Narwastu.id – Djarot Subiantoro yang kini berusia 58 tahun merupakan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB). Kini ia dipercaya sebagai Presiden Pasak Jakarta Indonesia di GYKOSZA. Dalam sebuah kesempatan kepada Majalah NARWASTU Djarot berbicara tentang pelayanan dan pendapatnya tentang kehidupan masyarakat di negeri ini. Djarot Subiantoro pernah dipercaya sebagai anggota Presidensi Distrik Jakarta di GYKOSZA (1991-1998), Presiden Kuorum Penatua Tangerang (1998-2002), Presiden Cabang Jakarta-Tangerang (2002-2007), dan anggota Presidensi Misi Indonesia Jakarta (2007-2011).
Pria yang akrab dipanggil Pak Djarot ini, selain giat di gereja, sekarang ia memimpin Indonet sejak 2011 dengan jabatan direktur utama. Ia pun pernah menjabat Direktur Utama Sigma Cipta Caraka (1995-2010) dan Account Manager IBM Indonesia (1982-1995). Selain itu, ia aktif di Asosiasi Piranti Lunak Telematika Indonesia sejak 2002 hingga sekarang. Berbicara tentang pelayanannya, Djarot mengenal Gereja Yesus Kristus dari isterinya semasa mereka mulai berteman. “Dia (istrinya) telah menjadi anggota sejak usia 9 tahun. Setelah mengikuti menjadi anggota pada tahun 1990, saya lebih memahami bagaimana mewujudkan ajaran bahwa ‘tanpa perbuatan iman adalah mati.’ Sehingga ketika ada kesempatan melayani, saya bersedia dan berusaha memenuhi tugas dan tanggung jawab. Dan ketika menjalankan pelayanan tersebut, wawasan kita dibukakan, misteri-misteri Allah dikuakkan. Dalam menghadapi tugas dan pelayanan kami diajarkan untuk tidak menghasratkannya, melainkan selalu mempersiapkan diri terhadapnya,” terangnya.
Djarot menuturkan istri dan anak-anaknya sangat mendukung kegiatan rohaninya. “Mereka sangat mendukung. Pertama dari isteri yang telah mengenalkan kepada gereja. Dan anak-anak telah tumbuh dan berkembang dalam budaya Injil atau gereja, sehingga menjadi sesuatu yang alamiah bagi mereka. Isteri dan anak-anak aktif di pelayanan dalam kapasitas dan penugasan mereka masing-masing,” cetusnya.
Berbicara soal pembagian waktunya di gereja, ia mengatakan, kita hanya dapat melakukan satu hal dalam satu saat, sehingga kegiatan-kegiatan di gereja, pekerjaan dan keluarga mesti dijalankan berdasarkan prioritas-prioritas. “Dari perspektif tertinggi (kekekalan) pelayanan kepada Allah di antaranya melalui gereja menempati prioritas tertinggi, karena pemahaman unsur rohanilah yang akan dapat menentukan arah dan prioritas dalam kepentingan unsur jasmani lain. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan Kebenarannya, maka semuanya akan dilimpahkan bagimu. Dengan arah dan panduan rohani, maka pilihan-pilihan kita dalam pekerjaan dan keluarga dimudahkan, disederhanakan, dihematkan,” tukasnya.
Djarot menambahkan, berkat terindah yang ia rasakan setelah giat di gereja adalah rasa bersyukur dan kedamaian. “Melalui pelayanan kepada sesamalah jalan yang diajarkan sebagai bentuk kasih kepada Allah. Rasa syukur dan kedamaian diperoleh dari pengetahuan kepastian akan kebenaran, perspektif kekekalan, segalanya dimulai dari perubahan diri sendiri, keluarga, lingkungan, masyarakat luas termasuk leluhur (ancestor) dan keturunan kita (posterity),” paparnya.
Sedangkan ciri khas dari Gereja Yesus Kristus di masyarakat, kata Djarot, yang paling tinggi adalah “Pengabaran Injil” baik melalui program misionaris penuh waktu anggota muda, upaya dan teladan kita sebagai anggota. Karena hal ini kami percaya sebagai upaya menemukan dan menyelamatkan sesama untuk mengikut Kristus dan menempuh jalan keselamatan di bumi maupun di kehidupan kekal.
“Berikutnya adalah upaya membangun kemandirian, disadari bahwa untuk dapat selamat secara rohani, setiap orang mesti selamat secara jasmani, dan itu melalui upaya-upaya diri kita sendiri, sehingga tidak selalu bergantung kepada orang lain. Dengan demikian kita dapat melakukan pilihan bebas tanpa paksaan dan tekanan dari luar. Terakhir menemukan yang miskin dan membutuhkan, yang lapar dan telanjang, menolong mereka dalam keadaan darurat untuk dapat kembali ke jalan keselamatan,” terangnya.
Gereja Yesus Kristus yang selama ini dikenal banyak melakukan aksi kemanusiaan di berbagai daerah bencana di Indonesia, katanya, semua yang dilakukan termasuk aksi kemanusiaan adalah rancangan dari jalan keselamatan yang diyakini. “Setiap bulan kami diajar untuk berpuasa melewati dua kali makan kita. Dimulai di internal anggota diajarkan untuk mempersiapkan diri dan keluarga dengan paket 72 jam, persediaan makanan setahun dan gudang uskup sehingga sewaktu-waktu terjadi bencana kita telah siap. Esensi dari melayani adalah menyatakan kasih atau berkorban seperti ajaran Yesus Kristus,” pungkasnya.
Djarot pun mengharapkan agar gereja-gereja di Indonesia terus semangat melayani masyarakat yang berasal dari berbagai suku, agama dan ras itu. “Bagi kami esensi melayani adalah menyatakan kasih, dan tidak melihatnya sebagai pengorbanan, melainkan kesempatan istimewa (privilege) yang diberikan Allah kepada kita untuk membantu sesama membawa kepada keselamatan melalui mengikuti dan menghidupi ajaran Yesus. Apa yang perlu dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia, menurut saya, melaksanakan ajaran-ajaran Injil secara murni dan konsisten akan meningkatkan perspektif atau wawasan kita, sehingga dapat melihat sesama sebagaimana orang Samaria yang baik hati memandang sesamanya. Menjadikan ‘Khotbah di Bukit’ sebagai jalan kehidupan bukan hanya kata-kata semata,” ujarnya.
Dan kepada warga gereja dan pemimpin gereja dalam menyikapi Pilpres 2019, Djarot berharap, kita mesti meyakini bahwa jalan demokrasi adalah jalan yang telah kita pilih dan terbaik bagi kita. “Hal ini memberikan hak pilihan bebas (free agency) kepada setiap pribadi untuk memilih, hal ini serupa dengan ketetapan Allah memberikan kepada manusia hak pilihan bebas bagi setiap tindakan mereka, dengan konsekuensi yang melekat kepada pilihan tersebut. Gereja juga mengajarkan dalam salah satu dari 13 pasal kepercayaan, ‘Kami percaya untuk tunduk kepada raja, presiden, penguasa, dan pejabat hukum, dalam mematuhi, menghormati, dan mendukung hukum,’” ujarnya.