Narwastu.id – Pada Senin, 22 Mei 2017 lalu, bertempat di Kantor LPBH (Lembaga dan Pelayanan Bantuan Hukum) YKI (Yayasan Komunikasi Indonesia), Matraman, Jakarta Timur, diadakan “Diskusi Serial Merajut Kebhinnekaan Memperkokoh NKRI” dengan tema “Membedah Putusan Hukum Ahok.” Diskusi yang dimulai pukul 17.00 dan selesai pada 19.30 WIB itu mengundang pembicara Dr. Merphin Panjaitan, M.Si, Bivitri Susanti, S.H., L.LM dan moderator Christiana Chelsia Chan, S.H., L.LM.
Menurut Bivitri Susanti, di Pilkada DKI Jakarta kemarin ada pihak-pihak yang menggunakan hukum, supaya Ahok (Ir. Basuki Tjahaya Purnama, M.M., Gubernur DKI Jakarta dan petahana) kalah dengan menuduhnya sebagai penista agama. Dan orang-orang non-Kristen diharapkan mereka agar jangan memilih Ahok. Mungkin sulit sekali untuk menjelaskan secara hukum. Pertama-tama kita harus melihat apa penyebab kasus ini lahir. Menurut Bivitri, ini penggunaan hukum dengan komponisasi hukum untuk memenangkan pilkada dengan cara tidak etis.
Pilkada memang dilakukan secara demokratis, tapi, katanya, caranya tidak etis waktu kampaye. Dan jika dilihat implikasi sosiologisnya, seperti menyiram bensin di tengah-tengah masyarakat yang mulai terbelah. Jadi seakan-akan jika ada minoritas yang melawan mayoritas, maka minoritas itu akan kena sanksi pidana. Ini, katanya, sesuatu yang sangat serius, dan tak boleh terjadi lagi di masa mendatang.
Sedangkan menurut Merphin Panjaitan, pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 memperlihatkan gejala berbeda dengan pilkada di daerah lain. Di luar kesadaran kita, barangkali juga dari para calon, tim sukses dan masyarakat Jakarta, terbelah. Tapi kemudian kita berusaha untuk mengerti demokrasi, berarti pemerintahan oleh rakyat. Rakyat mendirikan negara dan rakyat berdaulat atas negara yang didirikan. Negara dipercayakan menjalankan kekuasaan untuk melayani rakyat
Sesuai dengan kehendak rakyat dan nilai kesetaraan demokrasi bertolak dari asumsi dasar bahwa, setiap warga negara dewasa mampu ikut serta mengurus negara sebagaimana ia mampu mengurus diri sendiri. Demokrasi, ujarnya, mengakui semua manusia bermartabat dan punya hak-hak yang sama.
Di pemilihan umum, kata Merphin, rakyat secara bersama-sama memerintah diri mereka dengan memilih sebagian dari rakyat menjadi penyelenggara negara. Penyelenggara negara berlangsung atas persetujuan rakyat dan lain-lain. Kesempatan untuk menjadi penyelenggara negara ukurannya bukan asal-usul, ras, suku, agama, kedudukan atau kekayaan. Tapi ditentukan oleh pilihan rakyat. Pilihan rakyat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor di luar demokrasi.
Pilgub DKI Jakarta 2017 tak berlangsung di ruang vakum. Apa yang terjadi di Pilgub DKI Jakarta tidak hanya ditentukan oleh prinsip demokrasi dan berbagai peraturan yang berlaku, tapi ditentukan oleh pola pikir dan perilaku masyarakat DKI Jakarta. Faktor lain, Pilgub DKI Jakarta 2017 disertai berbagai faktor penentu di luar demokrasi. Faktor lain ini pengaruhnya sangat besar dan membuat Pilgub DKI Jakarta berbeda. Terjadi akibat sampingan, antara lain masyarakat Jakarta terbelah, lalu Ahok “menginap” di tahanan.
Inilah Indonesia hari ini, kata Merphin, hal yang sama akan terjadi di daerah lain. Misalnya, kalau di Provinsi NTT atau Bali ada pilgub (pemilihan gubernur) dengan komposisi calon seperti di DKI Jakarta, akan lebih baik kalau parpolk menyadari hal ini sejak awal. Belajar dari Pilgub DKI Jakarta 2017, penentuan calon membingungkan masyarakat. Dan calon gubernur bukan anggota partai. Fungsi rekrutmen politik oleh parpol belum optimal, ditambah ada politik kebencian, dan kampanye seperti genderang perang, ujaran kebencian meluap-luap dan membuat masyarakat Jakarta terbelah.
Seperti semua pihak sedang membangun kekuasaan di atas tumpukan kebencian. Tampaknya tradisi kampanye damai dan rasional belum membudaya. Parpol dan masyarakat perlu membiasakan diri hidup bersama dengan damai dalam semangat persaudaraan. Harus selalu diingat kita sebangsa dan setanah air.
Di Pilgub DKI Jakarta 2017 banyak warga masyarakat mengedepankan kebebasan individu. Disadari atau tidak, kebebasan itu sering digunakan untuk melukai hati saudara kita sendiri. Kita sering melupakan persaudaraan kita sebagai satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Mengapa persaudaraan begitu mudah dirusak, karena kita tidak sungguh-sungguh menanamkan nilai-nilai Pancasila. Tapi banyak dari antara kita justru menanamkan nilai-nilai lain, dan ini sering dibiarkan negara.
Pilgub DKI Jakarta 2017 adalah gambaran dari Indonesia kini. Sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat emosional dan berorientasi status. Dan agar bisa berdemokrasi dengan baik, masyarakat harus menjadi masyarakat rasional dan berorientasi prestasi.
Dan untuk itu, reformasi politik perlu disertai dengan reformasi ilmiah dan reformasi industri. Reformasi politik berintegrasi dengan reformasi ilmiah. Dan reformasi industri akan membuat masyarakat Indonesia menjadi masyarakat rasional berorientasi prestasi. Masyarakat rasional berorientasi prestasi akan memilih penyelenggara negara berdasarkan prestasi kerja calon dan partai pengusung. Bukan berdasarkan kesamaan SARA. JK