Narwastu.id – Film “Ngeri-ngeri Sedap” karya sutradara muda Bene Dion Rajagukguk ini, perlu direkomendasikan patut ditonton bersama keluarga. Film berlatar belakang keluarga Batak di kampung (Bona Pasogit atau Sumatera Utara) ini, pada Sabtu malam, 4 Juni 2022 lalu disempatkan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi NARWASTU, Jonro I. Munthe, S.Sos bersama keluarga kecilnya menontonnya di sebuah bioskop XXI di kawasan Harapan Indah, Kota Bekasi, Jawa Barat. Jonro nontonnya langsung dari tempat acara seorang sahabatnya, sehingga ia tak sempat lagi ganti baju di rumah. Dalam film ini emosi penonton diaduk-aduk supaya terbawa dalam tawa, bahkan menitikkan air mata, karena bercerita tentang konflik sebuah keluarga yang punya empat anak, yang tinggal di pinggiran Danau Toba di Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
Akting para pemain patut diacungi jempol, plus pemandangan kawasan Danau Toba dipotret begitu indah plus lagu-lagu Batak yang disuguhkan membuat penonton (Apalagi orang Batak yang masih lahir di kampung bisa jadi terbawa perasaan atau baper). Film ini mengingatkan kita pada cerita film “Toba Dream” karya Letjen TNI (Purn.) T.B. Silalahi pada 2015 silam. Bedanya, di film “Ngeri-ngeri Sedap” keluarga yang awalnya gaduh berakhir bahagia. Sedangkan di film “Toba Dream” yang juga banyak mengabadikan kawasan Danau Toba, keluarga sang tokoh berduka. Pasalnya, bintangnya mati tragis ditembak polisi, karena ia sesungguhnya bandar narkoba yang terobsesi kaya raya agar keberadaannya diakui di kampung halaman.
Musik dan penataan lagu-lagu di film “Ngeri-ngeri Sedap” dan “Toba Dream” pun enak didengar, dan ditata dengan apik oleh Vicky Sianipar. Pemain-pemainnya didominasi orang Batak, hanya Gabe (Si pelawak) dan Sahat (Anak bungsu) yang bukan orang Batak. Meskipun para pemainnya sesungguhnya berlatar belakang komedian (Komika) atau yang biasa menghibur dengan melawak, namun ternyata mereka bisa tampil meneteskan air mata kala terjadi konflik atau perbedaan paradigma di tengah keluarga mereka.
Konflik antara orangtua dengan anak-anak di film ini muncul saat anak-anaknya selalu berlindung di balik alasan kala disuruh pulang kampung untuk menghadiri acara adat Batak. Pasalnya, tiga anaknya setelah selesai kuliah sudah bekerja di kota. Si anak sulung misalnya, diharuskan bapaknya mesti kawin dengan sesama Batak (Bukan dengan putri Sunda), si bungsu diminta agar tinggal di kampung mendampingi orang tua, dan profesi Gabe sebagai pelawak dianggap orangtuanya kurang bergengsi dibanding profesi jaksa atau hakim. Di sinilah timbul perbedaan pendapat tajam antara orangtua yang setiap malam nongkrong di lapo tuak dengan anak-anak yang sudah berhasil menjalani pendidikan tinggi di perkotaan.
Dalam film yang tepat disebut “curahan hati” orang Batak Toba ini ada diselipkan otokritik, pesan-pesan kehidupan, nilai-nilai moral, nilai-nilai Kristen, dan filosofi adat istiadat dalam sebuah keluarga Batak Toba (Antara orang tua dan anak, serta antara anak dengan sesama saudaranya sekandung). Pun ada disajikan pagelaran adat budaya Batak di kampung, yang memang khas, sakral dan perlu dilestarikan. Dan yang menarik, kuliner Batak mie gomak dan mie sop pun berulang kali disorot sebagai santapan keluarga di meja makan di film ini. Sebagai bentuk apresiasi, sekali lagi, film ini patut direkomendasikan agar keluarga-keluarga Batak (Juga etnis lainnya) menonton film ini. SY
setuju ini film baik ditonton keluarga…mohon buatkan lagi film tentang kehidupan orang batak diperantauan dgn berbagai profesi.. polisi, tni, pengacara, pendeta, copet, sopir angkot, rentenir dll.. horas ma dihita sude