Narwastu.id – Penyair dan pujangga asal Lebanon, mendiang Kahlil Gibran (1883-1931) pernah menuliskan ungkapan ini, “Jadilah sumur yang setia menampung air jernih agar menyejukkan bibir-bibir kehausan yang lewat, bukan sebaliknya menjadi sumur kosong yang hanya memungkinkan orang melempari batu ke dalamnya.” Untaian kalimat bijak Kahlil Gibran ini seolah terlukis kembali dalam suatu cerita pendek (Cerpen) “Penggali Sumur” karya Selo Lamatapo, penulis muda berbakat asal Nusa Tenggara Timur. Melalui cerpen “Penggali Sumur” penulis menampilkan tokoh utama bernama “Om Banus” yang menabur kebaikan bagi banyak orang melalui pekerjaan menggali sumur. Sang penggali sumur tak mau melewatkan kesempatan untuk berbagi kebaikan kepada banyak orang. Kebaikan sang penggali sumur ini dari perspektif apresiasi sastra, diteguhkan oleh pandangan Dick Hartoko, bahwa “kebaikan akan berkembang biak seperti jaring laba-laba yang terus melebar” (Paulus Winarto, 2006).
Penghayatan si penggali sumur tidak hanya dilandasi oleh karakteristik lokalitas, tetapi lebih dari itu telah menyentuh kedalaman iman; memaknai kerja secara interpersonal dalam relasi dengan yang Sang Ilahi. Di sini, terasakan adanya penghayatan spiritualitasnya Romo Mangun (Mangunwijaya); yang memandang kerja sebagai wujud pemuliaan Allah lewat kebaikan. Pemuliaan itu dilakukan demi mengangkat martabat manusia dengan seluruh keberadaan manusiawinya kepada Allah (Y.B. Mangunwijaya, 1999).
Menuju Yesus Sang Air Hidup
Bagi si penggali sumur, sejatinya manfaat sumur merupakan sumber kehidupan. “Di sumur kita akan menimba kehidupan. Kehidupan itu berasal dari tetes-tetes air yang jatuh dari bibir sumur dan menjadi banyak di dasar sumur” (Selo Lamatapo, 2021). Di daerah tropis, rasanya tidak mungkin ada kehidupan tanpa sumur. Tak terhitung berapa banyaknya tempat air yang terisi oleh air yang sudah ditimba dari sumur. Kendati demikian, di dalam sumur, mata air tetap mengalir seperti sediakala.
Tetapi, air yang ditimba dari sumur, tentulah sebatas menghilangkan rasa haus jasmaniah kita. Air sumur pun dapat menghidupkan rerumputan, mengubah bunga-bunga yang layu menjadi segar, tanah yang tandus menjadi subur kembali. Akan tetapi, air yang ditimba dari sumur tak pernah akan memberi kepuasan dan menghilangkan rasa haus rohaniah. Si penggali sumur memberanikan diri menghadirkan kehidupan melalui aktivitasnya menggali sumur. Dapat dianalisis bahwa tempat yang didiaminya merupakan daerah tropis, dataran tinggi dan tidak ada sumber mata air pegunungan yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih. Maka, satu-satunya jalan adalah menggali sumur. Ia memberi diri bagi banyak orang yang terancam kehausan dan kekeringan.
Memaknai hakikat manfaat sumur dalam cerpen termaksud, si penggali sumur perlahan mengantar pembaca kepada sosok yang lebih tinggi yang kita imani, yakni Yesus Kristus. Kedalaman sumur belasan meter yang digalinya seolah melukiskan ziarah pencarian akan hakikat Sang Ilahi. Selain itu, menunjukkan cintanya yang mendalam kepada banyak orang. Secara simbolik, kedalaman sumur juga menggambarkan kedalaman relasi yang dibangun si penggali sumur dengan Sang Ilahi.
