Haposan Hutagalung, S.H.: Jangan Cengeng Menghadapi Kesulitan

517
Haposan Hutagalung, S.H. dan keluarga.

Narwastu.id – Kehidupan masa-masa sulit tak mungkin bisa dihindari, tetapi orang-orang yang teguh dalam pendirian akan mampu melewatinya. Maka ada ungkapan: Orang besar selalu menghadapi masalah dengan tenang. Tentu, sebagai orang yang beriman kita yakin Tuhan mengizinkan masalah untuk membentuk kita, sesuai batas kemampuan kita masing-masing. Tak mungkin Tuhan mengizinkan kesulitan melebih batas kemampuan seseorang. Manakala menghadapi masalah tak boleh cengeng menghadapinya. Paling tidak itulah yang membuat Haposan Hutagalung, S.H. teguh menjalani saat menghadapi kehidupan yang sulit di hotel prodeo.

“Mana ada orang mau dipenjara. Umumnya ketika menghadapi musibah, seperti itu tak mampu menghadapi, yang ada malah panik dan stres,”  ujar pengacara kesohor kelahiran Tarutung, Sumatera Utara, 17 Januari 1959 ini saat berbincang dengan Majalah NARWASTU  beberapa waktu lalu. “Soal panik dan ketakutan itu manusiawilah. Namanya juga masuk penjara. Saya ketika itu mencoba melawan rasa takut, panik dan stres menghadapinya. Memang berteori gampang tetapi menjalaninya sangat-sangat berat,” jelasnya.

Namun justru pengalaman itu membuat dia tampil jadi inspirasi bagi teman-temannya. Perjalanan yang tak mudah itu dijalaninya penuh tawakal. Selesai dari lembaga pemasyarakatan Sukamiskin (Bandung), menyelesaikan sekolah pada universitas kehidupan, dirinya justru terus aktif melayani, tak undur untuk menata hidup kembali. 

Jadi Penyemangat

Pengalamannya itu tentu tak membuatnya patah arang, terlena oleh keadaan. Dia juga tak menyalahkan keadaan atau orang lain karena kegetiran yang dialaminya. Baginya, itu sudah berlalu dan tak akan mengubah keadaan. Paling tidak itulah yang dijalankannya dengan tegar dan tak cengeng menghadapi keadaan yang ada. Karenanya, dia tampil menjadi penyemangat bagi sesama warga binaan.

Baginya, orang yang mengalami perjalanan sulit layak menjadi seorang motivator. Bahwa rintangan bukan penghalang untuk berusaha. “Kitalah yang menyemangati diri kita. Semangat dari dalam diri yang sebenarnya lebih kuat dari yang kita kira. Asal mau mengubah pola pikir sendiri menjadi lebih positif dan bersemangat, dan tak cengeng itu akan menguatkan kita,” ujarnya.

Dan memang, menjalani hidup yang sulit seperti menjalankan cawan perjamuan yang mesti digilirkan. Kenyataan tak bisa dibantah, musibah tak mungkin dihindari, semuanya sudah menjadi takdirNya. Satu hal dalam benaknya, bagaimana diri jangan cengeng, dan yang terpenting memohon kuasaNya menyertai dalam setiap pengalaman hidup yang membebat. “Saya meminta pengampunan dari Tuhan. Meminta penyertaan dariNya untuk saya bisa kuat saat disel,” terangnya.

Apa yang dimintanya Tuhan memberi dirinya kekuatan dengan dia  aktif melayani. Dan tak cengeng menghadapi kesulitan.  “Asal kita bersungguh-sungguh berserah kepadaNya pasti diberi kekuatan. Saya melihat ada kekuatan saat kita berserah dan beribadah kepadaNya,” cetusnya. Oleh karena penyerahan diri total kepadaNya, membuat dirinya senantiasa antusiasme memandang kehidupan apapun yang dialami. Apa pun yang terjadi di kehidupan tak perlu diratapi. Jawaban baginya beribadah senantiasa bergelora di hatinya.

