Narwastu.id – Orang yang tidak berdoa ketika matahari terbit, tidak tahu bagaimana cara berdoa ketika awan gelap muncul. Saya senang merenungkan kalimat bijak di atas! Mengapa? Karena pesannya sangat tajam. Dahulukan berdoa dari apapun juga, saat bangun pagi. Dahulukan Tuhan. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Ya, doa adalah nafas kehidupan rohani setiap orang yang percaya pada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Tanpa doa, kita akan mati (rohaninya).
Walau fisik hebat dan kuat, tanpa doa, lama-kelamaan hancur juga. Nah, saya rindu membagikan kesaksian hidup saya (dari sekian banyak yang ada) tentang doa yang begitu sangat dalam tercatat di hati saya. Pertama, pada pertengahan tahun 1985, saat saya baru pertama kali merasakan sebagai sarjana (S1) tentulah ada kebanggaan luar biasa di dada. Apalagi saya orang kampung kelahiran Sibolga, Tapanuli Tengah, yang merantau ke Jakarta sejak usia 9 tahun dan “berani” berpisah dengan kedua orang tua saya untuk bergabung di rumah abang tertua saya di Jakarta.
Duhhh…bangganya menjadi sarjana! Dengan semangat “kebanggaan” itu, maka ketika saya merasakan gaji saya tidak sesuai dengan “kebanggaan” itu, saat saya baru setahunan bekerja di sebuah radio rohani di Jakarta, diam-diam saya bertekad mencari peluang yang lebih enak. Saya dapatkan peluang itu. Majalah Tempo yang sangat tersohor pada waktu itu, karena keberaniannya mengkritik rezim Orde Baru, membuka peluang (lamaran) untuk menjadi seorang editor. Hanya satu orang yang dibutuhkan untuk jadi editor.
Nah, kesempatan emas itu tidak saya sia-siakan. Mengapa takut? Saya lulusan bahasa dan sastra dari IKIP Jakarta, sudah sejak tingkat satu di kampus “mainan” saya adalah buletin/majalah di level kelas, jurusan, fakultas, dan institut. Ditambah pula saya rutin mengirim artikel sastra ke koran Terbit untuk menambah-nambah biaya hidup plus sudah menyentuh jurnalistik radio pula. Maka majulah saya mengikuti tes yang diselenggarakan Tempo itu. Yang dites 10 orang dari kampus-kampus universitas yang ternama pula, saya masih ingat persis itu.
Salah satu tesnya adalah “membenahi” artikel/tulisan yang “amburadul” bahasanya. Dan, akhirnya sayalah yang lulus. Semakin merasa hebatlah saya. Majalah Tempo! Dan tinggal menunggu hari Senin untuk mulai bekerja sebagai editor junior di kantor media cetak itu, di kawasan Kuningan, Jakarta. Dan bersiap-siap pula untuk begadang pada hari-hari mendekati majalah naik cetak.
Pada masa beberapa hari menunggu saatnya bekerja di Tempo, saya pun tetap aktif bekerja di kantor radio rohani tersebut (saat itu saya masih berstatus karyawan honorer). Dan sudah bersiap-siap mengirimkan surat pengunduran diri secara mendadak. Namun, aneh, di hari-hari itu, saya merasakan kegelisahan hati yang luar biasa. Ya, benar saya telah lulus ujian tes masuk ke Tempo, dan akan mendapat gaji dua kali lipat dari gaji di kantor radio tersebut. Bahkan nama saya pun akan “bergengsi” sebagai jurnalis Tempo. Tetapi mengapa hati saya gelisah sekali? Padahal saya sudah berdoa untuk semua ini. Namun, hati tidak sejahtera. Saya pun sulit tidur pada hari Minggu malam menjelang kerja pertama di hari Senin. Ada suara di hati saya untuk tidak meneruskan kesempatan emas nan indah di Tempo itu. Suara di hati itu sangat keras dan membuat saya “kacau”. Suara tersebut mengingatkan saya untuk tidak meninggalkan radio rohani itu!
Akhirnya, karena tidak tahan lagi, pagi-pagi sekali (tanpa memakai baju rapih untuk ke kantor) saya pergi ke kotak telepon umum dekat rumah. Di ruang telepon umum itu saya berdoa sekali lagi untuk minta penguatan dariNya, agar saya berani berbicara dengan bagian personalia Tempo. Dan, dengan tuntunan Roh Kudus, saya beranikan mengakhiri pembicaraan itu dengan kalimat, “…Baiklah, Bu, saya minta maaf…saya tidak jadi bekerja di Tempo….karena saya masih ingin bekerja di radio…” Ya! Sebuah keputusan yang berat harus diambil namun membuat hati saya lega dan ringan, sekalipun untuk beberapa saat ke depan sesekali muncul penyesalan.
