Narwastu.id – Lantaran kagum atas kebersahajaan seorang hamba Tuhan, lalu Dr. dr. Gilbert W.S. Simanjuntak, Sp.M (K) tertarik untuk menjadi pendeta saat SMA. Sejalan dengan waktu ia akhirnya mendedikasikan diri sebagai seorang dokter ahli mata. Belajar untuk senantiasa bersyukur dalam segala hal, menjadikan pria kelahiran 53 tahun lalu itu begitu rileks dalam menapaki hidup. Baginya, menjadi seorang dokter tujuannya bukan memperkaya diri, melainkan menolong orang lain. Apa yang digelutinya juga sebuah pengabdian untuk sesama dan panggilan hidup.
Dalam sebuah kesempatan, lorong panjang di lantai dua Rumah Sakit UKI (Universitas Kristen Indonesia) Cawang, Jakarta Timur, dipenuhi pasien yang hendak berobat. Dan hal itu menjadi pemandangan biasa setiap hari. Mimik penuh harap akan kesembuhan terpancar dari mereka yang datang. Dengan penuh kesabaran mereka menunggu giliran untuk diperiksa Dr. dr. Gilbert W.S. Simanjuntak, Sp.M (K). Dalam lingkup pemeriksaan pasien, setiap harinya dokter Gilbert dibantu seorang suster. Sebelum diperiksa biasanya pasien diberikan kesempatan untuk berkonsultasi seputar penyakitnya.
Tak hanya sibuk melayani para pasien, suami dari Drg. C. Monica P. Hutabarat, M.Kes, ini pun juga dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (FK UKI), Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU), dan Wakil Rektor Akademik UKI, Jakarta. “Saya jadi dokter, karena permintaan. Waktu itu saya pernah minta untuk tak jadi dokter, tapi pengen jadi pendeta karena terinspirasi oleh kehidupannya yang begitu tenang dan enak. Dari dulu saya bercita-cita bahwa materi itu bukan segalanya,” kata Gilbert Simanjuntak dalam sebuah wawancara dengan Majalah NARWASTU di ruang kerjanya di Rumah Sakit UKI, Jakarta.
Sekadar tahu, dokter yang berhasil meraih penghargaan internasional dari International Assembly of Community Ophthalmologist, India, pada 2016 ini, sudah terbiasa banting tulang sejak kecil, dan ayahnya dulu bekerja sebagai kepala rumah sakit di Sumatera Timur. Dan pria yang terdaftar sebagai Ketua Komite Etik Mutu di UKI Jakarta sejak 2014 sampai sekarang itu sangat percaya kalau keberhasilannya itu adalah berkat kerja keras dan hasil doa.
Menurutnya, ketika masih mahasiswa ia mengalami kesulitan mengambil spesialis, karenan latar belakang agamanya. Kendati begitu, Wakil Ketua IAPB WHO Regional Asia Tenggara ini tak patah arang. Salah satu syarat yang diajukan adalah membuat penelitian yang harus diterbitkan di jurnal ilmiah. “Saya mengangkat soal virus hepatitis melalui gigitan nyamuk. Ternyata nyamuk bisa menularkan virus demam berdarah, tapi hepatitis tidak. Saya diterima spesialisasi di Universitas Padjajaran Bandung (Unpad), tapi mertua tak merestui,” kenangnya.
Suatu saat ketika sedang menemani istrinya dan mertua ke sebuah mall, dokter yang pernah jadi pembicara di seminar kesehatan di Goa, India, pada 2002 lalu, itu bertemu Prof. Dr. Mahar Mardjono (Guru Besar/G1 NEUROLOGI FK-UI dan mantan Rektor UI pada 1974-1982). Dan Gilbert disarankan untuk mengambil spesialis mata daripada bedah syaraf. “Ada periode tertentu dalam hidup di mana Tuhan membelokkan jalan hidup saya,” ujar peraih International Award untuk topik “Membrane peeling and shorter waiting time increase successful rate of retinal detachment surgery, 1st AOS Bangkok, Juli 2014” itu.
Dan ada sepenggal kenangan yang tak bisa dilupakan Gilbert saat ditempatkan di sebuah daerah pedalaman Kalimantan pada 1990 lalu. Ketika tiba di rumah dinas malam hari, ia disambangi oleh seorang janda karena diare dalam keadaan shock, serta diantar tetangga dan bersama dua anaknya yang di bawah lima tahun. “Saat memasang infus dengan penerangan minim, hanya memakai lampu teplok dan senter yang sudah redup cukup menyulitkan menemukan pembuluh darahnya,” ujarnya.
“Akhirnya tak tertolong dan mati di depan saya. Anak itu menatap ke arah saya. Saya tidak tahan dan shock. Besoknya saya bangun dan menatap Puskesmas yang baru. Dari ruangan saya bertanya, berapa banyak yang nantinya meninggal di tangan saya. Saya bekerja keras untuk itu, dan saya keluar dari sana cukup terharu,” terang dokter yang berhasil menerbitkan penelitian tentang Culex quinquefasciatus mosquitoes dengan HBV antigen saat masih mahasiswa itu.
Lantaran cukup cerdas Gilbert hanya 3,5 tahun menyelesaikan studi spesialisasinya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Anak ke-13 dari 14 bersaudara pasangan Wilmar Simanjuntak dan Emelia Pardede ini dibesarkan di lingkungan keluarga yang kuat adat istiadatnya. Diakuinya, ayahnya mendidik anak-anaknya tidak dengan norma umum Batak yang dikenal 3-H, yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (kebahagiaan) dan Hasangapon (kehormatan).
“Bapak saya tak memandang itu sebagai suatu nilai yang akan diwariskan kepada anaknya. Beliau memiliki pikiran visioner jauh melampaui pandangan anak-anaknya, yaitu visi yang bisa membantu orang lain. Jadi konsep altruism sudah dilakukan sejak lama. Konsep menolong itu lebih tinggi nilainya ketimbang konsep kaya,” tukasnya
Dan sebagai seorang dokter kehidupan Gilbert tentu cukup terjamin. Walaupun kemampuannya bisa dikatakan di atas rata-rata, namun ia selalu mengajarkan anak-anaknya agar hidup cukup. Seperti pola asuh yang ditanamkan orangtuanya. Ia ingin mendoakan anak-anaknya agar menjadi manusia tangguh dan tak pernah menyerah. Dan Gilbert menitipkan sebuah pesan, menjadi dokter adalah pilihan dan panggilan hidup, bukan agar menjadi kaya. Sebab menjadi dokter, katanya, untuk menolong orang yang sakit.