Mewujudkan Hidup yang Bersekutu dengan Allah

* Oleh: Pdt. Weinata Sairin, M.Th

30

Narwastu.id – ”Berhala itu sama seperti orang-orangan di kebun mentimun, tidak dapat berbicara;…Tetapi TUHAN adalah Allah yang benar, Dialah Allah yang hidup dan Raja yang kekal. Bumi goncang karena murka Nya, dan bangsa-bangsa tidak tahan akan geram-Nya” (Yeremia 10:5a, 10). Pertarungan cukup lama, yang terjadi hampir di semua episode Perjanjian Lama, adalah pertarungan antara kuasa Ilahi dan kuasa nonIlahi. Pertarungan antara eksistensi Allah dan eksistensi dewa/berhala, apakah kekuatan keduanya itu seimbang atau berat sebelah. Israel sebagai umat pilihan Allah tidak mampu memerankan dan menampilkan dirinya secara utuh penuh sebagai umat pilihan. Israel tidak mampu menarik bangsa-bangsa lain untuk datang dan percaya kepada Allah. Israel gagal mengajak bangsa-bangsa lain itu untuk meninggalkan ilah mereka, dewa/berhala mereka.

Malahan Israel sendiri yang acap ter goda, main mata, backstreet, selingkuh, dan ikut memuja ilah-ilah lain yang dipercaya bangsa-bangsa pada zaman itu. Israel membutuhkan Allah yang kasat mata, Allah yang secara fisik bisa dilihat, bukan Allah yang absurd, Allah yang ada dalam ”dunia ide.” Yeremia adalah seorang nabi yang dipanggil dalam usia yang relatif muda; kemudaan itu juga yang kemudian ia jadikan alasan untuk menolak panggilan Tuhan. Dalam Yeremia pasal 1, negosiasi tentang panggilan itu diuraikan agak jelas. Pada akhirnya Yeremia menerima panggilan itu dan Tuhan berjanji untuk terus melengkapinya. Yeremia adalah anak Hilkia, keturunan imam dari Anatot, lokasinya 7 km di se belah utara Yerusalem. Ia bekerja mulai tahun 626 pada masa pemerintahan Yosia.

Yeremia menghadapi persoalan yang sulit di zamannya. Pengalam an pahit, derita, dan ancaman pembunuhan ia alami pada zaman itu. Ia bahkan dijebloskan ke dalam penjara karena tugas kenabian yang ia lakukan dengan setia dan konsisten. Yeremia sebagai manusia terkadang mengungkapkan keluhan dan/atau komplain kepada Tuhan. Ia bertanya mengapa ia harus menghadapi sengsara. Sebagai kulminasi dari semua pergumulannya dalam menja lankan tugas, ia sampai mengutuki hari kelahirannya sendiri (20:14-18). Namun, Yeremia tetap seorang nabi yang berintegritas. Ia setia kepada panggilannya. Ia sadar betul bahwa ia dipanggil untuk merobohkan dan membangun (1:10).

Bagian Alkitab yang dikutip di awal tulisan ini cukup menarik, karena dalam konteks sikap Israel yang acap mendua kepada Tuhan, ayat ini mem persandingkan secara amat signifikan beda berhala dengan  Tuhan. Tuhan tidak pernah bisa dicari kesamaan dan kesetaraannya  dengan apa pun. Tuhan itu sesuatu yang definitif dan eksklusif. Yang Ilahi, yang transenden, tak pernah berada dalam frame of reference  manusia. Yang sakral dan yang di atas, The Ultimate Concern, itu tidak bisa masuk dalam frame ruang dan waktu yang diciptakan manusia. Ia berada di luar waktu.

Kitab Yeremia menggambarkan kenaifan cara berpikir orang-orang di zaman itu dengan menyamakan berhala itu dengan ”orang-orangan di kebun mentimun” yang tak punya potensi dan nirkompetensi (10:3-5). Berhala itu bodoh dan dungu. Kata ”dungu” yang digunakan ber barengan dengan kata ”bodoh” sebenarnya hanya sebuah tautologi dan repetitio saja, karena kedua kata itu memiliki makna yang sama. Artinya, karena berhala itu sangat-sangat goblok (maaf!), bagaimana bangsa -bangsa (dan Israel) bisa percaya kepada berhala? Ungkapan Yeremia di abad ke-6 dan ke-7 yang cukup keras dan lugas itu tetap memiliki makna bagi kita di era digital, di  era post truth  seperti sekarang ini. Kita diingatkan ulang agar hati dan seluruh kedirian kita diarahkan kepada Tuhan, Allah yang kita panggil Bapa dalam Yesus Kristus.

Kita harus menyerahkan diri kepada Allah, bukan kepada allah (10:11) atau kepada kuasa apa pun. Jangan terkecoh atau terperdaya oleh berhala yang seolah bisa mengatur hidup kita. Berhala-berhala modern juga ada di sekitar kita. Setiap benda yang berpotensi mereduksi kualitas relasi kita dengan Allah pantas disebut sebagai berhala. Kita tidak boleh tunduk kepada berhala, termasuk berhala modern. Berhala modern adalah benda-benda yang bisa membelokkan hati dan diri kita dari menyembah Allah kepada perhatian dan kesibukan penuh kepada sebuah benda mati takpunya kuasa. Mari mewujudkan hidup yang bersekutu kepada Allah tanpa lelah.

 

* Penulis adalah teolog dan pengamat sosial kemasyarakatan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here