Bagi si penggali sumur, tindakan menggali sumur laksana membuka diri menawarkan kasih dan membangun relasi tanpa sekat. Yesus pun menyadari bahwa Israel merupakan tanah yang kering dan terpanggang oleh sengatan matahari. Di sumur Yakub, Ia merobohkan sekat budaya yang membelenggu. Ia menjanjikan air kepada wanita Samaria. Air yang dijanjikan, bukan sekadar air, melainkan air hidup yang memancar dari kedalaman kasihNya.
Yesus menjanjikan sumber air hidup. Ia tidak saja menjanjikan sumber air yang tidak dapat habis, melainkan air yang bermakna abadi yang akan memuaskan dahaga kehidupan untuk selama-lamanya. Air yang diberikan Yesus tidak hanya memberi kehidupan di bumi (alam fana), melainkan juga kehidupan abadi (alam baka).
“Barang siapa minum air ini, ia akan haus lagi. Tetapi barang siapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya, air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal” (Injil Yohanes 4:13-14). Yesus hendak menegaskan bahwa air hidup yang akan kita minum berasal dari sumur rahmat-Nya, yakni air pembaptisan. Sebab melalui pemberian air baptis, Yesus memuaskan dahaga dasariah manusiawi kita akan kedamaian, sukacita, persekutuan, dan kasih. Sebab bagi-Nya, dunia hanya menawarkan kepada kita air yang hanya memuaskan dahaga jasmaniah kita, tetapi yang akhirnya menjadi pahit dan beracun seperti kekuasaan, kehormatan, cinta diri, kekayaan, kemasyhuran, dan kenyamanan (Francis J. Quinlivan, 1999).
Menurut Quinlivan, air yang diberikan Yesus merembes dan mengalir semakin luas dan meresap semakin dalam di relung-relung hati dan pikiran kita, untuk memuaskan kebutuhan rohani kita yang melampaui apa yang pernah kita ketahui, sekaligus membawa kesegaran dan pertumbuhan. Air yang diberikan Yesus akan sanggup mengisi kita sampai penuh dan meluap mengairi setiap orang sekaligus menjadikan setiap orang sumber air yang terus mengalir (1999:8).
Aktualisasi Sumur Kehidupan
Kita ketahui bahwa air hidup itu bersumber dari air permandian atau pembaptisan. Air permandian mengalir melalui kehidupan kita. Air itu mengubah hidup kita yang paling kering dan gersang menjadi subur. Bagian hidup kita yang dilanda kekeringan dapat bersemi kembali. Sumber air hidup yang dibuka alirannya oleh permandian senantiasa mengalir. Air permandian yang memberikan kehidupan iman, tumpah dalam kehidupan orang-orang percaya dalam kehausan rohani mereka.
Sumur kehidupan akan senantiasa mengalir di setiap musim dan sepanjang zaman. Sumur kehidupan sekali dibuka, akan selalu dan senantiasa mengalir. Misalnya, kita melihat dan menyaksikan banyak orang hidup dan berkembang di sekitar sumur dari seseorang, seperti Santo Fransiskus dari Asisi, pun Bunda Teresa dari Kalkuta. Setelah kematian mereka, air kehidupan masih tetap mengalir dan ribuan manusia datang untuk mengambil air dari sumur mereka.
Bunda Teresa dari Kalkuta mengatakan, “Cinta semakin sulit didapatkan, padahal dibutuhkan; cinta semakin susah dialami, padahal dicari; cinta semakin tidak muda dimiliki, padahal dinantikan” (T. Krispurwana Cahyadi, 2003). Bunda Teresa melihat pengemis yang mati bergelimpangan di jalan-jalan Kota Kalkuta sebagai Yesus. Ia mencintai setiap orang sebagai pribadi yang mulia dan bermartabat. Imannya merupakan aliran air hidup yang mengalir ke luar dari dirinya ke seluruh dunia. Bunda Teresa sungguh menghayati kata-kata Yesus; “…ketika Aku sakit, kamu melawat Aku” (Bdk. Matius 25:36).
