Pdt. Sapta B. Siagian, M.Th Lulusan LEMHANNAS dan Rohaniwan yang Pancasilais

367
Pdt. Sapta B. Siagian, M.Th. Pendeta berjiwa Pancasilais.

Narwastu.id – Pdt. Sapta Baralaska Siagian, M.Th, yang dikenal Pemimpin Redaksi Tabloid “Solafide” dan Wakil Ketua Umum BPP PERWAMKI (Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia) tak bisa melupakan hari bersejarah, Rabu malam, 21 Februari 2018 lalu. Pasalnya, waktu itu ia mendapat penghargaan (award) bergengsi atas prestasinya setelah menulis artikel berjudul “Membumikan Pancasila Melawan Radikalisme.” Dan TNI Angkatan Darat yang mengadakan acara lomba penulisan itu menilai, gagasan atau tulisan Pdt. Sapta Siagian yang juga lulusan LEMHANNAS (Lembaga Ketahanan Nasional) cukup berbobot dan visioner.

Acara pemberian penghargaan yang diadakan di Balai Kartini, Jakarta, ini cukup meriah serta dihadiri banyak tokoh nasional dan Pangdam seluruh Indonesia. Pdt. Sapta Siagian bersama sejumlah tokoh media massa, seperti Pemimpin Redaksi Kompas TV, Rosiana Siahaan pun dianugerahi penghargaan serupa oleh TNI Angkatan Darat. Dan hadir memberi penghargaan tersebut Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal TNI Mulyono. Pdt. Sapta Siagian yang juga pengurus Sinode Gereja Sahabat di Indonesia (GSI) mengatakan, ini anugerah Tuhan buatnya.

Pdt. Sapta mengatakan, “Terima kasih atas dukungan dan doa dari para sahabat saya, terutama teman-teman di PERWAMKI yang selama ini memotivasi saya di dunia penerbitan media Kristiani.” Ketua Umum BPP PERWAMKI, Dr. Yusak Tanasyah, M.Th, M.Pdk pun menyatakan selamat dan sukses terus bagi kader-kader PERWAMKI, seperti Pdt. Sapta yang bisa meraih prestasi di tingkat nasional dan lembaga yang disegani, yaitu TNI Angkatan Darat.

“Tuhan Yesus kiranya terus memberkati teman-teman di PERWAMKI yang tak pernah bosan berkarya di tengah gereja dan masyarakat. Jerih payah kita tak akan sia-sia bila kita memuliakan Tuhan. Dan PERWAMKI pun telah ikut berkontribusi memberikan pemikiran untuk persatuan serta kemajuan bangsa dan negara ini,” pungkas Yusak Tanasyah yang juga pimpinan sebuah perguruan tinggi teologi dan Pemimpin Redaksi Majalah “Berita Baik“.

                Tulisan Pdt. Sapta Siagian berjudul “Membumikan Nilai Pancasila dalam Menghadapi Radikalisme” memang menarik disimak anak negeri ini. Dalam tulisannya itu, pria yang juga dosen di sekolah tinggi teologi ini memaparkan, hakikatnya Pancasila bukan merupakan suatu ideologi kaku, namun Pancasila bersifat reformatif, dinamis dan terbuka. Pancasila senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun demikian, berdasarkan konsep eksperiental, sampai dengan saat ini Pancasila masih sangat minim dalam hal pendalaman dan implementasinyapun masih sangat kurang ditanamkan di dalam bangku pendidikan formal di Indonesia. Para founding fathers kita yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, mencetuskan Pancasila sebagai dasar negara, merupakan harapan yang sangat mulia, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara utuh, yang mampu menjawab tantangan zaman.

Lebih jauh lagi para pendiri bangsa menginginkan, bagaimana Pancasila tersebut bisa mengakar pada ideologi masyarakat yang berbeda suku, budaya, bahasa dan agama serta menjadikan mereka harmonis dalam satu kesatuan. Tidak bisa ditampik, bahwa dominasi dan perbedaan yang melekat dalam tubuh negara, senantiasa menimbulkan gesekan dan potensi konflik yang berkepanjangan.  Fenomena sosial seperti ini, bila terus dibiarkan akan melahirkan bibit-bibit pemikiran radikal, hingga berupa tindakan-tindakan radikal.

Ada beberapa hal yang bisa memicu tindakan-tindakan radikal, di antaranya pemahaman agama yang salah, Frustrasi dan terpinggirkan atau dipinggirkan. Dari alasan dan penjelasan di atas, maka bagaimana peran negara dapat memelihara rakyatnya? Dan bagaimana peran negara dalam melindungi hak-hak warga sipil yang dinaunginya? Jika Pancasila telah benar-benar melekat dalam jiwa, dan hati para tokoh negara, maka seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang makmur dan sejahtera dalam hidup maupun kehidupan. Secara jujur, bila kita melihat kondisi masih ada daerah-daerah yang terpinggirkan, dan belum mendapatkan keadilan dalam hal pembangunan. Finansial lebih diutamakan sebagai aset, ketimbang rakyat. Kearifan lokal tergerus dan secara tidak sadar rakyat digiring menjadi manusia konsumtif.

Namun bagaimana nasib mereka saat ini? Tak sedikit rakyat adat yang dipaksa untuk rela terusir karena kebijakan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) di kawasan-kawasan pemukiman adat.  Dari hal-hal semacam inilah yang akhirnya memunculkan bibit pemikiran dan tindakan radikal sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang mereka dapatkan. Seharusnya ini menjadi sebuah pemikiran penting, yang dilanjutkan dengan perubahan sikap individu dalam memaknai dan meresapi nilai-nilai Pancasila. Nyatanya  masih banyak yang menganggap Pancasila sebagai semboyan pelafalan saja, yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Bila kita bertanya, mengapa keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang dapat menjadi filter bagi masuknya berbagai ancaman dari luar dirasa kurang berhasil, dan apa sebabnya? Pertanyaan muncul di benak kita, mengapa masih ada sekelompok masyarakat Indonesia menjadi “radikal” sehingga kehilangan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang pernah muncul dengan nama harum di dunia, antara lain sebagai pemersatu negara-negara dunia ketiga, penggagas Konferensi Asia-Afrika, duta perdamaian dan banyak lagi contoh lain.  Bahkan sekarang julukan yang tidak enak didengar mampir di telinga kita, sebagai negara “sarang teroris.”

Terorisme di Indonesia muncul di saat yang sama dengan dekade, di mana bangsa ini melupakan Pancasila. Tidak pernah lagi Pancasila benar-benar dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal para pendiri NKRI sejak awal menyatakan bahwa penyelamat, pemersatu, dan dasar negara kita adalah Pancasila.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here