Fenomena Media Kristen dan Wartawan Masa Kini

Oleh: Jonro I. Munthe, S.Sos

288

Narwastu.id – Pertama sekali saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Kementerian Agama RI, dalam hal ini Dirjen Bimas Kristen yang telah memberikan apresiasi dan kesempatan kepada saya untuk berbicara dalam acara “Konsultasi Pembinaan Pengelola Media Kristen Se-Indonesia” bersama para jurnalis senior dan tokoh-tokoh media Kristen, dalam seminar kali ini.

Dalam kesempatan yang berbahagia ini, sesuai dengan topik yang disampaikan panitia “Fenomena Media Kristen dan Wartawan Masa Kini” saya mau menyampaikan bahwa peran media (pers) saat ini di tengah masyarakat amatlah signifikan. Bahkan, media kerap disebut kekuatan atau pilar keempat di sebuah negara demokrasi setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif (pers, media sosial dan lembaga survei).

Hanya saja hadirnya media sosial (Face Book, Instagram, Twitter, Youtube, WA dll) di tengah masyarakat kita, telah berpengaruh besar pada eksistensi media massa, termasuk media massa Kristen. Ada sejumlah media massa (cetak) Kristen, baik majalah, tabloid maupun koran mingguan yang kemudian tutup (karena tergilas oleh fenomena medsos. Lantaran banyak anak-anak muda, seperti kaum milenial yang memilih menyimak berita-berita di Medsos atau media online daripada di media massa mainstream (arus utama). Di sisi lain, akibat gampangnya mengakses medsos saat ini, iklan-iklan yang tadinya bisa diraup media cetak, kemudian berpindah atau muncul di medsos.

Fenomena ini yang kemudian membuat banyak media cetak Kristen, baik majalah, tabloid maupun koran atau buletin beralih ke digital atau menjadi media online. Bahkan, pada Desember 2015 lalu, harian sekaliber “Sinar Harapan” yang kita banggakan harus tutup, karena kabarnya bermasalah dalam hal pendanaan yang cukup besar. Dan hanya sedikit atau bisa dihitung dengan jari media massa cetak Kristen yang eksis hingga saat ini. Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa informasi atau berita yang muncul di medsos sering tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenaran atau keakuratan beritanya. Dan sering sumber berita tidak jelas. Pasalnya, berita-berita tersebut bisa diubah atau diedit sedemikian rupa, karena begitu mudahnya dicopy paste atau diteruskan dari satu medsos ke medsos lainnya. Sehingga berita di media massa tetap masih lebih dipercaya nilai dan kebenarannya.

Dan media massa hingga saat ini tetap dipercaya sebagai sumber informasi yang terpercaya. Dan andai saja berita dalam sebuah media massa itu tidak benar atau tidak akurat, bisa dimintai pertanggungjawaban dari pihak redaksinya, karena alamat redaksinya jelas berikut nomor kontak kantornya tercantum di boks redaksinya.

Ada pendapat sejumlah kalangan, “Siapa yang bisa menguasai ekonomi, partai politik, hukum dan media massa, maka ia akan menguasai sebuah negara.” Jadi peran pers di tengah kehidupan masyarakat dan negara ini, amatlah penting.  Bahkan pers selain berfungsi memberi pencerdasan pada masyarakat dan memberi informasi, juga mampu berperan mengubah kebijakan-kebijakan penguasa dengan fungsi kontrolnya.

Dan hal itu telah kita saksikan ketika pers bisa ikut “menggulingkan” penguasa Orde Baru pada awal 1998 silam, lewat opini-opini publik atau tajuk rencananya, yang bermuara pada lahirnya era reformasi. Lantaran begitu dahsyatnya peran pers, pada 2012 lalu Menkopolhukam RI, Joko Soeyanto seperti dikutip harian nasional “Suara Pembaruan” menyebut, “Media massa bisa menyulap orang jahat menjadi orang yang mirip malaikat…Dan membuat orang baik seperti penjahat…”

Demikian juga ketika muncul kebijakan-kebijakan politik dari penguasa yang kontra-rakyat, pers bisa mempengaruhi kebijakan penguasa, sehingga rakyat tertolong. Dan sering pula muncul pendapat, bahwa kalau wartawan atau jurnalis di sebuah negara atau bangsa cerdas, maka masyarakatnya pun akan cerdas. Karena masyarakat yang senantiasa mengkonsumsi media yang berkualitas pasti akan membentuk masyarakatnya pun cerdas.

Mengutip pendapat pakar komunikasi dan wartawan senior Prof. DR. Willy A. Karamoy (Alm.) yang juga pendiri Persekutuan Oikoumene Jurnalis Kristiani Indonesia (PROJUSTISIA) secara umum pers atau media punya enam fungsi, yaitu: (1) memberi informasi pada khalayak (2) memberi hiburan (3) sebagai media untuk menyampaikan gagasan (4) sebagai pengontrol sosial (5) memberi nilai-nilai pendidikan, dan (6) mempersatukan masyarakat.

