Narwastu.id – Lahir di Medan, pada 17 agustus 1954, Cartalyna Napitupulu dijumpai Majalah NARWASTU pada Selasa, 10 September 2024 di kediamannya di Apartemen 1 Park Avenue, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Cartalyna bercerita, ia pernah menjadi dosen Bahasa Perancis di Kampus UGM, Yogyakarta, dan pensiun di tahun 2019 lalu. Kakak kandung Ir. Edward Habonaran Napitupulu ini sempat mengecap pendidikan di UGM dan mendapat gelar SM (BA), lalu ia pernah melanjutkan kuliah di Mattrise Sorbonne Nouvelle, Paris, Perancis, pada 1981 bidang linguistik. Cartalyna pun menceritakan tentang perjalanan pelayanannya di Yogyakarta International Congregation yang sudah berjalan 29 tahun ini. Dia menerangkan, punya panggilan untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa, seperti ditulis di Yesaya 49.
Lalu, ia mulai berpikir kalau Tuhan memberi tugas baginya menjadi terang bagi bangsa-bangsa itu caranya bagaimana? Karena Cartalyna banya bergaul dengan orang-orang asing, apalagi ia pernah kuliah di Perancis selama lima tahun, jadi ia menerima Kristus waktu ia berada di Perancis. Ketika ia menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, ia merasa banyak orang seperti dia, yang hidup di gereja tetapi sebenarnya tidak tahu apa kekristenan. Jadi hanya ikut-ikutan saja. Saat itu sebenarnya ia masih ragu, apakah ia percaya Tuhan. Dan kadang Cartalyna merasa bahwa ia seperti ini adalah karena dia sendiri, bukan karena Tuhan. Tetapi ia disadarkan bahwa dia bukan siapa-siapa.
Dia melihat lingkungannya di tengah-tengah orang asing, dan Cartalyna merasa panggilannya untuk orang asing. Kemudian ia ingin pergi ke luar negeri, tapi mentor Cartalyna bilang, ia tak harus pergi ke luar negeri, karena di sekitarnya banyak teman-temannya orang asing. Tapi masalah yang dihadapinya saat ini, ia kurang menguasai Bahasa Inggris. Selanjutnya ia mencoba untuk kursus Bahasa Inggris, tapi ia sering kena drop out gara-gara sering tidak masuk kursus, lalu tidak diizinkan mengikuti kursus Bahasa Inggris. Dan satu-satunya cara Cartalyna adalah ia harus pergi ke luar negeri. Dan keinginan itu terus Tuhan ingatkan kepadanya, sampai akhirnya Cartalyna bisa pergi ke Australia.
Berikutnya ia mengikuti pelayanan navigator, akhirnya Cartalyna menjadi pemimpin Rumah Latihan Asian Navigator. Nah, di sini ia melatih banyak orang Cina serta dari berbagai negara yang berlatar belakang non-Kristen, yang sama sekali belum pernah melihat Alkitab. Dan akhirnya orang-orang ini banyak yang menerima Kristus, dan mau dilatih, lalu mereka pulang ke negaranya. Dan inilah cara Cartalyna melayani Tuhan dan mencapai dunia. Selanjutnya ia pulang ke Indonesia, dan ia berkenalan dengan seorang anak bernama Debora, yang saat itu anak ini tertarik untuk ikut Bible Study di Indonesia.
Dan anak ini mencari komunitas berbahasa Inggris. Lalu Cartalyna menemani Debora dan bergabung dengan komunitas Yogyakarta International Congregation, dan komunitas ini sudah berdiri dua tahun lalu. Komunitas orang asing di Hotel Radison itu, baru dua minggu Cartalyna bergabung di komunitas itu, lalu istri dari misionaris mengatakan kepadanya supaya Cartalyna berdoa dan masuk ke timnya. Dan ia sempat merenung, kok, itu seperti doanya bertahun-tahun lalu. Cartalyna tidak punya alasan untuk menolak walaupun ia merasa bukan orang kreatif dan tidak bisa memberi kontribusi. Tapi, kala itu istri si misionaris bilang kepadanya, ia ingin orang Indonesia yang menggantikan mereka, jadi esoknya ia disuruh ke situ,
Pasalnya, kemungkinan misionaris itu akan pulang ke negaranya sewaktu-waktu. Dan sebagai orang asing tentunya seringkali mereka tidak mengerti budaya Indonesia. Sehingga mereka sering kesulitan menerapkan visi dan misi mereka di Indonesia. Jadi istri si misionaris ingin ada orang Indonesia yang mengasihi Allah yang bisa meneruskan visi dan misinya di Indonesia. Pada tahun 1997, lalu ia ditunjuk sebagai Bendahara Komunitas Yogyakarta International Congregation. Visi dan misinya, yaitu menjangkau orang asing yang tidak bisa ke gereja, karena terbentur masalah bahasa. Dan dengan berjalannya waktu, visa untuk orang asing di Indonesia semakin sulit. Jadi jemaat yang datang berkurang, dan para misionaris tidak mendapatkan izin perpanjangan lagi. Lama kelamaan Cartalyna menjadi orang kunci di komunitas Yogyakarta International
Congregation.
