Narwastu.id – Pesta iman lima tahunan, yaitu Sidang Raya (SR) PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) ke-18 akan segera berlangsung pada 8 sampai 14 November 2024 di Rantepao, Toraja, Sulawesi Selatan, dengan tuan dan nyonya rumah Sinode Gereja Toraja. Persidangan akan dilaksanakan di Kompeks Kampus II UKI Toraja di Kakondongan Toraja Utara. SR PGI ke-18 mengusung tema “Hiduplah sebagai terang yang membuahkan kebaikan, keadilan dan kebenaran” (Band. Efesus 5:8b-9), dan subtema “Bersama-sama mewujudkan masyarakat majemuk yang Pancasilais dan berdamai dengan segenap ciptaan Allah.”
Selain pesta iman, sidang raya ini juga forum pengambilan keputusan tertinggi PGI. Sidang ini tidak hanya milik gereja tapi juga masyarakat. Seperti biasa, SR PGI akan didahului dengan Pertemuan Raya Pemuda Gereja (PRPG) dan Pertemuan Raya Perempuan (PRPrG) PGI pada 31 Oktober-3 November 2024 di Makale, Toraja, Sulawesi Selatan. Berbagai persiapan terus digenjot oleh panitia, baik sarana maupun pra-sarana pendukung. Mulai dari lokasi pembukaan, ruang persidangan, hingga penginapan seluruh peserta yang diperkirakan mencapai 1.000 orang itu.
Pembukaan SR PGI ke-18 akan dilaksanakan di lokasi objek wisata Kete Kesu (dieja Keʼteʼ Kesuʼ) yang merupakan sebuah desa wisata di kawasan Toraja Utara. Ini merupakan salah satu objek wisata yang cukup dikenal karena adat dan kehidupan tradisional masyarakat dapat ditemukan di kawasan ini.
Dalam kompleks Ke’te’ Kesu’ terdapat kuburan batu yang diperkirakan berusia 500 tahun lebih. Di dalam kubur batu yang disebut erong, yaitu menyerupai sampan atau perahu tersebut, tersimpan sisa-sisa tengkorak dan tulang manusia. Hampir semua kubur batu diletakkan menggantung di tebing atau gua. Selain itu, di beberapa tempat juga terlihat kuburan megah milik bangsawan yang telah meninggal dunia.
Awalnya Ke’te Kesu’ hanya bernama Kesu’, dan pada abad ke-16 tepatnya tahun 1683, nama Kesu’ berubah menjadi Ke’te Kesu’. Nama Ke’te Kesu’ mempunyai makna tersendiri dengan posisinya sebagai salah satu wilayah di dalam Kabupaten Toraja Utara, dan kata Ke’te’ yang berarti petik atau pegangan dan Kesu’ kependekan dari Kaesungan yang berarti tahta, kedudukan, singgasana. Jadi arti keseluruhan Ke’te Kesu’ adalah pemegang kekuasaan. Sebuah perkampungan dapat dikategorikan sebagai perkampungan adat apabila di dalam perkampungan itu terdapat komponen-komponen penting, antara lain tongkonan, lumbung, rante, liang, sawah, dan kombong.
Lokasi Ke’te’Kesu’
Ke’te’ Kesu’ terletak sekitar 4 km di bagian tenggara Kota Rantepao, Kete Kesu terdiri dari padang rumput dan persawahan yang mengelilingi rumah adat serta rumpun babi di bagian belakang menambah kesejukan dan keindahan panorama pedesaan. Sebagian rumah adat yang terletak di desa ini diperkirakan berumur sekitar 300 tahun dan letaknya berhadapan dengan lumbung padi kecil.
Tidak hanya terdiri dari 6 Tongkonan dan 12 lumbung padi, Kete Kesu juga memiliki tanah seremonial yang dihiasi oleh 20 lebih menhir. Di dalam salah satu Tongkonan terdapat museum yang berisi koleksi benda adat kuno Toraja, mulai dari ukiran, senjata tajam, keramik, patung, kain dari Cina, dan bendera merah putih yang konon disebutkan merupakan bendera pertama yang dikibarkan di Toraja.
