Narwastu.id – Organisasi yang mengedepankan visi dan misi bersifat rohani, Asosiasi Pendeta Indonesia (API) ini, didirikan untuk mengerjakan apa yang tak bisa dikerjakan oleh gereja. Hal itu disampaikan Ketua Umum API periode 2011-2016, Pdt. DR. Tjahyadi Nugroho, M.A. API pun, imbuhnya, meniadakan denominasi dan doktrin gereja. API beranggotakan para pendeta dan bekerjasama dalam membangun pelayanan dan kesaksian berdasarkan Firman Tuhan di tengah tubuh Kristus.
Menurutnya, berdirinya API berawal atas rentetan kerusuhan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang terjadi di sejumlah daerah, seperti Situbondo (1996), Ketapang (1998), Poso (1998) dan Ambon pada 1998-2000 lalu. “Muncul kekhawatiran, gereja nggak berdaya menghadapi tekanan-tekanan yang ada. Pdt. HBL Mantiri (mantan Kasum ABRI) dan Pdt. Pranowo membuat pertemuan, namanya KUKMI supaya memiliki bargaining position yang dihadiri oleh semua sinode. Dideklarasikan dengan nama Persatuan Umat Kristen Indonesia. Sayang tak bertahan lama,” jelas Pdt. Tjahyadi Nugroho.
Sebagai sosok yang peduli pada persoalan gereja, pada Mei 2002 lalu, Pdt. Tjahyadi Nugroho mengajak para ketua sinode untuk membentuk persatuan pendeta pribadi tanpa membedakan gereja. Akhirnya setelah melewati berbagai diskusi, pada 31 Oktober 2002 dideklarasikanlah Asosiasi Pendeta Indonesia (API) di Jakarta.
Dari situ, ayah beranak empat ini mulai menawarkan gagasan soal tujuan API melalui pertemuan dengan Wakil Presiden, Menkopolhukam dan Panglima TNI. Para petinggi tersebut mengharapkan agar umat Kristen bersatu dan bersuara satu, sebab selama ini dianggap tidak bisa. Namun, keberadaan API tidak disambut dengan baik di beberapa kalangan.
Justru API dianggap ingin menyaingi gereja yang ada. “API didirikan untuk mengerjakan apa yang tidak bisa dikerjakan oleh gereja. Contohnya, menghadapi penutupan Gereja Katolik Sang Timur, serta menolak disahkannya UU Pornografi dan Pornoaksi,” terang Ketua Sinode Gereja Gembala Jemaat Allah ini. Dan sejak awal API pun menolak SKB 2 Menteri 1969 yang mempersulit pendirian gereja. Menurut alumnus STT Oikumene, Jakarta, ini ia bersama anggota API lainnya mendatangi DPR-RI dan Menkopolhukam dan menjelaskan, SKB 2 Menteri dianggap bukan solusi, dan justru sumber masalah.
Kepedulian API tak sebatas pada persoalan dalam negeri. Akan tetapi juga ikut memberi perhatian kepada dunia internasional. Bersama UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) Pdt. Tjahyadi ikut tergabung di Tim Perdamaian Timur Tengah. “Setelah 18 hari di Israel dan Palestina untuk menjajaki keinginan masing-masing negara itu, rupanya keduanya berebut ingin menjadikan Yerusalem sebagai ibukota. Ini menyangkut perut, di mana wisatawan asing yang datang bisa mencapai 100 sampai 200 ribu orang tiap tahunnya,” cetusnya.
“Ini juga menyangkut masalah sosial ekonomi. Saat itu kami mengambil kesimpulan di PBB di gedung Capital dengan DPR-nya Amerika Serikat (AS) mengenai gagasan Internasional Kota Yerusalem. Secara manusia itulah perdamaian dunia yang diidam-idamkan. Karena kehendak Tuhan itu berbeda dengan kehendak manusia,” ungkap Pdt. Tjahyadi Nugroho.
Salah satu alasan mengapa API berdiri adalah, untuk bersama-sama menjalin kesatuan hati sebagai satu tubuh Kristus. Kendati demikian, bukan hal yang mudah diwujudkan. Bagi Pdt. Tjahyadi Nugroho, ada beberapa faktor mengapa sampai hari ini membangun sebuah kesatuan itu dirasa cukup sulit antarpemimpin gereja. Salah satu penyebabnya, karena mereka memiliki bahasa sendiri-sendiri. Seandainya mereka satu, imbuhnya, pasti bersatu.
Karena itu, API tidak ingin mempersatukan, tapi yang mau bersatu, bersatulah. Jadi jangan heran jika ormas Kristen bertambah terus dan kalau tidak dilarang bisa ratusan. Sadar bahwa tantangan ke depan semakin sulit, maka API sebagai sebuah organisasi ingin menjadi organisasi yang solid dan berdampak sejak berdiri pada 14 tahun lalu.
“Kami melihat kepincangan-kepincangan ini terjadi, karena lemahnya SDM (sumber daya manusia). Untuk itu, dalam lima tahun ke depan kami utamakan adalah kursus-kursus kepemimpinan sebagai bekal untuk para pendeta atau pengurus API. Supaya mampu menganalisa dan piawai menghadapi gejolak politik, hukum, sosial ekonomi dan lain sebagainya,” tuturnya.
Berbicara mengenai kontroversi keberadaan LGBT (Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender), sebagai Pdt. Tjahyadi berpendapat, LGBT merupakan salah satu kenyataan sosial. “Ini akibat dosa. LGBT adalah pelanggaran atas hukum Allah. Sebab Allah memerintahkan seorang pria menikah dengan seorang wanita dan berumah tangga,” pungkasnya.
Jadi, kata Pdt. Tjahyadi Nugroho, API mengambil sikap untuk tidak bisa menerima LGBT, tapi API mengasihi orang yang merupakan bagian dari LGBT. API pun tidak mengizinkan mereka untuk membuat promosi agar hal ini tidak menjadi sebuah pergerakan, karena bertentangan dengan hukum negara. Dari keseluruhan itu, Pdt. Tjahyadi Nugroho menegaskan, prinsip API tetap berlandaskan kebenaran Firman Tuhan. “Maka kami menimbang dan memutuskan berdasarkan apa yang dikatakan Alkitab. Sesuai dengan misi dan visinya API ingin membangun tubuh Kristus dengan mempersatukan umat dan menyatakan suara kenabian sesuai dengan ajaran Alkitab,” cetus pendeta yang semakin bijaksana ini.