Pers Penebar Optimisme

27

Pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2016 tahun ini yang berlansung di Kawasan KEK Mandalika Kuta, Praya, Lombok Tengah, NTB, pada Selasa, 9 Februari 2016, panitia HPN mengusung tema “Pers yang Merdeka Mendorong Poros Maritim dan Pariwisata.” Tema itu mengajak kita untuk secara serius kembali memandang ke laut, mengelola potensi yang terkandung di laut sehingga dapat menyejahterakan rakyat di negeri maritim ini. Tema ini sangat bagus nan menantang. Namun agar mampu memikul tugas tersebut, pers perlu berdiam diri sejenak merenungi diri. Sejauh mana, dengan keberadaannya saat ini, pers bisa melakukan “tugas mulianya” dengan merdeka.

Dalam peringatan HPN tersebut, Presiden Jokowi mengajak pers menebar optimisme, menjadi cahaya moral dan pembentuk karakter bangsa. Ini ajakan yang berat, tidak gampang namun mulia. Ajakan Presiden ini benar, sekaligus merupakan apresiasi tinggi atas potensi pers. Tentu saja, dengan kemerdekaannya, pers harus tetap kritis terhadap siapa pun, termasuk dan terutama kepada Pemerintah sebab Pemerintah bertanggungjawab terhadap hidup berartus-ratus juta anak negeri ini.

Atas tema HPN tersebut, secara “usil” dalam pikiran saya serta-merta muncul sebuah tema adaptatif yang bersifat menggugat, yakni “Jika pers tak berguna bagi kesejahteraan, dorong (buang) saja ke laut!” Pasti bukan tema atau pesan versi saya ini yang dimaksud panitia. Yang pasti, agar tidak dicampakkan ke laut, iya, pers harus berguna. Bagaimana caranya? Kembali ke semangat dasar pers itu sendiri.

Semangat dasar pers adalah mengabdi kepada masyarakat, terutama mereka yang tak berdaya, preferential option for the poor. Inilah esensi kemerdekaan itu. Bukan mengabdi kepada majikannya (pemilik modal) dengan segala kepentingannya. Pers juga bukan “makhluk bayaran” untuk kepentingan narasumber. Pers mestinya adalah teman seperjalanan masyarakat. Dengan begitu, tuan sesungguhnya dari pers merdeka adalah masyarakat. Pers haruslah pemberdaya, pemberi atau penebar optimisme!

Selain strategis, peran pers juga sangat mulia. Di sana ada peran kepedulian, option for the poor dan pemberdayaan. Dalam perspektif Kristiani, dari sono-nya, setiap orang wartawan (Kristen) menyandang tugas sebagai pewarta kabar baik. Hal ini dengan puitik ditulis penginjil Matius: Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah (Matius 10:27).

Pers Merdeka
Dunia pers itu unik. Modal uang bukan ukuran utama seseorang bisa, boleh atau dapat mendirikan media. Dan wartawan harus memiliki kualifikasi yang jelas, bukan asal mau, lalu jadi wartawan. Pemilik media dan para wartawannya harus menjadi orang merdeka terlebih dahulu—merdeka dari dan merdeka untuk. Terutama sang pemilik modal harus berjiwa besar tatkala “kepentingannya” diperlakukan secara merdeka oleh wartawannya. Sekali lagi, inilah keunikan dunia pers. Ada tuntutan untuk menjadi “malaikat.” Memilih dunia ini sebagai medan karya, maka harus bersedia juga menerima konsekuensi yang unik itu.

Sayangnya, banyak pelaku pers, baik secara kelembagaan maupun individu tidak menyadari hal ini. Tidak sedikit yang telah mengedepankan jurnalisme khianat demi tujuan jangka pendek dengan jurus “kuda kayu.” Mereka mengangkangi tugas suci pers demi kepentingan sesaat nan bernapas pendek. Dalam semangat itu, mereka tanpa malu-malu menampilkan wajah pers yang bengis, menikam dari belakang dan membunuh benih-benih keberdayaan yang sedang tumbuh dalam masyarakat.

Anehnya, bersamaan dengan itu, oknum tersebut menepuk-nepuk dada sebagai penjaga nilai demokrasi dan etika jurnalistik. Ini jelas-jelas adalah sikap khianat berbulu abdi setia. Kalau sikap khianat ini terpelihara, maka sesungguhnya, itulah sikap tidak merdeka dan sekaligus pisau teramat tajam yang membunuh jurnalisme itu sendiri. Dan inilah senjakala itu.

Seorang jurnalis atau media massa, menurut Wilbur Schramm (1950-an), ibarat juru tembak yang menembakkan peluru dari senjata di tangannya. Jika sang penembak memuntahkan peluru beracun, maka pelurunya itu akan membunuh siapa pun yang terkena. Pers kerap terjebak dalam permainan politis dengan memihak salah satu pihak dan menghantam habis-habisan pihak lain. Dan jelas, ini tidak mencerdaskan. Bahkan, inilah pengkhianatan sempurna terhadap diri sendiri dan publik yang semestinya pers abdi.

Pers sangat menentukan berbiaknya hal-hal buruk atau baik dalam masyarakat melalui senjata di tangannya seperti dimaksud Wilbur Schramm. Oleh karena itu, pers berkewajiban menyajikan informasi yang benar, berimbang dan terpercaya sebagai salah satu cara cerdas mencerahi masyarakat sekaligus mempertegas martabat pers itu sendiri. Inilah yang dimaksud oleh Presiden dengan ajakannya, agar pers Indonesia membangun optimisme dan menjadi cahaya moral bagi bangsanya sendiri.

Dengan posisinya yang sangat strategis, pers bisa sangat ampuh dalam membunuh di satu sisi, namun sangat potensial pula dalam memberdayakan. Maka tidak ada pilihan lain, pers harus bertobat dan kembali kepada hakikat kerja jurnalisme. Para pemilik modal yang masih menunggangi pers harus segera siuman untuk tidak menjerembabkan media berikut para pekerjanya ke lembah kelam tak bermartabat. Para wartawan pun harus memiliki keterampilan berkualitas yang dicerahi oleh kode etik jurnalistik dan moral pribadi. Hal lain yang wajib diingatkan adalah agar para pemilik media menjinakkan nafsu pragmatis kekuasaan mereka. Para pekerja pers dan pemilik media harus tetap memandang pemberdayaan masyarakat sebagai keutamaan yang wajib diperjuangkan.

Yakinlah! Jika media masih saja melayani nafsunya sendiri dan mengabaikan publik yang adalah tuannya, dari berbagai penjuru akan terdengar nyanyian nyaring masyarakat, “Karena pers tak berguna lagi, maka mari ramai-ramai membuangnya ke laut”.

Pers adalah medan karya yang agung! Jika pers abai dengan yang ia katakan atau “tembakkan” kepada publik tanpa memikirkan akibatnya, pers sendiri tengah bekerja secara tidak cerdas, tidak agung dan mencelakai public serta dirinya sendiri. Ahli komunikasi Harold J. Laswell mengatakan, komunikasi adalah soal who says what to whom by which with what effect.

* Penulis adalah adalah Ketua Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI) dan penulis buku “Orang-orang Hebat dari Mata Kaki ke Mata Hati.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here