Dr. Harun Y. Natonis, S.Pd., M.Si. Cendekiawan Kristen dari NTT dan Rektor IAKN Kupang

74
Dr. Harun Y. Natonis, S.Pd., M.Si dididik orangtuanya sejak kecil dengan disiplin.

Narwastu.id – Pria kelahiran Nunleu, NTT (Nusa Tenggara Timur), 20 Juli 1970 ini adalah salah satu akademisi atau cendekiawan Kristen yang cukup dikenal di NTT. Dia bisa membangun IAKN (Institut Agama Kristen Negeri) Kupang dengan keterbatasan, hingga bisa berkembang saat ini. Dan banyak mahasiswa yang dididik di lembaga yang dipimpinnya ini agar dipersiapkan dengan iman tangguh dan ilmu yang tinggi. Keberhasilan Dr. Harun Y. Natonis, S.Pd, M.Si dalam kiprahnya di dunia pendidikan tak lepas dari dukungan keluarganya. Seperti dikutip dari media online Suara Harapan, ditulis tentang perjalanan hidup Harun Natonis berjudul “Buah Kerja Keras Kedua Orang Tua.” Diceritakan, kondisi keluarga yang serba sederhana tak membuat orang tua Dr. Harun Y. Natonis, Rektor Intstitut Agama Kristen Negeri Kupang, pasrah pada keadaan. Justru situasi itu membangkitkan tekad dalam hati bapak dan ibunya agar Harun dan saudara-saudaranya bisa mengenyam pendidikan sampai ke jenjang universitas. Karena bagi mereka, pendidikan adalah investasi terbaik bagi masa depan yang lebih baik.

Meskipun ayah Harun berprofesi sebagai guru SD, tetapi kehidupan ekonomi keluarganya tidak bisa dibilang berkecukupan. Karena dengan gaji yang tidak seberapa sebagai guru di SD GMIT Lunu, Desa Nunleu, Kecamatan Amanatun Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, ia harus menghidupi 13 orang anak, 12 anak kandung ditambah seorang anak angkat. Ditambah ia dan istrinya, total ada 15 orang dalam keluarga itu yang harus makan dan minum setiap hari. Belum lagi kebutuhan akan pakaian dan sebagainya. “Sejak SD, SMP, SMA, keadaan keluarga serba sulit. Makan minum dengan saudara yang begitu banyak tentu punya keterbatasan. Waktu SD pakaian hanya satu pasang yang selalu dipakai di badan,” kenang Harun.  “Kami hidup dalam segala keterbatasan, hanya bermodalkan penghasilan bapak. Susah lebih banyak dari senang. Mungkin karena situasi serba terbatas inilah bapak dan mama tidak ingin anak-anaknya kelak merasakan kesusahan yang sama,” ujar Harun.

Karena situasi serba terbatas itu membuat tekad kedua orang tua Harun tak pernah pudar. Semua anak-anak mereka harus sekolah. Tekad itu mengkristal dalam kerja keras untuk membiayai pendidikan mereka. Dan yang tak kalah penting adalah mendidik anak-anak mereka dengan kedisiplinan dan kerja keras. Disiplin bangun pagi setiap hari untuk ke sekolah, menempuh perjalanan 10 kilometer pulang pergi sekolah, dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. “Bapak dan mama tidak mau main-main soal pendidikan. Setiap hari harus bangun jam 5 pagi untuk siapkan diri ke sekolah. Kalau tidak bangun disiram dengan air. Bayangkan, di SoE kalau disiram dengan air dingin,” ujar Harun. Meski awalnya ia melihat kebiasaan untuk bangun pagi itu, termasuk ke sekolah dengan jarak tempuh yang cukup jauh, sebagai sebuah keterpaksaan tetapi lama kelamaan itu membentuk kebiasaan dan menjadi rutinitas yang harus mereka jalani agar bisa sukses.

Dan sekolah di zaman itu di wilayah terpencil SoE juga punya cerita sendiri yang sangat berkesan bagi Harun. Selain jarak 10 kilometer yang harus mereka tempuh setiap hari, zaman itu juga mereka sebagai anak-anak belum mendapatkan kemudahan untuk mencatat materi pelajaran dalam buku tulis.

“Zaman kami belum ada buku tulis, papan, pensil, dan lain-lain. Waktu itu kami pakai kapur alam yaitu tanah putih salah satu batu alam yang dipakai untuk tulis. Usai satu mata pelajaran harus dihapus karena akan digantikan dengan pelajaran lain,” kenangnya. “Jadi kalau tidak bisa menghafal maka pasti susah. Keadaan itulah yang membuat kami untuk mau tidak mau harus konsentrasi, memahami, dan menghafal materi pelajaran secara baik,” lanjutnya.

Untuk membantu kehidupan ekonomi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anak, ibu Harun ikut ambil bagian mencari tambahan penghasilan dengan bertani dan menenun, dan membuat hiasan seperti gelang, rantai, muti, dan sejenisnya. Terkadang ibunya harus rela mengutang demi membereskan biaya pendidikan anak-anaknya.