Alami Penyertaan Tuhan

Dia menyebut bahwa bui itu hanyalah tempat kontrakan sementara. Pengalamannya, saat melihat keadaan yang tragis yang bagi segelintir orang yang mendapat vonis umumnya tak siap menjalaninya. Pasti banyak yang stres. Sesungguhnya, dia juga di awal-awal sempat panik. Tetapi, suasana batin dalam kekalutan itu dapat dikendalikannya, hatinya ditatanya dan tak berkeluh kesah menjalaninya.

Tentu, pikirannya waktu itu, sempat panik sebagai seorang ayah dan seorang suami memikirkan nasib hidup anak-anak dan istri. Dan, bagaimana kantor mampu menghidupi sekian banyak rekan dan staf. Tetapi, itulah pengungkapan penyertaan Tuhan bagi dirinya. Pikirannya bukanlah pikiran Tuhan. Walau dirinya tak bisa leluasa karena menjalani “sekolah kehidupan”, istri dan anak-anaknya tak pernah terlantar. Bahkan, kantornya tetap bisa eksis dan aktif seperti biasa.

“Keadaan yang ada tak membuat istri saya berutang oleh karena membutuhi diri saya. Namun yang ada selama itu, saya tetap bisa membiayai hidup keluarga dan kantor.  Saya merasa makin diberkati. Kaya dan sehat. Secara jasmani terutama rohani. Satu gelaspun tak ada yang terjual, malah selama menjalani pidana saya bisa menambah aset,” ujarnya.

Itulah penyertaan Tuhan. Keadaan yang dalam logika manusia pasti mengganggu kehidupan keluarga, justru anak dan isteri tetap dalam keadaan berkecukupan. “Bahkan sangat tercukupi. Kalau saya hitung-hitung malah justru saya lebih banyak menolong teman-teman yang merdeka, keadaannya justru sulit. Justru berbalik dengan keadaan saya ‘status merdeka’ dari dalam penjara, dibanding saat saya masih di luar, meski bisa membantu tapi tidak sesering saat saya di dalam,” tukasnya.

Dia menyaksikan langsung, ternyata banyak orang yang dipenjara jadi berutang untuk membutuhi kebutuhan pribadi. Selama di penjara apalagi untuk membutuhi anak isterinya. Tak sedikit keluarganya menjadi berantakan. Mungkin saja dulu pencari nafkah hanya sang suami. Manakala sang suami kena musibah si istri tak bisa menggambil alih tanggung jawab. Tetapi Haposan lagi-lagi beruntung punya istri, Liana Krista boru Lumbanraja yang mampu menghandle, menjalankan tugas dwifungsi.

“Saya berterima kasih pada istri bisa menjalankan itu semua dengan baik,” katanya. Sebab tak sedikit orang dia saksikan sendiri, orang-orang yang dibui, berdampak pada keluarga, keluarga berantakan. Tak sedikit istri yang minta cerai. Anak-anaknya terjerumus pada narkoba dan kehidupan terlarang.  Lagi-lagi, puji Tuhan, keluarganya dijagaNya. Tak sampai mengalami hal-hal tragis itu. Keadaan yang menimpanya justru membuat keluarganya makin solid. Ketiga anaknya bisa bertumbuh dengan fisik dan mental dengan baik. Bahkan, selama di sekolah kehidupan itu dia bisa tetap dikunjungi anak-anak dan istri. Di saat-saat itu yang ada di benaknya adalah, “Cukup saya sendiri yang menjalaninya. Anak istri harus tetap hidup normal dan sehat.”

Haposan Hutagalung, S.H. dan keluarga.

