Narwastu.id – Cukup menarik menyimak tulisan teolog dan mantan Sekretaris Umum PGI, Pdt. Dr. Richard Daulay di Suara Pembaruan (22 Februari 2014). Tulisan berjudul Mengapa Bencana Melanda Negeri Ini memaparkan, bangsa ini seakan tidak pernah berhenti dirundung bencana. Kebakaran hutan, erupsi Gunung Sinabung, mengakibatkan masyarakat mengungsi terkatung-katung, menangis dan berkabung. Jakarta, Manado dan kota-kota lain di Jawa, dilanda banjir. Sekarang Gunung Kelud meletus membuat derita warga bangsa seakan tak pernah putus.
Pada waktu yang sama Indonesia dirundung bencana buatan manusia. Korupsi juga bencana nasional, yang membuat rakyat menderita luar biasa. Anggaran negara yang seharusnya untuk kesejahteraan bersama, ditilep para maling penyelenggara negara: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Yang menderita akibat korupsi adalah warga negara yang hidup serba sederhana. Indonesia kini jadi “sarang penyamun”. Biar koruptor dihujat, mereka bergeming, seakan sudah imun. Kendati ratusan, bahkan ribuan pejabat yang sekaligus penjahat, sudah dilemparkan ke penjara, tapi praktik korupsi tetap merajalela. Yang paling parah adalah para pejabat yang sudah dihukum itu tetap bersikap seolah-olah tak bersalah.
Apa yang salah di bangsa ini. Saya teringat ucapan nabi yang berkata, “Baiklah dengar firman yang diucapkan Tuhan: Bangkitlah, lancarkanlah pengaduan di depan gunung-gunung, dan biarlah bukit-bukit mendengar suaramu! Dengarlah hai gunung-gunung pengaduan Tuhan, dan pasanglah telinga hai dasar-dasar bumi! Sebab Tuhan mempunyai pengaduan terhadap umatNya, dan Ia berperkara dengan Israel. UmatKu, apakah yang telah Kulakukan kepadamu? Dengan apakah engkau telah Kulelahkan? Jawablah Aku! Sebab Aku telah menuntun engkau keluar dari Mesir…” (Mikha 6:1-8).
Dalam kisah ini, Tuhan sedang marah kepada bangsaNya sendiri, lalu Tuhan sebagai pihak yang dikhianati membuat “pengaduan” kepada gunung-gunung, bukit-bukit dan dasar-dasar bumi. Tuhan berperkara dengan umatNya yang mengingkari kesepakatan bersama, bahwa mereka akan beribadah kepada Tuhan dengan segenap hati. Tuhan begitu baik dan setia menuntun mereka keluar dari perbudakan dan melindungi mereka dari musuh kanan dan kiri. Setelah umat tiba di negeri yang dijanjikan, yang penuh dengan susu dan madu, ternyata “panas hari lupa kacang akan kulitnya”, mereka tak tahu diri. Ibadah mereka dilakukan hanya ritual basa-basi.
Pergi ke bait Allah, membawa korban kambing domba, tapi hati mereka tidak turut serta. Ibadah seperti itu membuat Tuhan murka. Ibadah yang sejati adalah “berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup rendah hati”. Adil artinya pejabat negara tak boleh merampok harta negara dan memperkaya diri sendiri. Mencintai kesetiaan artinya tidak lupa kepada Tuhan yang telah memberikan jabatan, amanah, dan panggilan, yang diterima dengan mengucapkan janji dan sumpah. Hidup dengan rendah hati artinya, tak menganggap jabatan dan kedudukan sebagai “milik” yang harus dipertahankan dengan segala cara.
Mengapa bencana melanda negeri ini? Jangan-jangan Tuhan murka. Bisa saja Tuhan sedang mengadu kepada gunung-gunung, bukit-bukit dan dasar-dasar bumi. Bukankah para pendiri negeri ini membuat ikrar di pembukaan UUD 1945, bahwa Indonesia ini merdeka “atas berkat rakhmat Allah Yang Maka Kuasa”, bukan dengan kekuatan senjata. Para pendiri bangsa juga sepakat bahwa Indonesia bukan negara agama, tapi negara Pancasila, yang mottonya “Bhinneka Tunggal Ika”.
Kini rakyat tak peduli lagi. Mereka mencari pemimpin yang bisa dipercayai. Dalam konteks ini kita melihat “fenomena Jokowi”, yang datang dengan sikap sederhana dan rendah hati. Berbeda dengan pejabat yang selama ini, yang asyik menumpuk harta. Mengapa bencana melanda negeri ini? Mari kita merenung dan introspeksi diri. Apakah Tuhan pencipta langit dan bumi, sedang mengadu ke Gunung Sinabung, Gunung Kelud dan anak Krakatau. Apakah Tuhan sedang mengadukan negeri ini kepada air, sehingga di mana-mana terjadi banjir. Hai para pemimpin negeri, berhentilah merampok negeri sendiri. “Kepada Presiden RI, serukanlah pertobatan kepada bangsa ini. Supaya Tuhan tak marah lagi, tapi supaya Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati bangsa ini,” tulis Pdt. Daulay.
Sekaitan dengan itu, sejumlah sinode, organisasi gerejawi, seperti Jaringan Doa Nasional dan Full Gospel Businesmen Fellowship International (FGBFI) pun giat mengadakan acara doa bagi negeri ini agar disertai Tuhan dan dijauhkan dari bencana. Didasarkan pada ayat dari Kitab 2 Tawarikh 7:14 berbunyi, “Dan umatKu, yang atasnya namaKu disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajahKu, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan dosa mereka” upaya organisasi gerejawi itu patut disambut positif, karena mengajak umat agar mendekatkan diri kepada Tuhan.
Menjelang Pemilu 2014 ini, justru yang sering kita lihat banyak elite politik mempertontonkan arogansi kekuasaan. Di sisi lain, banyak caleg, termasuk dari kaum Kristiani yang sibuk cari dukungan, termasuk dukungan doa agar ia terpilih jadi anggota dewan. Tak heran, kalau sekarang banyak aktivis gereja yang kebanjiran pesan pendek (SMS) dari banyak caleg yang meminta dukungan doa agar sukses di Pemilu Legislatif 2014.
Itulah yang disebut doa politik, karena si caleg meminta dukungan doa agar dia sukses berpolitik. Hanya saja kita berharap kepada para caleg, sekalipun mereka nanti tak lolos sebagai caleg, mereka sebaiknya tetap peduli pada persoalan gereja, masyarakat dan bangsa ini.
Pasalnya, banyak kini caleg hanya ramah, “baik hati” dan mendekat kepada gereja, hanya karena ingin dapat dukungan suara, tapi setelah itu kerap mereka lupa kepada pendukungnya. Dihubungi via telepon, SMS atau BBM banyak yang tak mau merespons. Karena itu, kita imbau agar para caleg Kristiani bersikap bijaksana. Mereka sebaiknya jangan hanya menaikkan doa politik saat akan tampil sebagai caleg, tapi perlu pula memanjatkan doa politik bagi para pemimpin bangsa agar jangan berjiwa korup, dan agar mereka bijaksana dan mencintai rakyat. Semoga. Jonro I. Munthe, S.Sos.