Narwastu.id – Jikalau ditelisik lebih dalam tentang agama, yang dalam bahasa Sansekerta agama diartikan: tak kacau balau. Intinya agama ada untuk menuntun pada kebaikan. Mengarahkan agar tak kacau balau. Tetapi, kalau dilirik di kekinian kita, agama kerap dipolitisasi, membawa kegaduhan. Semestinya agama menjadi prinsip, pembawa pada keadaan yang damai. Membawa kebaikan, yang di dalamnya membawa seseorang makin dekat pada Tuhan.
Alih-alih agama secara yuridis berfungsi menyuruh, mengajak dan melarang yang harus dipatuhi agar pribadi penganutnya menjadi baik dan benar, dan terbiasa dengan yang baik dan yang benar. Kepekaan spiritualitas ini juga mendorong seseorang untuk tak berdiam menyaksikan kebatilan. Maknaya, kesalehan sosial itu harus diperlihatkan dalam pelayanan interaksi sosial. Senyatanya agama menjadi barometer dalam membangun watak, kepribadian.
Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku. Menghidupi dan membumikan spirit, di sinilah peran dari pribadi yang tangguh itu sangat potensial dalam menyiapkan semangat pembaharu. Pribadi yang memahami hakikat Tuhan dalam dirinya. Tumbuh dari mana? Dari kesehariannya yang intens, cukup banyak waktu untuk berinteraksi dengan berdevotion. Menyalakan saklar keilahian.
Hanya saja pergumulan di masyarakat kita mengakui beragama di bibir, tetapi dalam lakonnya tak terlihat adanya sifat Tuhan. Bahkan, tatkala kita di ujung pergumulan, kita kerap bertanya adakah Tuhan? Malah pemahaman kita tentang Tuhan sebatas perasaaan, tak sampai ke sumbu iman. Tak sampai memuncak pada nalar yang menembus iman. Filsuf Louis O. Kattsoff mengatakan, perbudakan akal jauh lebih menyedihkan daripada perbudakan raga. Kenyataan memang kita kerap diperbudak akal kita, dikurung oleh dogma yang kita buat sendiri. Kita merasa memahami Tuhan oleh karena kita merasa orang baik. Intinya agama membawa pada kebaikan, setelah memahami Tuhan.
Sikap Musafir
Tuhan tentu tak terbahas logika. Akal kita tentu harus dibantu dengan iman. Jadi, pertanyaannya adakah Tuhan? Jelas Tuhan ada. Tuhan ada bukan karena kita akui Dia ada. Tuhan tetap ada walaupun kita tak akui Dia Tuhan. Pengakuan kita tentang Tuhan tak bergeming membuat absolut atau martabat Tuhan menjadi lebih terhormat oleh pengakuan kita! Ke-Tuhan-anNya tak tergantung logika dan nalar manusia. Thomas Aquinas, filsuf dan juga teolog barangkali menolong kita memahami Tuhan.
Dia orang yang berani mensintesis filsafat Aristoteles ke ajaran Kristen. Menurut Aquinas, eksistensi Tuhan tak bisa diketahui oleh akal, dan hanya dapat diketahui oleh iman. Namun, menurut Aquinas, eksistensi Tuhan dapat diketahui oleh akal. Hal itu bisa terlihat dari alam yang dinamis bergerak. Setiap yang bergerak pasti digerakkan oleh karena ada penggerak. Tak mungkin sesuatu bergerak jikalau tak ada penyebab. Penyebabnya itu tidak mungkin ada pada dirinya sendiri.
Kita saksikan sendiri seluruh yang terjadi di alam ini bergerak dinamis, pastilah ada penggerak. Penggerak yang tak digerakkan. Itulah Tuhan. Maka sikap kita juga menjadi spiritualitas yang membentuk sikap-sikap produktif. Kesadaran beragama yang meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhan-an, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan. Ada proeksistensi.
Prof. S. Wismoady Wahono menyebut, proeksistensi merupakan semangat untuk hidup bersama secara dinamis dan harmonis di tengah-tengah kemajemukan dan berbagai perbedaan yang ada di masyarakat kita. Pemikirannya itu kemudian diterbitkan BPK Gunung Mulia. Hal itu sebagai alternatif dialog untuk menjaga kelestarian hidup bersama di antara masyarakat majemuk Indonesia. “Kita tak menghendaki kehancuran kehidupan, melainkan kelestarian, dinamika dan harmoni kehidupan.” Lagi-lagi semangat yang baik itu kembali pada diri sendiri. Dengan apa? Melalui devotion pribadi, hubungan pribadi yang intim tadi. Kekuatan spiritualitas dibangun dengan hubungan pribadi, bukan dengan seremonial.
Karena itu perlu berjiwa dan bersikap musafir. Menjadi musafir tak sekadar nomaden, pengembara. Musafir makna spiritual. Sadar bahwa perjalanannya panjang, terus merasa miskin hubungannya dengan Tuhan. Esensinya memahami keilahian, menjalankan ketaatan, sadar butuh keintiman itu. Berada di jalur kebenaran. Meninggalkan zona nyaman berjalan pada zona yang belum pasti. Maka menjalani proses itu, meninggalkan kekafiran kita. Kekafiran maksudnya, beragama tetapi tak tampak keilahian dari sifat kebenaran, pengembaraan mencari Tuhan.
Tentu, meninggalkan kekafiran seperti kita berjalan sendiri, terasing di lorong sepi. Oleh sebab umumnya yang dicari orang hanyalah yang tak abadi. Berkeadaan musafir taklah mudah, perlu kesabaran dan kebesaran hati untuk mencari keabadian. Menjalani hidup jujur, tak neko-neko. Maksudnya bukan berarti tak lagi punya hasrat, tetapi ambisinya terkendali. Musafir berarti sadar dunia ini tempat sementara. Kelak dunia akan ditinggalkan. Semua pencapaian, yang dimilikinya akan lenyap.
Bahkan, orang yang dikasihi, barang yang disenangi, tokoh yang dikagumi pada saatnya, nisbi adanya. Untuk sampai ke taraf ini perlu bersabar dan tak boleh menyerah untuk menggapai. Akhirnya, jangan menyerah. Tak menyerah, kata itu berdaging, menyemangati. “Jangan menyerah, bahkan seberat apapun problem yang dihadapi dalam membangun jiwa, jangan pernah menyerah.” Sama seperti adagium, kalimat yang disohorkan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill yang juga pernah berkata. “Never, never, never give up.” Jangan, jangan, jangan pernah menyerah.
Intinya dengan menghadapi kesulitan, kita makin diberi hikmat. Menyerah berarti tak memiliki pengharapan. Yang memiliki pengharapan pasti kuat spiritualitasnya. Sebaliknya, orang yang tak peduli spiritualitas, meremehkan, akan gampang putus asa. Sebaliknya, orang yang memiliki spiritualitas yang dalam, tak gampang tersulut emosi, tak mudah bertindak demoralisasi, apalagi bereaksi destruktif.
* Penulis adalah seorang jurnalis dan penulis buku.