaan. Harus dipertimbangkan sifat dan watak bangsa kita yang majemuk,” jelas Litaay. “Ada banyak hal yang merupakan kewenangan pemerintah daerah dan itu bisa dilakukan dengan memperhatikan asas-asas tersebut,” tambahnya.
Bahan diskusi dan pertanyaan-pertanyaan serta saran dari peserta yang jumlahnya lebih dari 40 orang tersebut nantinya akan menjadi bahan bagi DPC PIKI dan PGI-S Depok untuk memberikan masukan konkret kepada Pemerintah Kota Depok sehubungan dengan adanya wacana menjadikan Depok sebagai Kota Religius. RR