Narwastu.id – Pak Pendeta yang satu ini lahir di Cirebon, Jawa Barat, 6 Oktober 1976 lalu. Awalnya ia adalah seorang profesional yang bekerja sebagai auditor dan bankir. Namun karena panggilan pelayanan dari Tuhan, sejak Juli 2005 lalu ia giat bekerja di ladangNya. Pdt. Gunawan Iskandar, S.E., M.M. merupakan lulusan S1 dan S2 dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Kota Tangerang, Banten. Dan kini ia melayani di Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB) Masa Depan Cerah (MDC) Singapura.
Pdt. Gunawan Iskandar giat melayani kaum muda dan keluarga-keluarga Kristen asal Indonesia di negeri singa itu. Dalam sebuah kebaktian yang diikuti Majalah NARWASTU di Singapura, ia pernah bicara di depan sejumlah keluarga atau pasangan suami istri. Dalam kesempatan itu, Pdt. Gunawan mengatakan, dalam hubungan suami istri di sebuah keluarga ada dikenal dua macam bentuk komunikasi. Pertama, verbal yang bisa didengar dan dimengerti. Kedua, nonverbal, seperti bahasa tubuh dan raut wajah, serta perlu perasaan untuk memahaminya. Agar komunikasi suami istri berjalan baik dan harmonis, katanya, yang perlu diperhatikan adalah perbaiki hubungan pribadi dengan Tuhan.
Kalau hubungan atau komunikasi kita dengan Tuhan baik, imbuhnya, maka komunikasi kita dengan sesama pun akan baik. “Karena Tuhan itu sumber kedamaian, dan Dia memberi jalan keluar ketika kita berhadapan dengan sebuah masalah berat. Kalau kita bisa berkomunikasi dengan keluarga, termasuk istri dengan baik dan tulus, maka akan muncul cinta, dan tak ada kecurigaan. Sehingga orang Kristen harus tekun berdoa atau beribadah, dan pahami sifat atau karakter suami atau istri agar komunikasi berjalan baik,” tukasnya.
Suami atau istri harus cerdas berkomunikasi. “Suami istri harus bisa mengendalikan diri, dan bisa mengampuni. Dan suami istri harus saling setia dan jangan berhitung atas apa yang dilakukannya,” tukasnya. Menurut Pdt. Gunawan Iskandar, ada orang yang bercerai, padahal sudah berusia tua, karena mereka tak matang berkomunikasi dan tidak dekat kepada Tuhan. Orang Kristen itu, ujarnya, tidak bisa bercerai atau berzinah. “Kedewasaan sebuah pernikahan bisa dilihat dari kesetiaan pasangan. Sebab itu, agar sebuah rumah tangga bahagia dan bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang, kita harus dekat kepada Tuhan. Ikatkanlah kasih sebagai perekat hubungan suami istri. Yang mempersatukan suami istri adalah kasih. Tuhan identik dengan kasih. Kalau seseorang tak punya kasih berarti dia tak kenal Tuhan,” papar pria yang giat juga melayani ke berbagai daerah bersama Yayasan Pelayanan Kasih (PEKA) ini.
Menurut ayah dua anak, Kenneth dan Marcely serta suami tercinta Fonny Kasim ini, bagi setiap orang percaya, Tuhan Yesus adalah sumber pengharapan. “KelahiranNya ke dunia demi menebus dosa manusia memberikan kelegaan dan kemerdekaan. Di tengah kegamangan dan pergulatan hidup seperti sekarang ini tentu menjadi hal yang tidak mudah untuk tetap berserah kepada Dia. Akan tetapi, itulah yang diperintahkanNya. Menurut saya, adalah satu berita pengharapan kelahiran Yesus di muka bumi ini. Dia terang dunia adalah jalan, pintu dan gembala yang baik. Jadi berita Natal itu berita sukacita, dan seharusnya kita sambut,” katanya.
Jadi di tahun ini, “Menurut saya, di luar berita-berita tentang betapa sulitnya hidup dan tekanan-tekanan yang ada, bicara soal ekonomi dan akhir zaman justru semakin melekatkan hati kita kepada Tuhan.” Dengan kata lain, masih menurutnya, berita Natal ini merupakan satu berita yang tidak boleh dilupakan karena kelahiranNya membawa damai sejahtera dan sukacita. “Sehingga tidak ada lagi rasa takut dan khawatir akan apapun. Jadi esensi dari pesan Natal adalah bahwa Dia tidak pernah ingin meninggalkan kita. Justru Dia ingin selalu dekat dengan kita. Dan saya pikir berita Natal tahun ini adalah berita setiap orang yang percaya kepadaNya harus melekat lagi kepada Dia.
Di sisi lain, Pdt. Gunawan tak memungkiri jika kini Natal lambat laun mulai kehilangan makna. Ia mencoba menjelaskan penyebabnya, antara lain, kebiasaan dan budaya yang mau tidak mau informasi itulah yang diketahui sejak kecil. Ia memberikan contoh, perayaan-perayaan Paskah yang kadangkala tidak ada hubungannya dengan telur Paskah, tapi itu menjadi aktivitas bagi anak-anak sekolah minggu yang menyenangkan menghias telur Paskah walaupun esensinya tak ada. “Nah, begitu juga dengan Natal, kita tidak boleh terlalu membesarkan atau menfokuskan kepada ornamen-ornamen aksesorisnya, tapi itu bisa menjadi alat. Saya pikir kita menjadi orang Kristen pun harus bijak. Dalam arti menggunakan hikmat untuk bisa digunakan dalam penyebaran berita damai,” katanya.
Pdt. Gunawan Iskandar berpendapat, perayaan Natal dan tahun baru menjadi satu kesatuan yang utuh mengingat momennya bersambung. Bagi GKPB MDC Singapura, katanya, tahun 2018 memiliki makna yang penting sesuai dengan tema yang diusung, yaitu “Time to a New Hopes.” Menurutnya, ia percaya bahwa tahun 2018 adalah tahun yang hanya memandang kepada Tuhan segala Tuhan. Dan kita berseru kepada nama itu, dan kita akan beroleh selamat. “Jadi kita harus fokus memandang wajahNya dan hanya berharap kepada Dia,” ujarnya.
Pdt. Gunawan Iskandar pun mengutarakan segenap asanya di Tahun Baru 2018 ini. “Bagi saya, secara pribadi firman Tuhan mengatakan, hari-hari ke depan ini tidak akan lebih baik. Tapi bagi orang percaya dan hatinya melekat kepada Tuhan, maka kita akan melihat ada hari esok yang penuh harapan. Jadi Tahun Baru 2018 justru mengingatkan kita kembali, jangan sampai hati kita tidak melekat kepadaNya. Biasanya saya secara pribadi juga mengintrospeksi diri agar lebih lagi dekat kepadaNya,’’ ujar pendeta yang dikenal juga dekat dengan komunitas wartawan Kristiani yang tergabung di PERWAMKI (Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia) ini. Bahkan, ia peduli mendoakan kaum wartawan Kristen agar selalu semangat dan setia menyuarakan kabar baik di tengah gereja dan masyarakat.