Selain itu, di dalam museum ini terdapat pusat pelatihan pembuatan kerajinan dari bambu. Masyarakat yang hidup di desa ini umumnya memiliki keahlian sebagai pemahat, kerajinan bambu, anyaman dan pelukis, sehingga selain sebagai objek wisata, tempat ini juga dimanfaatkan untuk menjual berbagai pahatan dan suvernir tradisional Toraja. Dibuka dengan kultural Toraja. Pemilihan lokasi pembukaan di Ke’te’ Kesu’ merupakan sebuah pilihan untuk menggali dan mengaktualkan nilai-nilai kultural Toraja yang sejalan dengan pemahaman iman Kristen (teologia kontekstual) yang sarat dengan kearifan lokal yang perlu dipelihara dalam konteks kekristenan masa kini.
Selain itu, salah satu kegiatan yang akan dilaksanakan mendahului SR PGI adalah Ma’kombongan (bermusyawarah dalam konteks Toraja). Hal ini dimaksudkan untuk menggali pemikiran dalam kerangka bahan masukan untuk SR berdasarkan kearifan lokal masyarakat Toraja. Kini panitia tempat pembukaan sudah mulai membangun lantang (pondok) yang dibangun dari bambu sehingga semua itu akan memberi gambaran kepada peserta bahwa beginilah orang Toraja dalam melakukan kegiatan upacara atau acara besar kalau menghadirkan banyak orang. Adapun lokasi pembangunan pondok adalah lokasi sawah yang memang tidak ditanami padi, sebagai bentuk persembahan keluarga besar untuk acara pembukaan.
Tedong Tekken Langi, Ikon SR XVIII PGI. Tedong Tekken Langi’, salah satu simbol yang sangat dihormati dalam budaya Toraja, telah dipilih sebagai maskot Sidang Raya PGI ke-18 pada 2024. Keputusan ini memiliki latar belakang mendalam yang terkait dengan spiritualitas, budaya, dan nilai-nilai perdamaian yang sudah tertanam lama dalam masyarakat Toraja. Tedong, atau kerbau, adalah hewan yang sangat dihormati dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan ritual, sehingga kehadirannya sebagai maskot memberikan makna khusus bagi Sidang Raya PGI kali ini.
Tedong, dalam bahasa Toraja, berarti kerbau. Kerbau ini tidak hanya berfungsi sebagai hewan ternak dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga memiliki makna spiritual dan budaya yang sangat mendalam. Tedong Tekken Langi’, yang secara harafiah berarti “kerbau yang menyentuh langit,” adalah jenis kerbau yang unik karena memiliki tanduk yang tidak simetris—satu menjulang ke atas, dan satu lagi mengarah ke bawah. Ini melambangkan hubungan antara dunia manusia dan alam roh, serta antara manusia dan Sang Pencipta.
Dalam budaya Toraja, kerbau sering digunakan dalam berbagai ritual penting, termasuk upacara kematian, perkawinan, dan penyelesaian perselisihan. Tedong dipercaya sebagai kendaraan roh menuju alam baka, dan kehadirannya dalam upacara dianggap membawa perlindungan serta berkah bagi keluarga yang mengadakannya. Tedong Tekken Langi’ dipilih sebagai maskot Sidang Raya PGI ke-18 pasa 2024 bukan tanpa alasan. Pemilihan ini didasari oleh nilai-nilai simbolik yang dibawa oleh Tedong dalam budaya Toraja. Tedong Tekken Langi’ melambangkan relasi yang erat antara manusia dan roh leluhur, serta antara manusia dan Tuhan. Makna spiritual ini sejalan dengan tema Sidang Raya PGI ke-18, yang berfokus pada kebaikan, keadilan, dan kebenaran.
Sebagai maskot, Tedong Tekken Langi’ mengajak gereja-gereja di Indonesia untuk merenungkan peran mereka dalam menciptakan perdamaian, tidak hanya antara manusia, tetapi juga dengan Tuhan dan alam. Gereja diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan ajaran Kristus. KL