“Ketika ada kebutuhan mendadak, mama rela mengutang atau menggadaikan barang-barang di rumah agar kami bisa bayar uang sekolah dan kuliah,” ujarnya.

Pengorbanan dan kerja keras dari kedua orang tuanya membuat Harun dan saudara-saudaranya selalu berkomitmen untuk belajar secara serius hingga menamatkan pendidikan. Satu pesan yang selalu diingat Harun dari ayahnya adalah agar anak anak-anaknya punya kehidupan yang lebih baik dari apa yang mereka alami saat itu.

“Hari ini rumah saya setengah tembok. Nanti tidak boleh di antara kamu yang punya rumah setengah tembok. Kalau demikian maka kalian kalah dari bapak. Bapak hidup di zaman yang susah tapi punya rumah setengah tembok, kalian pasti hidup di zaman yang lebih baik dari bapak, minimal hidup di rumah tembok penuh,” cetusnya mengenang ucapan ayahnya.

“Saat ini saya punya motor, esok-esok kalau kalian hanya punya motor berarti saya lebih hebat, kamu harus punya minimal mobil. Bapak hanyalah sebuah tamatan Sekolah Guru, jika kalian hanya seperti itu maka kembali ke kampung bersihkan kebun saja. Kamu mau sekolah tinggi sampai di manapun Bapak siap berhutang, asal kamu punya masa depan yang lebih baik,” ujar Harun mengenang kata-kata ayahnya.

Kata-kata yang selalu diulang itu, serta kerja keras, pengorbanan dan kedisiplinan yang ditanamkan kedua orang tuanya menjadi cambuk yang memotivasi Harun dan saudara-saudaranya. Alhasil, Harun dan saudara-saudaranya kini punya kehidupan yang lebih baik dari keadaan mereka waktu kecil di kampung. Bagi Harun, ayahnya adalah teladan. Meski didikan ayahnya termasuk keras, tetapi itu semua demi kebaikan anak-anaknya. Seperti kata peribahasa yang dipercaya orang-orang zaman dulu: Di ujung rotan ada emas.

“Dari didikan rotan itu hasilnya hari ini kami memperoleh emas, bukan perak atau perunggu. Sebagai anak tentu bangga, walaupun dulu benci dengan didikan bapak, tetapi hasilnya kami nikmati saat ini,” tuturnya.

Sekarang Harun bisa meraih gelar doktor dan kemudian dipercaya memimpin Institut Agama Kristen Negeri Kupang, dalam refleksi Harun adalah buah yang boleh ia petik dari sebuah pohon kehidupan yang ditanam dan dirawat dengan sangat baik oleh ayah dan ibunya melewati berbagai situasi sulit dan serba terbatas. Meski penuh onak dan duri tetapi karena tekad yang kuat ia dan saudara-saudaranya boleh memetik hasilnya sekarang. Investasi pada pendidikan yang ia alami sendiri dari apa yang ditunjukkan oleh kedua orang tuanya itulah yang ikut membentuk pemikiran bahwa hanya dengan pendidikan orang dapat mengubah nasibnya. Karena itu, melalui kepemimpinan di Institut Agama Kristen Negeri Kupang, ia ingin lebih banyak orang mengalami perubahaan hidup menjadi lebih baik. Segala kekuatan ia kerahkan untuk membangun IAKN Kupang menjadi lebih baik dari hari ke hari agar bisa menjadi wadah yang menghasilkan buah-buah yang matang, yakni generasi masa depan yang bisa hidup sejahtera dan punya arti untuk masyarakat.

“Kami akan bangga ketika melihat anak-anak berprestasi melebihi dari saya saat ini, makin banyak alumni tentu makin senang karena ada kebanggaan besar,” pungkasnya.

Dr. Harun Natonis mengikuti pendidikan di SD GMIT Lunu tahun 1983, lalu SLTP N. Oinlasi tahun 1986, dan SLTA N. 1 Soe tahun 1989. Selanjutnya Sarjana  (SI) di UKAW Kupang tahun 1994, Magister (S2) di UKSW Salatiga tahun 2006, Doktor (S3)    di STT Cipanas tahun 2016. Jabatan yang pernah dipercaya kepadanya, yakni Penyuluh Agama Kristen Departemen Agama Provinsi NTT tahun 2000-2003, Kasi Supervisi Pendidikan Bimas Kristen Departemen Agama NTT tahun 2003-2005, Kasi Pendidikan Agama Kristen Departemen  Agama NTT tahun 2005-2010, dan Kasi Pendidikan Agama Kristen Kemenag Kota Kupang tahun 2010-2012. Kemudian ia dipercaya sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Kupang tahun 2012-2020 hingga Rektor Institut Agama Kristen Negeri Kupang tahun 2020 sampai sekarang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here