Narwastu.id – Tokoh gereja yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat PGLII (Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili Indonesia) ini mengharapkan agar kepemimpinan PGI di periode mendatang bisa menjaga kekompakan dan atmosfir yang baik di struktur PGI. Pdt. DR. Bambang H. Widjaja, kini dikenal sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PGLII dan mantan Sekretaris Majelis Pertimbangan PGI.
Sidang Raya (SR) XVI PGI yang diadakan di Nias, Sumatera Utara, pada 11-17 November 2014 lalu, kata Rektor STT INTI, Bandung ini, patut diapresiasi sebagai wujud kepedulian gereja-gereja di Indonesia terhadap daerah Nias. “Selama ini, daerah seperti Nias kerap dianggap seperti anak tiri. Dengan pengadaan sidang raya di Nias, ini merupakan bukti bahwa ada warga gereja di sana, dan kita tunjukkan kepedulian kepada mereka. Dan kita harapkan agar pembangunan di Nias bisa disejajarkan dengan pembangunan di daerah-daerah lainnya,” tukasnya.
Dulu, ujar sesepuh Sinode Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB) ini, Mamasa (Sulawesi Barat), tempat pelaksanaan Sidang Raya XV PGI pun agak tertinggal pembangunannya. Dan sejak diadakan sidang raya di sana, keadaan Mamasa sudah lebih baik. Sehingga kita harapkan agar ada pula perhatian Pemerintah juga terhadap daerah Nias, terutama dalam membangun warga masyarakat di sana,” tukasnya. Mantan Ketua Umum Panitia World Prayer Assembly (WPA) yang mengundang ratusan tokoh gereja dunia dan ribuan pemimpin gereja di Indonesia pada 2012 lalu di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, itu berpendapat, pemimpin baru PGI harus terus mengawal dan mendoakan Pemerintahan baru di bawah Joko Widodo agar terus memperhatikan kesejahteraan rakyat.
“Kita tidak akan menjadi oposan terhadap Pemerintah, dan tidak pula berada di bawah bayang-bayang Pemerintah, tetapi ada jarak dengan PGI untuk menyuarakan suara kenabian demi keadilan dan kebenaran. Saat Jokowi beberapa waktu lalu berkunjung ke kantor PGI setelah terpilih, itu kita anggap kehadirannya sebagai penghormatan terhadap PGI,” papar pria yang semasa mahasiswa pernah jadi wartawan di Surabaya Minggu itu.
“PGI akan terus memberikan masukan dan kritikan yang membangun kepada Pemerintah,” paparnya. Kalau di pemilihan presiden (Pilpres) 2014 yang lalu pemimpin gereja terbelah, karena ada yang mendukung capres nomor satu dan ada yang mendukung capres nomor dua, itu tidak terjadi di PGI, namun itu ada di lembaga Pentakosta dan sebagian di kalangan Injili. “Adalah realita bahwa Pemerintah sekarang terpilih secara demokratis oleh rakyat, dan itu harus kita terima. Pemerintah baru harus kita hormati, karena dia juga berasal dari Tuhan. Sehingga kita harapkan agar pemimpin gereja yang terbelah selama Pilpres 2014 bisa bersatu kembali,” tukasnya.
Berbicara mengenai obsesinya sebagai pimpinan gereja yang sudah banyak makan asam garam, terutama dalam gerakan oikoumene di Tanah Air, lulusan Fakultas Elektro dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) dan lulusan Christ For Nation Institute Dallas, Texas, Amerika Serikat, ini mengatakan, warga gereja di Indonesia potensinya luar biasa. “Orang Kristen yang ada di Indonesia lebih besar jumlahnya dari pada di Malaysia, Jepang, dan Singapura. Dan orang Kristen di Indonesia terbesar jumlahnya, kecuali dari Cina. Kita umat Kristen di Indonesia ada 40 juta. Kalau di Korea Selatan ada 30-an juta umat Kristen,” ujarnya.
Menurutnya, jadi dampak gereja harus besar untuk bangsa ini, sementara kita masih terbagi-bagi dalam beberapa kelompok. “Karena itu kita harus bergandengan tangan, dan tidak mesti bersatu di dalam satu organisasi. Saudara-saudara kita di Papua, NTT, Maluku, Mentawai dan Nias perlu kita bantu, terutama dalam hal pendidikan. Dan banyak di sana gereja-gereja anggota PGI,” paparnya. Pada 2015, ujarnya, kita akan menghadapi AFTA, jadi bangsa ini perlu dibangun agar lebih baik, terutama di bidang sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur.
“Kita jangan jadi hanya pasar. Dan waktunya kita memotivasi gereja-gereja untuk melakukan gerakan oikoumene secara ekonomi. Dan ini bukan hanya tugas PGI, tapi juga PGLII, PGPI dan yang lain. Kita harus bangkit. Tiga puluh persen saja warga gereja bisa dilayani dengan baik, maka dampaknya akan terasa baik,” ujar pria kelahiran Jawa Timur, 12 September 1958, yang awalnya membuka jemaat di Surabaya, lalu ke Bandung. Mantan Ketua Majelis Pertimbangan GKPB ini, sejak di Jawa Timur sudah ikut menjadi pengurus PII (Dulu itu nama PGLII), hingga ikut menjadi pengurus PGLII di tingkat nasional.
Di Sinode GKPB Pdt. Bambang Widjaja sudah dipercaya sebagai Ketua Umum Sinode selama tiga periode, kemudian terakhir ia dipercaya sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Sinode GKPB. Sekarang ia menggembalakan anggota jemat sebanyak 6.500 anggota jemaat di Gereja Kristen Perjanjian Baru Jemaat Fajar Pengharapan, Bandung. Di organisasi gereja-gereja nasional dan internasional, ia cukup diperhitungkan, karena pengalaman, integritas dan kemampuan teologianya yang mumpuni.
Ketua Komisi Hukum dan HAM PGLII yang juga tokoh muda di Sinode GKPB, Y. Deddy A. Madong, S.H. kepada NARWASTU berkomentar soal figur Pdt. Bambang Widjaja yang merupakan guru rohaninya, “Pak Bambang Widjaja itu seorang mentor dan guru rohani yang baik. Beliau tahu kapan harus berhenti memimpin, dan tahu mengenai regenerasi kepemimpinan. Beliau memberi kesempatan kepada kaum muda untuk memimpin, seperti di GKPB, dan beliau tidak mau mengejar jabatan. Beliau juga rendah hati dan mau memberikan segala kemampuannya untuk melayani. Saya sudah mengenal beliau selama 27 tahun. Di GKPB dan PGLII kepemimpinan beliau sudah teruji. Sehingga di PGI pun, kalau beliau dipercaya dan diizinkan Tuhan, amat layak memimpin PGI. Beliau tokoh gereja yang kita banggakan,” tegas Deddy Madong.