Saat kita masih diberi kesempatan untuk berjuang, maka sebaiknya kita terus untuk memberi yang terbaik bagi Tuhan. Hal itulah yang dijalani Pdt. Dr. Ir. Douglas Manurung, MBA, M.Si (51 tahun) dalam menjalani hari-harinya. Ia seorang hamba Tuhan sekaligus profesional, yang memimpin perusahaan PT. Godang Tua Jaya, dan jabatannya sebagai direktur. Baginya, melayani Tuhan itu tak boleh didikotomikan, melayani di gereja dan bekerja di konvensional.
“Semua pekerjaan itu pelayanan untuk Tuhan. Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Tidak ada pelayanan rohani dan nonrohani,” katanya. “Paulus punya talenta membuat tenda sembari menginjili. Apa yang kita kerjakan saat ini, maka bekerjalah seperti untuk Tuhan,” ujar Gembala Sidang di Gereja Pentakosta Indonesia (GPI) Kota Wisata, Cibubur, Jakarta ini. Ia menemukan panggilan hidupnya sebagai pendeta dan profesional. Ia mengikuti jejak bapaknya sebagai pendeta dan guru.
Sudah tentu itu butuh ekstra kerja keras dan mengasah diri terus-menerus, menjadi manusia pembelajar, dinamis bertumbuh untuk memberi yang terbaik bagi Tuhan. Baginya, melayani Tuhan harus semaksimal mungkin sesuai dengan talenta yang diberiNya. Itu sebabnya, sebagai gembala sidang dan Direktur PT Godang Tua Jaya, ia bekerja maksimal. Dan di tengah kesibukannya masih terus menambah ilmu.
Tahun 2016 lalu, ia menyelesaikan studi S3. Dalam sidang terbuka disertasi doktornya di Institut Pertanian Bogor (IPB Bogor), di hadapan dosen penguji yang saat itu dipimpin Prof. Dr. Cecep Kusmana mewakili Rektor IPB dan komisi pembimbing Prof. Dr. Bintoro Djoefrie, Dr. Setia Hadi, Dr. Iskandar Lubis serta penguji Dr. Widiatmaka dan Dr. Boedi Andari, ia dengan lugas menjawab seluruh pertanyaan yang disampaikan.
Alhasil ia menyandang gelar doktor bidang ilmu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 29 Desember 1967 ini mengikuti pendidikan SD sampai SMA di Pematang Siantar. Begitu lulus dari SMA Negeri 2 Pematang Siantar ia diterima kuliah di Institut Pertanian Bogor. Kemudian master dan doktor diselesaikannya di IPB Bogor.
Ia anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Pdt. Jamiat Manurung dan ibu Bertha Rajagukguk. Ia suami dari Ernika Tiurmauli boru Sitorus dan bapak dari tiga putra, Stephen Boas Bimawandi Manurung, lahir di Jakarta, 8 Juni 1998 kuliah di Manajemen Sumber Daya Perairan IPB Bogor. Anak kedua, Patrick Marcelino Manurung, lahir di Jakarta 27 Maret 2002, saat ini kelas 2 SMA Negeri 2 Bekasi. Dan anak ketiga, Felipe Carlito Manurung, lahir Jakarta 20 Januari 2004, kelas 3 SMPK Penabur, Kota Wisata, Cibubur.
Soal semangat belajar itu juga diteladaninya dari bapaknya J. Manurung. Bapaknya di usia 77 tahun masih antusias kuliah S3 di bidang teologi. “Saya bangga dengan bapak saya masih belajar walau sudah tua,” ujarnya. Dalam menggeluti pekerjaan, disadarinya itu semua ruang melayani Tuhan. Karena itu, ia bekerja dengan totalitas. Tak heran ia harus memberi waktu untuk melayani jemaat yang digembalakannya. Melayani sembari mengelola perusahaan, bahkan ia sering ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Itu mesti dengan penuh disiplin digeluti.
Disiplin adalah kata kunci etos sukses Douglas. Baginya, untuk sukses perlu disiplin, dan berserah penuh pada Tuhan. “Disiplin membawa kita pada ketelatenan dan kesabaran,” cetusnya. Sebagai profesional dan hamba Tuhan, dia yakin betul ada tangan yang tak terlihat membimbing, yaitu tangan Tuhan untuk memberkati orang yang berusaha dan giat.
“Bagiku, pekerjaan itu membutuhkan perencanaan matang, kesungguhan melaksanakan, evaluasi dan monitoring yang teliti serta menikmati pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan tahap akhir pembangunan jalan tol Salatiga-Surakarta. In HIS hands,” demikian status FB-nya ketika baru saja meninjau proyek pembangunan tol Salatiga-Surakarta, kala itu perusahaannya ikut terlibat membangunnya. Baginya, hidup adalah perjuangan dan pengabdian, serta melayani di gerejaNya. Maka setiap kesuksesan pasti dihasilkan oleh perjuangan, walaupun tidak semua perjuangan berhasil. Baginya, berjuang dan berdoa harus dilakonkan beriringan.
Sebagai orang yang memahami bahwa keberhasilan diri sudah tentu ada peran dari orang lain, maka ia selalu menjaga hubungan baik dengan relasi pada semua orang, terutama orang-orang yang pernah bermitra dengannya. Dia pun selalu telaten menjaga persahabatan walau ada perbedaan. “Persahabatan itu indah. Persahabatan itu bagai kepompong, sebagaimana lirik lagu Sindentosca. Persahabatan itu lintas suku, lintas ras, lintas apapun itu. Sudah tentu ada perbedaan, tetapi perbedaan tak boleh merusak persahabatan. Perbedaan itu dinamis, membuat kita bergerak. Perbedaan tidak membuat kita membenci, justru harus saling memberi,” cetusnya.
Sebagai orang yang memahami panggilannya dia tak pernah mengenal lelah. Tapi ia senantiasa antusias melayani. Hidup, baginya, adalah kesempatan yang diberi Tuhan. Karena itu, meski sudah seharian lelah bekerja, sesampainya di rumah pun, apa yang masih bisa diselesaikan dia tuntaskan segera. Tentu, untuk semua aktivitasnya yang membutuhkan pikiran tenang dan fisik yang fit ia terus melatih diri untuk berserah kepada Tuhan. Ia selalu bersaat teduh dan selalu ceria menjalani hari-hari hidupnya. Untuk hal itu ia punya pendapat, “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang. Tetap semangat,” ujarnya mengutip ayat Alkitab.
Hingga kini bejibun tugas masih dipercayakan kepadanya, termasuk mengurusi organisasi GPI. Saat dirinya dipercayakan oleh Ketua GPI Rev. DR. H.M. Siburian untuk menjadi Ketua Panitia Jambore Nasional untuk tahun 2018 di Samosir, Sumatera Utara, dengan hati yang ikhlas dia menerima tanggung jawab besar tersebut. Maka ketika sudah dibentuk pengurus ia langsung mensurvei lokasi jambore nasional itu, dan berkoordinasi dengan semua panitia. Ia pun menjumpai para pejabat termasuk para pembicara. Itu semua dilakoninya sebagai kesadaran melayani Tuhan.