Santo Fransiskus dari Asisi pun juga bagian dari sumber air hidup yang luar biasa manis. Ia mewariskan sumber air kesederhanaan, kesegaran humornya, pandangannya tentang Allah yang dapat ditemukan dalam segala sesuatu yang mengelilinginya, kegembiraannya yang memancar dan imannya yang tertumpah ruah kepada kita untuk diminum. Ia sungguh menginspirasi Paus Fransiskus untuk menulis ensikliknya tentang Frateli Tutti yang artinya semua bersaudara. Santo Fransiskus Asisi menawarkan persaudaraan yang melampaui sekat-sekat perbedaan manusiawi.
Menjadi sumur kehidupan senantiasa mengalirkan dari kedalamannya sumber air yang menyejukkan kehausan generasi sepanjang zaman. Air dari kedalaman sumur mengalir keluar mengairi beraneka kehidupan. Air tidak berhenti mengalir, dan sumur-sumur kehidupan tidak akan pernah terancam kekeringan. Sumur tetap terbuka menghadap langit. Demikian juga seperti hidup Ibu Teresa dari Kalkuta dan Santo Fransiskus Asisi yang terarah kepada Allah, dan menjadi perantara mengalirkan rahmat hidup dan keselamatan kepada sesama.
Di zaman yang semakin moderen ini, tenaga manusia telah tergantikan oleh teknologi. Sumur-sumur pun tidak lagi digali dengan tenaga manusia. Semua proses telah diganti dengan mesin. Sumur dengan tenaga listrik kini terpasang di rumah masing-masing. Sumur-sumur itu jarang dialirkan ke luar menyegarkan sesama yang lain. Paling banter para pemiliknya yang menggunakan sendiri. Demikian halnya, spirit sumur kehidupan tak lagi menyembul ke luar, karena hidup semakin eksklusif di jurang kehidupan yang semakin memisahkan kita dengan sesama manusia.
Kepada jemaat di Filipi, Rasul Paulus mengajarkan bahwa kita tidak perlu kuatir dalam menghadapi ujian dan selalu berdoa. “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur (Filipi 4:6-7). Ketika sumur-sumur kehidupan mulai jarang kita temukan, maka kita mesti terus berharap dalam doa-doa kita agar Tuhan menyediakan dan merahmati orang-orang yang oleh hidup imannya, boleh menjadi sumur kehidupan demi melayani kebutuhan banyak orang.
Sikap apa yang dapat kita harapkan agar tetap menjadi sumur kehidupan di tengah zaman yang semakin eksklusif dan tidak menentu ini? Kita mesti tetap berharap dan menjadi tanda pengharapan, bahwa sumur-sumur kehidupan akan tetap ada di tengah padang gurun zaman moderen. Kita berharap bahwa di tengah kehidupan yang kian mengandalkan teknologi mesin, kita masing-masing mampu berperan sebagai penggali sumur kehidupan bagi sesama.
Merujuk pada kisah cerpen “Penggali Sumur” baiklah kita boleh belajar dari filosofi hidup si penggali sumur. Pun belajar pada keteladanan Santo Fransiskus Asisi, dan Bunda Teresa, yang telah menimba air kehidupan dari Yesus sumber air hidup, melalui pembaptisan yang telah mereka terima. Mereka telah memancarkan air hidup bagi orang-orang yang mereka jumpai.
Dengan demikian, sebagai pengikut Kristus, kita mesti tetap memiliki kerinduan akan aliran air kehidupan yang mengalir di tengah padang gurun kehidupan ini. Lebih dari itu, baiklah kita menjadikan diri kita bermanfaat seperti sumur kehidupan, di tempat kita menetap atau berada saat ini.
* Penulis adalah guru, penyuluh dan Sosialisator Program Literasi Nasional 2022, berdomisili di Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).