Narwastu.id – Pemimpin dengan kepiawaiannya dan memegang kepemimpiannnya pada peran penting dalam mengatur strategi, seperti orang bermain di papan catur, menentukan dalam menjalankan roda organisasi, meningkatkan kinerja suatu institusi, lembaga atau perusahaan dan bahkan menentukan pasang surutnya kehidupan suatu bangsa dan negara. Baik atau buruknya bahkan saat krisispun sang pemimpin siaga turun sebagai problem solver untuk suatu organisasi, bangsa atau negara, secara tidak langsung menggambarkan potret dari kualitas pemimpinnya dan kepemimpinan yang dijalankan. Pemimpin tidak hanya melihat dengan mata dan mendengar dengan telinga, tetapi pemimpin seharusnya juga dengan mata hati atau hati nuraninya.
Komunikasi antara pemimpin dan yang dipimpin berfungsi seperti urat nadi yang mengalirkan darah dalam tubuh manusia. Komunikasi sangat menentukan tingkat keefektifan seorang pemimpin. Ada sebagian pemimpin yang berhasil dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang dipimpinnya dan dapat memelihara komunikasi dengan baik. Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Bisa melalui simbol-simbol bahasa, baik verbal maupun nonverbal yang dipahami bersama, ungkapan pikiran, perasaan dan perbuatan bisa dirasakan orang lain.
Inilah pentingnya komunikasi karena makna dari komunikasi ini sangat dalam untuk menghindari miss understanding, dalam istilahnya “Tubuh Bicara, Wajah Berkata“ mulailah untuk membaca diri sendiri. Sudahkah kita menjadi pemimpin yang baik dan benar di hadapan orang-orang yang kita pimpin. Sejatinya pemimpin harus bisa merangkul dan menjadi problem solver. Yang sering terjadi keegoisan dan keserakahan. Seperti ditulis di Matius 20:25-28, “Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata, ‘Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
Menjadi pemimpin adalah jabatan yang memang banyak diminati ketimbang menjadi staf atau pembantu pimpinan. Tetapi lebih baik tidak menghayal lebih jauh jika kita belum mempersiapkan hati kita untuk totalitas menduduki jabatan tersebut. Karena akan merugikan banyak orang atau masyarakat di mana kita berpijak. Terkadang harapan dan pilihan masyarakat tidak selalu sejalan dengan keinginan dan harapan. Dari sekian banyak yang menginginkan menjadi pemimpin, hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan. Dari sekian banyak ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dan dari sekian banyak buku, referensi dan teori yang dipelajari dan sekian banyak pelatihan kepemimpinan yang ditempuh untuk bekal menjadi pemimpin, hanya sedikit yang berkesempatan mempraktikkannya.
Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang diberi kesempatan menjadi pemimpin mengalami kegagalan dalam menjalankan kepemimpinannya. Pemimpin tak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tetapi justru kecerdasan emosionalnyalah yang lebih banyak dipraktikkan dalam langkah strateginya. Kemampuan tersebut untuk memahami dan mengelola emosi sendiri, dan emosi orang-orang di sekitar kita. Orang dengan kecerdasan emosional tingkat tinggi tahu apa yang mereka rasakan, apa arti emosi mereka, dan bagaimana emosi ini dapat mempengaruhi orang lain. Bagaikan seperti buah catur yang bisa maju menyerang, bahkan buah yang paling rendahpun bisa mematikan langkah musuhya.
Bermain dengan logikanya tetapi harus bisa menyeimbangkan emosinya. Bahasa sentuhan, dan gestur seorang pemimpin akan terbaca oleh ekspresi yang dimainkannya, tidak ada kepura-puraan semua terlihat nyata dan natural.
Pemimpin tanpa visi mungkin hal itu dapat terjadi pada sebagian orang yang dipaksakan menjadi pemimpin, bagi pemimpin karbitan atau bagi orang yang karena situasi tertentu diangkat jadi pemimpin. Yang penting, semua berjalan apa adanya. Ada pemimpin yang hanya memberi perintah atau instruksi, ada pula yang dipimpin, yang menjalankan semua perintah dan tugas secara rutin. Jangan melihat dari sudut pandang sempit, yaitu posisi, kekuasaan, kewenangan, dan fasilitas yang bisa diraih seorang pemimpin, bukan dari segi tugas, pokok dan fungsi sebagai tanggungjawabnya, mereka cenderung melihat posisi pemimpin sebagai suatu tujuan yang harus dicapai, tetapi mengabaikan proses untuk mencapai.
Padahal untuk menjadi seorang pemimpin yang sejati dibutuhkan suatu proses panjang yang harus dilalui dengan perjuangan, pengalaman, pembelajaran, ketekunan dan kerja keras dan harus ditempuh dengan cara-cara yang benar. Proses yang benar adalah pemimpin yang layak dipilih, sedangkan pemimpin yang semu menempuh segala cara yang menyimpang, termasuk misi dan motifnya untuk mencapai posisi pemimpin. Janganlah menjadi pemimpin yang mengabaikan roh kepemimpinannya dan baiknya lebih mendahulukan kepentingan jangka panjang untuk kepentingan orang-orang yang dipimpinnya.
* Penulis adalah akademisi, pemerhati masalah sosial dan kemasyarakatan serta pemerhati ilmu komunikasi.