Narwastu.id – Buku punya pengaruh untuk mengubah, bahkan bisa jadi pintu masuk untuk pada sejarah, bahkan disebut “jendela dunia” yang bisa mengarungi jagat raya. Artinya, di balik sebuah buku dapat tersimpan suatu kekuatan hebat. Ada ungkapan bijak menyebut, orang yang hebat adalah orang yang tak pernah melupakan asal-muasalnya yang di dalamnya tersemayam budaya. Dalam konteks ini, orang Batak disebut suku yang menjunjung kebesaran budayanya. Tetapi, itu dulu, sekarang militansi orang Batak sudah berubah, terutama generasi mudanya, sebagian mereka malu mengaku orang Batak.
Oleh alasan St. DR. PTD Sihombing menulis buku bertajuk 7 Alasan Saya Bangga Menjadi Orang Batak. Saat ditanya mengapa itu judulnya, dia menyebut, orang Batak generasi muda sekarang tak lagi bangga jadi orang Batak. Melihat kenyataan itu, sosok yang sudah sepuh ini menyebut hal ini alarm, mengingatkan orang Batak agar cinta pada budayanya.
Penulis mengamati dampak antara generasi muda Batak masa kini, bahwa, kenyataan memang ada yang sudah enggan mengaku diri sebagai orang Batak. Maka buku ini menjadi cara untuk menunjukkan kebanggaan itu. Menurutnya, di sinilah perlunya menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai budaya Batak diungkap.
Terbitnya buku ini, bermula dari usulan penerbit dan sekaligus editor, Polmas R. Sihombing. Dia yang meminta penulis untuk menulis tema yang mengangkat sejarah perjumpaan orang Batak dengan agama Kristen, dengan nilai-nilai budaya Batak yang dihubungkan dengan keberhasilan orang-orang Batak di masa lampau, yang pada nadirnya membentangkan kebanggaan terhadap budaya Batak itu sendiri.
Menurut penerbit, proses penulisan buku ini panjang nan berliku. “Beberapa kali saya mengajukan tema ini untuk ditulis. Tak langsung diterima penulis. Satu waktu kami terlibat bincang-bincang, saya mengatakan, belum ada buku Batak yang konsen membahas hal ini. Atas dasar itulah penulis menerima tawaran tersebut,” ujarnya.
Lagi, buku ini merupakan perwujudan dari tanggung jawab dan kontribusinya untuk generasi muda Batak, karenanya, diharapkan mampu memberikan motivasi kepada generasi muda Batak dalam peran sertanya memajukan kehidupan dunia, tanpa harus meninggalkan akar sejarah dan jati dirinya dan karya-karya generasi muda sebelumnya, seyogyanya mampu membuat mereka bangga menjadi orang Batak.
Tentulah, penulis berharap buku ini mampu mengajak kaum muda Batak agar bangga pada budayanya, bangga pada sejarahnya. Nah, untuk meningkatkan kecintaan dan kebanggaan terhadap budaya Batak tersebut, kita beri referensi dari literasi ini. Dalam buku ini juga ditambatkan tokoh-tokoh Batak yang berhasil yang jarang diketahui publik. Hanya saja, belum detail, dan terkesan hanya profil jadi testimoni pendek terhadap sosok tersebut.
Penulis menambahkan, buku ini diterbitkan sebagai sumbangsih pemikiran dan kebanggaan terhadap budaya Batak. Intinya, untuk mengajak dan mengarahkan generasi muda Batak untuk dapat kembali merasa bangga menjadi orang Batak (Kebatakan bahasa: Inggris: Bataknees) yang dirumuskan dalam tujuh bab.
Satu bab pertama membahas orang Batak sebagai umat yang diberkati. Di bab ini dijelaskan peran dan interkoneksi, dan anugerah yang diterima orang Batak. Dimulai dari cerita wilayah yang terisolasi, lalu masuk ke era pendudukan kaum Padri, baru masuknya Injil, sebagai tercurahnya sinar terang Kristus di tanah Batak. Maksud zending, lalu Munson-Lyman jadi martir. Kemudian Nommensen, hingga lawatan kemajuan pendidikan di Tanah Batak oleh peran zending. Semuanya bisa disebut rahmat yang tersembuyi. Dimulai dari doa Nommensen sebelum memulai pelayan; “Tuhan, hidup atau mati, biarlah aku tetap tinggal dengan bangsa ini untuk menyebarkan firmanMu. Amin.”
Bahwa, buah dari terang Kristus di tanah Batak membawa kemajuan pendidikan, mulai belajar hidup bersih dan memberantas penularan penyakit lewat lembaga kesehatan, termasuk perbaikan gizi di masyarakat Batak waktu itu dan pembinaan ekonomi rumah tangga. Tentu, di ujung bab tersebut dibuat semacam resume bahwa semuanya karena anugerah sinar terangNya yang telah merespons lawatan Injil yang di bawah zending Eropa ke orang Batak kala itu.
Tentu kita berharap semoga buku ini dibaca, terutama generasi muda sebagai pelanjut generasi Batak berikutnya, terutama mereka yang berjalan di tengah-tengah pencarian jati diri menemukan kebanggaan sebagai Batak, yang konsisten dalam kata-kata, bicara apa adanya, dan selalu menjaga hubungan kekerabatan sebagai mana nilai-nilai yang telah tersemayam nun jauh di abad-abad lalu, dalam sanubari nenek moyang orang Batak. HM