Tetapi, Tuhan Yesus sangat baik, pada pertengahan tahun 1990-an saya selamat dari peristiwa “ditutupnya” Tempo oleh rezim Orde Baru. Dan saya pun akhirnya berkarier di radio rohani itu, sehingga saya sekarang menjadi apa adanya seperti saat ini. Puji Tuhan. Ternyata berani berdoa maka harus pula berani bertindak dengan iman. Dan hati kita pun harus peka terhadap ketidakdamaisejahteraan yang muncul.
Kedua, ini pun tentang kuasa doa yang kita panjatkan padaNya. Ini terjadi tahun 2015. Ya. Saya sudah trauma masuk rumah sakit karena pernah opname/tindakan masuk ke kamar operasi untuk mengeluarkan batu ginjal dari tubuh saya. Waktu itu, tahun 2011 saya harus menginap di rumah sakit selama 10 hari. Bersyukurnya saya karena batu ginjal itu, yang sudah bercokol di saluran kemih, hanya menggunakan cara endoskopi untuk mengeluarkannya. Dipecahkan di dalam, satu persatu serpihannya dikeluarkan melalui kateter yang saya pakai. Tetap saya dibius, dan baru sadar setelah dua setengah jam.
Nah, peristiwa ini “menakutkan” saya. Maka ketika tahun 2015 saya rasakan ada gejala tidak beres lagi, betapa pucat muka saya. Pagi itu saya menemani seorang pendeta dalam pelayanan khotbahnya. Tiba di lokasi khotbah, saya pergi ke WC untuk buang air kecil. Namun, aduh…saya merasakan sakit sekali di bagian bawah perut, untuk beberapa saat, ketika saya dalam proses mengeluarkan air seni. Pucat dan ketakutan saya. Ini kemungkinan tanda akan keluarnya batukah?
Sore harinya usai pelayanan tersebut, saat saya hendak turun dari mobil bapak pendeta itu, saya minta beliau mendoakan saya di dalam mobil. Lalu saya pun turun dari mobil dan bergegas pulang ke rumah karena sudah kebelet lagi. Setiba di kamar, saya panggil saudara saya untuk menunggui saya di dekat pintu kamar mandi, berjaga-jaga kalau saya terjatuh menahan sakit luar biasa. Tetapi akhirnya, saya kuat berdiri, namun saya rasakan masih ada yang mengganjal dan itu sakit sekali rasanya, sekalipun air seni bisa keluar sedikit. Saya pucat dan ketakutan sekali. Dan akhirnya, saya minta saudara saya itu meninggalkan saya di kamar sendirian. Biarlah, apa yang terjadi, terjadilah selanjutnya.
Saya lalu berbaring di tempat tidur. Saya berdoa. Saya memuji Tuhan sembari menumpangkan tangan saya ke bagian bawah perut. Salah satu isi doa saya adalah: Tuhan saya tidak mau masuk rumah sakit lagi dan sembuhkanlah saya, ya…Tuhan agar nanti malam saya bisa melayani-Mu di acara siaran jam 11 malam. Dan, ketika saya rasakan kebelet lagi, dengan perlahan saya bangkit dari tempat tidur. Saya berjalan ke kamar mandi sembari terus berdoa dan memuji Tuhan.
Lalu, akhirnya keluarlah air seni saya dengan lancar dan tiba-tiba terdengar bunyi “tuuuupp” diikuti bunyi benda jatuh ke lantai kamar mandi. Muncul kelegaan luar biasa di tubuh bawah perut saya! Lalu saya tersadar, ternyata ada batu kecil yang telah keluar bersamaan dengan saya mengeluarkan air seni! Saya cari dan dapatkan batu itu: seukuran biji semangka tapi “gemuk” dan kasar bagian luarnya seperti batu karang kecil. Sampai sekarang masih saya simpan. Terima kasih Tuhan Yesus! Tidak ada setetes darah pun yang keluar! Doa-doa saya dan bapak pendeta itu telah dijawabNya. Sehingga malam itu, ketika bersiaran, saya pun bersaksi di depan mikrofon! Amsal 15:29, “TUHAN itu jauh dari pada orang fasik, tetapi doa orang benar didengarNya.”
- Penulis adalah konsultan radio, dosen, dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan dan media.