Dalam pandangan Prof. Willy Karamoy, sejak dahulu kala pun kita sudah memiliki jurnalis-jurnalis handal yang menyuarakan kabar baik, seperti di Perjanjian Baru, ada Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Ketika Yesus masih hidup, apa yang dilakukan Yesus mereka catat, sehingga sekarang tulisan-tulisan mereka diabadikan dalam bentuk Alkitab yang bisa dibaca jutaan orang hingga sekarang di berbagai penjuru dunia. Lantas pertanyaan kita: Wartawan (Jurnalis) yang bagaimana yang kita dambakan saat ini? Tentu kita membutuhkan wartawan Kristen yang berkarakter, punya jiwa kasih, selalu berupaya membangun nilai-nilai Kristiani di tengah masyarakat majemuk, Pancasilais, cinta NKRI dan memahami serta mematuhi Kode Etik Jurnalistik seperti yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Karena saya berkarya di media Kristiani, dalam hal ini saya persempit pembahasan saya: Bagaimana peran media atau wartawan Kristiani supaya ikut serta dalam membangun nilai-nilai Kristiani di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Media-media Kristiani yang ada saat ini, seperti Majalah Bahana, Majalah NARWASTU, Majalah Berita Oikoumene, Majalah Gaharu, Majalah Bentara, Majalah Journey, Majalah Penyuluh, Majalah Suara HKBP, Majalah Charisma, Majalah Hidup, tabloid Victorious, tabloid Pentakosta Pos, tabloid Reformata, tabloid Gloria, tabloid Keluarga, dan tabloid Mitra Indonesia dsb, saya cermati kiprahnya selama ini, boleh dibilang media-media Kristiani itu berjuang untuk sebuah nilai.

Entah itu nilai perdamaian, kerukunan, kasih (kepedulian), keadilan, kebersamaan, keadilan dan kebenaran, serta menyuarakan Injil yang notabene merupakan nilai-nilai Kristiani yang diajarkan Yesus Kristus. Ketika terjadi misalnya, penutupan atau pembakaran sebuah tempat ibadah (gedung gereja) kebanyakan media Kristiani menunjukkan kepedulian untuk memberitakannya dan membentuk opini publik agar diketahui masyarakat. Atau saat terjadi aksi radikalisme atau terorisme, persekusi atau muncul berita hoax di medsos, ada kepedulian media Kristen untuk menyikapinya agar publik mendapatkan informasi yang baik dan patut dipercaya.

Di sini terasa nyata peran media Kristiani untuk mempublikasikannya agar diketahui banyak orang. Demikian juga ketika terjadi diskriminasi dan aksi anarkisme dari sekelompok massa terhadap kelompok  Ahmadiyah, media-media Kristiani juga peduli mempublikasikannya sekalipun Ahmadiyah merupakan komunitas non-Kristiani. Di sini kembali nyata fungsi media membela komunitas yang termarginal. Demikian juga ketika terjadi bencana alam, baik tsunami, gempa bumi, banjir atau kebakaran, tidak jarang media-media Kristiani memberitakannya, sekalipun korbannya bukan masyarakat Kristiani. Di sini yang kita lihat ada kepedulian pekerja media menunjukkan simpatinya. Bahkan, tak jarang pula media-media Kristiani menjadi mediator antara “orang yang ingin menyalurkan bantuan kemanusiaan” dengan “orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan.” Dan, biasanya ini terlihat ketika terjadi sebuah bencana alam.

Dalam bidang sosial, politik dan kemasyarakatan, media Kristiani selain memberitakan kegiatan-kegiatan yang ada di tengah masyarakat dan politik, tak jarang pula media Kristiani menjalankan fungsi kontrolnya. Hal itu pernah terlihat ketika seorang politisi Kristen yang diduga amoral, akhirnya mundur dari jabatan politiknya setelah “dihantam” sebuah media Kristiani lewat pemberitaannya. Begitu pula saat terjadi dugaan korupsi yang dilakukan sebuah lembaga atau oknum tertentu, media Kristiani tak jarang melakukan kontrol sosialnya atau mengkritisi persoalan korupsi tersebut.

Di tengah sinode-sinode di Indonesia (yang lebih dari 300 sinode di Indonesia), media Kristiani pun selama ini bisa “mempersatukan” gereja-gereja yang berasal dari berbagai aliran maupun suku yang berbeda dalam sebuah acara atau kegiatan rohani. Hal tersebut bisa kita lihat bila ada acara ibadah yang diadakan sebuah media Kristiani, dalam hal ini media bisa menjadi pemersatu para tokoh-tokoh gereja yang berasal dari berbagai suku atau daerah.

Dengan demikian, pada dasarnya peran media Kristiani, yang notabene pendistribusiannya lebih banyak beredar di kalangan jemaat atau warga gereja, tidak jauh berbeda dengan peran media-media umum yang sudah menasional. Akhirnya, saya sampaikan kiranya tulisan yang singkat dan sederhana ini bermanfaat bagi kita semua. Syalom dan salam pers Kristiani.

* Penulis adalah Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah NARWASTU. Salah satu pendiri dan anggota PERWAMKI (Persekutuan Wartawan Media Kristiani Indonesia). Disampaikan dalam acara “Konsultasi Pembinaan Pengelola Media Kristen Se-Indonesia” pada 25-27 November 2019 lalu di Hotel Salak, Bogor, Jawa Barat.   

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here