Narwastu.id – Kemerdekaan Indonesia yang diperoleh dengan perjuangan darah dan air mata itu, berkat jasa para pahlawan yang gugur di medan perang. Namun, sebelum republik ini bebas dari tangan penjajah pada bulan Juni 1945 silam, Soekarno merumuskan tentang Pancasila. Rumusan yang merangkai tentang nilai-nilai luhur dari sila-sila yang ada akhirnya dijadikan sebagai dasar negara. Seiring kemajuan zaman yang ditandai dengan kehebatan arus informasi dan teknologi yang ada, memicu era keterbukaan di setiap bidang, tak terkecuali dalam hidup bernegara.
Salah satu tonggak sejarah bangsa ini adalah terjadinya reformasi pada tahun 1998 lalu. Pergantian dari pemerintah Orde Baru yang beralih pada pemerintah era Reformasi membawa perubahan yang cukup signifikan dalam republik ini. Pemerintahan yang mengklaim menjunjung transparansi kepada publik dalam berbagai sektor berdampak seperti dua sisi mata uang. Positifnya, menimbulkan keterbukaan dalam segala bidang itu melibatkan publik untuk berpartisipasi dalam mengawasi jalannya roda pemerintahan. Tapi, sisi negatifnya adalah keterbukaan tersebut malah cenderung kebablasan, sehingga sulit untuk menghargai perbedaan yang ada.
Alhasil, salah satu contohnya adalah tingkat intoleransi semakin besar dan kenyamanan untuk beribadah dengan aman menjadi hal yang cukup mahal. Tidak mengherankan, jika agama kerap dijadikan komoditi atau sebagai alat politik untuk menghalalkan tujuan dan tak menutup kemungkinan hal ini juga bisa digunakan jelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 mendatang. Dan, lagi-lagi atas nama agama dengan membabi buta sejumlah orang rela mati demi yang katanya yakin akan kebenaran dengan aksi bom bunuh diri yang mengakibatkan tewasnya sejumlah orang.
Seperti yang terjadi pada bulan 8 Mei 2018 lalu di Mako Brimob, Kelapa Dua Depok, Jawa Barat, lalu tiga gereja di Surabaya, Sidoarjo dan Riau yang diduga dilakukan oleh kelompok JAD (Jamaah Ansharut Daulah), yakni kelompok teroris yang berbasis di Indonesia dan dibentuk tahun 2015 yang merupakan pengikut ISIS. Kini Indonesia bisa dikatakan sebagai darurat terorisme. Apalagi, saat ini radikalisme juga sudah menyusup ke beberapa kampus hingga lembaga pemerintahan. Dengan keadaan tersebut apakah berarti Pancasila “gagal” dijiwai oleh warga republik ini, sehingga radikalisme bisa berkembang sedemikian pesat.
“Mengenai bibit radikalisme sudah lama ada. Dan, sebetulnya komitmen kita dengan Pancasila sedang diuji dan ini tidak lepas dari kepentingan global oleh pihak-pihak tertentu,” jelas tokoh nasionalis dan Wakil Ketua Persatuan Alumni GMNI serta Wakil Ketua Umum Pro Jokowi, Budianto Tarigan, S.Sos, S.H. saat diwawancarai Majalah NARWASTU melalui sambungan telepon. Sedangkan mengutip dari aktual.com, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Mahfud M.D., S.H. berpendapat, sebenarnya mereka itu bukan tidak menerima Pancasila atau ingin radikal dan tidak toleran, melainkan sesungguhnya mencari keadilan dan melakukan protes atas ketidakberesan agar jalannya negara dan pemerintahan sesuai dengan Pancasila.
Bermacam-macam ideologi memang sejak lama ada di Indonesia. Tak terkecuali tentang paham radikalisme yang kian berkembang cepat dan sistematis, sehingga teror memang nyata ada di republik ini termasuk penyebaran teror di media sosial dan hal itu tidak boleh dibiarkan. Seperti yang dikatakan oleh Mahfud M.D. seperti dikutip cnnindonesia.com, agar para penegak hukum untuk cepat mengantisipasi hal itu. “Aparat penegak hukum, Densus 88 Antiteror, polisi supaya bekerja secara profesional. Mereka-mereka yang radikal dikejar,” ujar pria berdarah Madura dan mantan Menteri Pertahanan RI itu.