Hal ini diceritakannya karena melihat juga beberapa penghuni lapas tak pernah dikunjungi keluarganya. Sebab memang kenyataannya masih banyak keluarga tahanan yang takut membesuk keluarganya. “Kalau keluarga datang, saya bahkan memberi motivasi untuk anak-anak agar mereka jangan sedih menghadapi kegetiran hidup. Dengan sering berjumpa, memberi semangat. Tentu keluargalah yang membuat saya tetap bisa kuat,” ujarnya.

Sebagai seorang Kristen yang bertumbuh saat tinggal di hotel prodeo, dia pun menjadi aktivis kerohanian Kristen. Selain rajin berdoa, dia aktif dalam rupa-rupa aktivitas kerohanian di persekutuan doa. Dia memilih tak terpuruk oleh keadaan. Ada semacam sikap yang dipilihnya, “…Tubuhku boleh dipenjara tapi jiwaku bebas dan merdeka memuji Tuhan…”

Kisah yang dituturkan mantan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) DKI Jakarta ini, melukiskan betapa getirnya hidup dipenjara. Apalagi jika orang tak siap mental dan menyikapi dengan berpikiran positif. “Pengalaman saya melihat di penjara betapa banyak orang yang dipenjara meninggal bukan karena tak makan, tetapi karena pikirannya ikut terpenjara. Maka untuk menjaga pikiran dan jiwa tetap terjaga hanya dengan ibadah kita tetap tenang, jiwa kita teduh,” ujar anggota jemaat GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia) Menteng, Jakarta Pusat ini.

Percobaan Biasa

Lalu, apa yang membuatnya teguh menjalani keadaan itu? “Saya melihat musibah yang menimpa saya adalah pelajaran berharga. Saya harus jalani, ini kenyataan hidup, jangan dihindari tapi dihadapi. Saya pikir saya tak boleh terpuruk. Saya bersyukur masih diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki hidup,” ujarnya lagi.

Tentu, dia sadar bahwa banyak orang yang memandang sebelah mata melihat mantan napi seperti dirinya. “Hak oranglah menilai seperti apa. Mengapa kita pusing memikirkan itu. Mantan napi ini telah mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya. Saya sudah lunas membayar hutang, kewajiban kepada negara dengan cara menjalani kurungan. Di atas semuanya saya meminta ampun kepadaNya,” ujar pengacara senior ini.

Ada lagi idenya untuk menjalani hari-hari dengan tetap tabah. Cara lain yang dilakukannya adalah membaca buku. “Saya banyak membaca buku. Maka pengetahuan saya makin tajam,” katanya. Selain itu, dia menjadi Koordinator Pemeliharaan Taman Luar dan Dalam Lapas. Ini sehaluan dengan kesukaannya berkebun. Maka untuk mengelola itu dia mengajak beberapa orang warga binaan membantu.

“Saya ajak mereka untuk pemeliharaan. Mereka saya gaji bulanan untuk dikirimkan pada keluarganya,” kisahnya. Hasilnya? Lapas Sukamiskin asri, tak terkesan sangar dan tandus, teduh dan hijau yang secara kebetulan pimpinan Lapas di sanapun punya hobi yang sama dengannya. Bahkan, lokasi tempat ibadah disulapnya jadi indah, sehingga kelihatan teduh. Selain itu, dia banyak bergerak dan melakukan berbagai aktivitas membuatnya senantiasa fit dan bugar. Oleh karena tubuhnya banyak bergerak. Jadi sehat jasmani dan rohani.

Tak hanya pergerakan fisik. Melatih batin juga dilakukannya selain banyak membaca, aktif di persekutuan doa, dia juga mengajak teman-temannya warga binaan saat itu saling berdiskusi dan saling menguatkan. Termasuk mengelar diskusi pendalaman Alkitab.  “Saya pernah katakan pada teman-teman yang dibui. Kawan-kawan kita jangan cengeng untuk menghadapi tahanan ini. Berani berbuat berani bertanggung jawab. Kitalah yang terlalu mudah percaya terutama kepada oknum pejabat. Sekarang kita ditahan. Ingat, yang ditahan ini badan kita. Tetapi pikiran kita tak boleh ditahan. Tubuh kita dipasung tetapi jiwa kita merdeka harus merdeka,” tegasnya.

