Narwastu.id – Maraknya aksi terorisme di Tanah Air pada bulan Mei 2018 lalu, membuat gempar tak hanya bagi masyarakat Indonesia, tapi juga menjadi sorotan dunia internasional. Akibatnya ada beberapa negara yang mengeluarkan travel advice kepada warganya yang akan berwisata ke Indonesia. Tentu peristiwa ini membuat pemerintah mengambil langkah cepat untuk memberantas para pelaku bom. Selain mengesahkan revisi UU Terorisme dibentuk juga kerjasama antara TNI dan Polri untuk memerangi terorisme.
Sesungguhnya aksi terorisme yang terjadi merupakan bagian dari radikalisme. Menurut Dekan Fisipol dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, Angel Damayanti, M.Si, Ph.D, ketika ditemui oleh Majalah NARWASTU di sebuah perguruan tinggi swasta itu, radikalisme yang memiliki definisi, yaitu gagasan yang ingin mengubah sebuah situasi sosial politik secara drastis sampai ke akar-akarnya. “Dari radikalisme itu munculah aksi-aksi, baik itu dalam bentuk intoleransi, seperti penutupan atau pengrusakan rumah ibadah dan juga terorisme. Jadi yang bahaya bukan terorisme semata-mata, tetapi juga radikalisme yang melatarbelakanginya,” jelasnya.
Radikalisme yang berasal dari kata “radix” berarti “akar”, tidak selamanya berbentuk aksi, melainkan ada juga dalam bentuk pemikiran atau kombinasi keduanya. Sebut saja misalnya HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang menitikberatkan pada pemikiran dan keinginan yang radikal untuk mengubah Pancasila sebagai ideologi negara, namun tidak diwujudkan dalam aksi. Sedangkan ada ormas yang dikenal cukup keras di Indonesia lebih menekankan radikalisme dalam bentuk aksi, tapi tidak ada keinginan untuk mengubah ideologi negara,” terang Angel mencontohkan ormas-ormas yang bisa dikategorikan radikal.
Tentu ada berbagai faktor yang menyebabkan radikalisme terjadi. Selain karena ada gagasan untuk mengubah situasi sosial politik, radikalisme pun bisa muncul karena adanya faktor ketidakpuasan atau rasa diperlakukan tidak adil di bidang ekonomi, sosial dan politik dari pemerintah yang dianggap tidak melakukan hal-hal yang seturut dengan pandangan mereka. “Ditambah lagi dengan faktor-faktor kemarahan secara psikologis, karena merasa saudara-saudaranya diperlakukan tidak adil. Dan mereka merasa sepenanggungan untuk berbuat sesuatu,” tukas ibu dua anak yang pernah memimpin penerbitan renungan harian kaum profesional, Pijar itu.
Sesungguhnya radikalisme telah ada sejak zaman dahulu kala. Walaupun eksistensinya tidak selamanya merugikan, namun radikalisme saat ini terlanjur mengandung stigma kurang menyenangkan. Perempuan cantik yang berjemaat di Gereja Kristen Getsemani (GKG) Kelapa Gading, Jakarta Utara, ini menuturkan, radikalisme itu sebetulnya kata yang netral, bisa menjadi positif atau negatif. Tergantung pada situasi sosial politik, apa yang akan diubah. Akan menjadi negatif, misalnya, jika Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila dan telah disepakati oleh para founding fathers serta dianggap mampu mengayomi berbagai kelompok masyarakat yang beragam, kemudian ingin diubah oleh sekelompok orang dengan ideologi atau agama tertentu. Hal ini tentunya dapat menimbulkan perpecahan.
Tidak bisa dipungkiri, jika saat ini faham radikalisme sudah menyusup ke area-area strategis, seperti di lingkungan kampus atau lembaga pemerintah. Untuk itu dibutuhkan tindakan preventif, apalagi ada dugaan kuat bahwa generasi muda menaruh rasa simpati dan mengidolakan kaum radikalis. Sudah barang tentu jika hal ini terus dibiarkan berkembang akan membawa kerugian bagi bangsa ini. Contohnya, HTI yang akhirnya harus menelan pil pahit, karena dianggap tidak sejalan dengan pemerintah dan bertentangan dengan UU Ormas.
“Yang paling basic adalah edukasi. Mulai dari yang paling dasar, misalnya, sedini mungkin sudah diberikan pengetahuan dan wawasan tentang nusantara, Pancasila dan bela negara yang dimasukkan sebagai kurikulum di sekolah. Dengan begitu maka akan muncul pemahaman dan kesadaran bahwa inilah negara kita, yang harus dicintai dan dilindungi, inilah nilai-nilai luhur yang harus diamalkan dan dipertahankan oleh penduduknya,” jelasnya, selain juga faktor pendidikan karakter di dalam keluarga yang juga ikut memegang peranan. BTY