Misi komunitas ini menjangkau dunia. Mereka juga mendekati orang-orang Indonesia yang ingin belajar bahasa Inggris. Dan daya tariknya di gereja ini cuma ada satu-satunya di Yogyakarta. Dan orang asing paling aman mencari teman di gereja. Yogyakarta International Congregation sekarang masih ada di kampus-kampus di Yogyakarta. Gereja ini berdiri sendiri, tidak ada pendeta, bebas dengan policy sendiri. Mengenai pendanaan Yogyakarta International Congregation ini, karena komunitas ini kecil dan jemaatnya kebanyakan mahasiswa, waktu itu Yogyakarta International Congregation masih dilaksanakan di hotel yang memerlukan dana sejumlah Rp 1.500.000 untuk sekali pertemuan
Dan itu dipakai satu juta untuk biaya sewa hotel, kemudian lima ratus ribu untuk pembicara, pemain musik, dan belum yang lain-lain. Dananya berasal dari persembahan. Jadi, katanya, bisa dibayangkan dengan orang sebanyak tiga puluhan. “Dan tiap Minggunya itu terdiri dari mahasiswa. Berapa sih persembahannya,” ujarnya. Tetapi Cartalyna bersyukur karena Yogyakarta International Congregation bisa terus berjalan selama 29 tahun, yang awal mulanya didirikan oleh GM-nya Hotel Radison. Saat ini, katanya, ada beberapa mahasiswa penulis skripsi dari berbagai sekolah teologia yang menulis tentang kekuatan dari Yogyakarta International Congregation. Menurutnya, kekuatannya adalah karena kasih persahabatan yang ada di dalamnya. Jadi ketika anggotanya pulang dan pergi, mereka punya kerinduan untuk datang berkunjung. Bahkan, mereka ada yang kirim uang atau beli kue.
Cartalyna bersyukur sewaktu ia aktif di Kampus UGM ia mengajar Agama Kristen. Di UGM ia diberi kepercayaan untuk mementor anak-anak yang tertarik belajar Alkitab. Di UGM Cartalyna juga melihat ada masjid yang besar, tapi kenapa tidak ada sebuah wadah bersekutu bagi warga gereja. Akhirnya, setelah cukup lama ia berdoa, keluar juga izin untuk bisa membangun sebuah persekutuan bagi warga gereja di kampus itu. Tapi tidak boleh dibiayai sendiri, jadi dibiayai oleh Kampus UGM. Selanjutnya setelah rapat, ada keputusan bahwa Cartalyna yang pegang wadah persekutuan yang interdominasi itu. Dan wadah itu tidak terikat pada gereja-gereja lain, lalu akhirnya dibentuklah sebuah wadah persekutuan atau tempat ibadah di Kampus UGM bernama Graha Pembinaan Umat Kristen
Wadah untuk beribadah itu, katanya, bersifat persekutuan dengan sistem persembahan. Dan satu hal yang menguntungkan, kata Cartalyna, kalau ada pembicara dari luar yang ingin bertemu atau mencari tempat untuk sharing, atau ada penginjil yang tidak terikat oleh satu gereja, bisa menghubungi Cartalyna agar bisa memakai ruangannya. Walaupun saat ini Cartalyna geraknya terbatas, tetapi panggilannya untuk menjadi hamba Tuhan itu seumur hidup. Jadi meskipun ia sudah pensiun, tapi ia tetap menjadi mentor untuk orang Kristen. JK