Dia menambahkan, “Kita memang pernah bersalah. Tetapi, kita telah menanggungnya dan telah melunasinya di penjara. Karena itu kita harus mampu lebih baik setelah keluar dari bui. Karena itu jalanilah hidup di penjara sebagai ‘universitas kehidupan.’ Kita masih bisa tegak berjalan untuk menjalani sisa hidup yang akan kita lalui,” pesannya.

Pernyataan itu ada benarnya. Kecenderungan manusia ketika ditahan manusiawi ketika tubuh ditahan pikirannya juga ikut terpenjara. Tentu, di sinilah sikap seseorang diuji bagaimana menyikapi musibah. Tak sedikit orang yang setelah ditahan malah sakit-sakit dan meninggal. Semuanya karena dimulai dari pikiran.

Badan tentu mempengaruhi sikap berpikir, tetapi jika berpikir tenang dan jernih, bahwa ini kenyataan hidup yang harus dihadapi dan dengan hati yang dapat menerima keadaan niscaya bisa terbebas dari belenggu, penjara pikiran. “Jadilah Kristen yang militan. Jangan cengeng. Kalau kamu lemah anak isterimu akan tambah menderita,” Haposan mengingatkan.

Itu sebab dia tampil sebagai motivator bagi teman-temannya, dan justru, teman-teman dan saudara-saudara yang berkunjung dimotivasinya, agar jangan cengeng menjalani kesulitan hidup. “Mari kita terima penjara sebagai tempat pembentukan diri, pembentukan mental dan sikap berpikir baru, mindset baru,” tegasnya.

Menurutnya, dampak bagi orang yang pernah menjalaninya dapat dibagi menjadi tiga kategori, penjara tak memberi perubahan bagi dirinya, itu sebabnya setelah keluar, orang yang dulunya pemakai menjadi pengedar. Lalu, ada juga jenis kedua, trauma setelah pasca bebas dari penjara, mengurungkan diri, menutup diri. Ketiga, hanya segelintir orang memetik hikmat dari penjara. Tentu pengalaman itu dijadikannya bekal memperbaiki diri.

Pengalaman dijadikan memperbaiki kualitas hidup. Itulah yang dipilihnya. “Satu hal yang mesti kita semua sadari, bahwa Tuhan tak pernah tidur. Asal kita minta ampun padaNya. Rendah hati mengakui kesalahan kita. Tuhan sedang menunggu kita yang mau jujur mengakui kesalahan dan bertobat,” ujarnya. Jelas, bahwa pencobaan yang kita alami hanyalah pencobaan biasa yang tak melebihi kekuatan kita.

“Pencobaan hal lazim bagi setiap orang. Walau Tuhan tak pernah mencobai, tetapi mengizinkan pencobaan-pencobaan itu menghampiri kita untuk menguji kualitas keimanan kita, dan itu pun tidak melebihi kemampuan kita. Keadaan susah yang kita alami tak boleh membuat kita menjauh dari Tuhan, justru harus lebih mengandalkan Tuhan dalam tiap gerak hidup. Perjalanan hidup kita harus menjadi inspirasi untuk memotivasi dan memberi penguatan bagi orang-orang yang tubuhnya terpenjara. Karenanya jangan takut menghadapi sel,” katanya.

Tentu dari sini bisa dipetik bahwa kesulitan bukan untuk ditakuti. Tetapi keadaan sulit itu baik jika mental kita sehat, pikiran jernih untuk menjalaninya. Kesulitan itu menjadi kaca batin untuk berbaik sangka terhadap keadaan yang ada, sebagaimana dijalani Haposan dan telah membuktikannya. HM

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here