Masih menurut Mahfud M.D. seperti dikutip dari kompas.com, ada kekhawatiran kecenderungan gerakan radikal meluas. Sebuah survei menyatakan idola anak muda sekarang itu kelompok radikalis. “Pemerintah melalui Unit Kerja Pembinaan Ideologi Pancasila berupaya membendung gerakan radikalisme dengan memperkuat persatuan dan kesatuan. Salah satunya mengembalikan pendidikan Pancasila di sekolah. Senada dengan hal itu, politisi PDI Perjuangan, anggota DPR-RI sekaligus Ketua Umum DPP Taruna Merah Putih, Maruarar Sirait, S.IP selama ini pun giat menggalang persatuan dan kesatuan bangsa untuk kaum muda melalui kirab yang dilakukannya ke kampus, jalan-jalan dan organisasi-organisasi kepemudaan di berbagai daerah di Indonesia.
“Konsolidasi untuk Pancasila harus kuat, sehingga hal ini membuat takut kepada yang radikal. Jangan malah pendukung Pancasila yang takut,” kata mantan Ketua Bidang Pemuda dan Olah Raga DPP PDI Perjuangan ini kepada Majalah NARWASTU. Di samping menggiatkan persatuan dan kesatuan juga digalakkan kembali mengenai pendidikan Pancasila, maka payung hukum sebagai salah satu cara dalam memerangi atau pemberantasan terorisme melalui Undang-Undang Anti Teroris yang kabarnya akan segera dirampungkan oleh DPR-RI.
Seperti kita ketahui, sudah hampir dua tahun revisi UU Anti Terorisme tak kunjung selesai, sehingga Presiden RI Joko Widodo memerintahkan untuk segera diselesaikan. Sebab bilamana belum terealisasi juga, maka Pemerintah akan mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Dan, hal ini sempat menjadi sorotan di masyarakat, karena ada polemik yang terjadi oleh sejumlah petinggi berwenang yang menolak disebut sebagai penghambat dalam menyelesaikan revisi UU Anti Terorisme.
Melalui Twitternya, anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (Kini: BPIP/Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Mahfud M.D. berujar, menghalangi pengesahan UU Anti Terorisme dengan alasan untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) orang yang menjadi teroris, sebenarnya sama dengan membiarkan hak asasi manusia yang lebih besar (rakyat) untuk dilanggar oleh teroris-teroris biadab. Dalam persoalan ini, Budianto Tarigan yang juga mantan pentolan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan termasuk dalam “21 Tokoh Kristiani 2016 Pilihan Majalah NARWASTU” melihat UU Anti Teroris yang tak kunjung selesai itu, karena masih terjadi tarik menarik dalam ranah politik.
Atau dengan kata lain, ujar Budianto yang penganut Katolik itu, mengenai teroris belum sepakat dari definisi, bahkan strategi dalam menghadapi teroris beserta pencegahannya, belum sinkron satu dengan yang lain. Jika mengutip dari pernyataan dari Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn.) Dr. Moeldoko, S.IP sesuai intruksikan TNI bersama Polri untuk menangani teroris dengan payung hukummya UU TNI. Dan untuk memerangi terorisme dan radikalisme dibutuhkan kerjasama semua pihak dan elemen masyarakat agar Indonesia bebas dari terorisme dan radikalisme.
“Bahwa apa yang terjadi sekarang ini, tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan ini adalah proses panjang dan jangan sampai ada tempat untuk radikalisme dan terorisme. Itu harus dihadapi oleh TNI, Polri, pemerintah dan rakyat. Dalam hal ini kita semua harus aktif dan jangan pasif. Jika ada hal-hal yang mencurigakan untuk segera melaporkan dan tidak bisa kita hanya dengan imbauan-imbauan, tapi kita harus bertarung memperjuangkan Pancasila dengan tegas,” ujar Maruarar Sirait, yang juga putra tokoh politik nasional Sabam Sirait di ujung telepon menyudahi wawancaranya dengan Majalah NARWASTU. BTY