Memperbincangkan Nasionalisme di Radio

88
Sugeng Teguh Santoso, S.H. (tengah), Muhammaad Karim (kanan) siaran di Radio RPK.

Narwastu.id – Beberapa waktu lalu, hari Senin, 12 Agustus 2019, ada hal menarik di acara Social Phenomena, Siaran kerjasama RPK FM  dengan Pewarna di setiap hari Senin pukul 9.00 Wib sampai pukul 10.00 Wib. Pada siaran kali itu membahas tema Apa Kabar Nasionalisme? Narasumber dalam perbincangan di siaran itu, Sugeng Teguh Santoso SH, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) bersama Muhamad Karim seorang dosen dan penulis. Acara dipandu Hojot Marluga.

Dalam bincang-bincang pada siaran itu terresume bahwa bahwa bukti nasionalisme ada karena ada kesadaran dan kebanggaan sebagai rakyat Indonesia. Sugeng sendiri sebagai seorang Kristiani, jemaat GPIB Sion, menyebut nasionalisme itu harus terus ditumbuhkembangkan dengan memperjuangkan hak-hak setiap warga negera, termasuk mereka kelompok minoritas yang mendapat dikriminalisasi. Anutannya itu dibuktikannya sebagai pengacara Sugeng aktif memberi bantuan hukum pada kelompok-kelompok minoritas seperti Aliran Syiah. Itu sebabnya tak tendeng aling-aling pernah menggugat Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto oleh karena mengeluarkan surat edaran pelarangan Asyura. Hari Asyura sendiri adalah hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam.

Ketua Yayasan Satu Keadilan dalam siaran itu juga menyebut, kebebasan beragama dan berpendapat dan berekspresi harus dijamin negara. Agar tumbuh rasa cinta bagi sesama anak bangsa. “Rasa nasionalisme itu harus kita tumbuhkembangkan dan rasakan bahwa di bangsa ini masih banyak kelompok yang belum merasakan keadilan. Indonesia itu luas iya. Jangan kita hanya lihat pulau Jawa. Mari juga kita lihat sampai ke perbatasan-perbatasan hingga ke pulau-pulau terluar di ujung Indonesia. Kalau kita hanya lihat hanya di Jakarta barangkali kita hanya melihat hanya sebagian saja yang mengalami kemiskinan. Tetapi, kalau kita sampai ke wilayah-wilayah pedalaman masih sungguh banyak yang mengalami kemiskinan.

Jadi, menurutnya, jika bicara nasionalisme harus dipandang luwes, bagaimana menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa. Karenanya pemerintah melindungi kaum yang dikriminalisasi, bukan demi hanya keamanan aparat melarang kaum minoritas. “Jadi bukan hanya kaum mayoritas yang didengar pendapatnya, tetapi juga kaum minoritas pun. Kelompok mayoritas sudah pasti diperhatikan oleh pemerintah. Tetapi kelompok minoritas juga tak boleh diabaikan,” ujarnya.

Sugeng menambahkan, yang kecil harus dilindungi. “Lingdungilah kelompok-kelompok minoritas. Kelompok mayorits pasti akan mendapat haknya. Jadi jangan katakan bahwa kelompok mayoritas dizolimi. Tidak, dan tak mungkin. Yang perlu diperhatikan adalah kelompok yang minoritas, hak-hak mereka tak terzolimi. Demokrasi harus dirawat, tetapi demokrasi juga harus dibersihkan dari orang-orang yang merusak demokrasi. Dari para politisi yang merusak demokrasi,” tambahnya.

Sementara Muhamad Karim menambahkan, kita mesti bangga sebagai bangsa, ada 760 suku di Indonesia. Afganistas itu hanya 7 etnik tetapi sampai sekarang perang saudara. Karena apa itu? Tentu karena Pancasila, kata Karim. “Rasa nasionalisme itu tumbuh subur di kalangan kaum jelata. Saya pernah ke perbatasan di Philipina dekat Talaud, di sana banyak Indonesia menjadi pejabat, tetapi mereka tak pernah hilang rasa cintanya pada Indonesia. Mereka mengatakan, walau kurang diperhatikan hati dan pikiran mereka pada Indonesia,” ujar dosen Universitas Trilogi dan penulis di beberapa media nasional ini. (HM)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here