Refleksi Atas Hari Pers Nasional 2022

* Oleh: Viktus Murin

175
Penulis bersama Ketua MPR-RI dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo (kiri).

Narwastu.id – Pada 9 Februari 2022, masyarakat pers kembali memperingati Hari Pers Nasional (HPN). Puncak peringatan HPN kali ini dipusatkan di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Presiden Jokowi “hadir” melalui layar virtual dari Istana Bogor. Ikut mendampingi Presiden Jokowi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate. Turut hadir secara daring Menteri Komunikasi dan Multimedia Malaysia H.E. Mr. Tan Sri Annuar Haji Musa.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang berlatar belakang karier sebagai wartawan, hadir langsung di Kota Kendari demi membagi spirit dan motivasi kebangsaan kepada insan-insan pers nasional. Turut hadir di lokasi acara, antara lain Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali, Wakil Ketua DPD-RI Letjen TNI (Purn.) Nono Sampono, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, dan Ketua PWI Pusat Atal S. Depari. Para duta besar negara sahabat, antara lain Duta Besar Rusia H.E. Mrs. Lyudmila Georgievna, Duta Besar Europan Union H.E. Mr. Vincent Piket, dan Duta Besar Ceko H.E Mr. Jaroslav Dolecek.

Seusai gelaran acara puncak HPN 2022 kepada para wartawan di lokasi acara, Bamsoet memastikan sikapnya untuk mendukung langkah Presiden Jokowi yang akan menghadirkan aturan mengenai publisher right (hak penerbit), dalam kerangka menghadirkan ekosistem digital dengan kompetisi yang adil antara pers dengan platform digital global, seperti Google, Facebook, YouTube, Twitter dan lainnya. Hal mana untuk memperkuat pers nasional yang tidak hanya sehat secara ketentuan jurnalistik, melainkan juga sehat secara ekonomi. Sekaligus mencegah terjadinya praktik feodalisme digital.

Dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Prof. Dr. Alo Liliweri, M.S. menyarankan kepada para pihak penyusun regulasi perundang-undangan di negeri ini agar mempersiapkan keberadaan undang-undang media berbasis komputer (computer mediated communication). Guru besar ilmu komunikasi yang menulis buku “Konfigurasi Dasar Terori-teori Komunikasi Antarbudaya” ini, mengatakan, UU yang mengatur media berbasis komputer berperan penting mengingat semakin massifnya aktivitas media sosial (medsos). Menurut Prof Alo, pelibatan massa harus “diatur” untuk mengantisipasi setiap pelanggaran dalam penyelenggaraan media online, kontrol terhadap konten, dan lain sebagainya. “Tidak bisa diharapkan dari UU ITE semata,” tegas doktor komunikasi lulusan Universitas Padjajaran, Bandung ini, seperti dikutip portal online MediaNTT, pada Selasa malam (8 Februari 2022).

Penulis, saat masih menjadi wartawan koran harian “Pos Kupang” sekira tahun 1993 silam. Mewawancarai Menteri Kehutanan RI, Djamaloedin Soerjohadikusumo, di Bandara Eltari Kupang. Tampak mendampingi Menhut Djamaloedin, Gubernur NTT Mayjen TNI Herman Musakabe.

Memerangi Hoax, Hate Speech, dan Intoleransi

Merujuk pada sejarah pers nasional, tak dapat dipungkiri bahwa pers kita adalah “pers perjuangan”, yang semenjak awal terlibat menggelorakan semangat revolusi kemerdekaan, mengisi kemerdekaan dengan pembangunan (Pers pembangunan), serta menerangi arah dan jalannya gerakan reformasi (Pers Reformasi). Linear dengan misi suci (mision sacre) untuk menjaga kepelbagaian, pluralitas, dan atau kemajemukan bangsa, pers nasional kita pun kental dengan internalisasi nilai-nilai luhur Pancasila (Pers Pancasila). Puji Tuhan, syukur alhamdulilah, negeri kita, nusantara Indonesia tercinta ini, adalah negeri yang sempurna dari aspek kepelbagaian; suku, agama, ras, golongan, keindahan alam, potensi sumber daya alam, dan potensi sumber daya manusia. Indonesia ini menjadi indah karena kepelbagaiannya. Inilah kekuatan bangsa Indonesia yang ada secara given (terberikan); merupakan anugerah kasih setia Allah Yang Mahakuasa, Allah Maha Pengasih dan Penyayang.

Oleh karena itulah, segala hal yang berkecenderungan merusak aspek kemajemukan bangsa Indonesia, haruslah diperangi secara tegas. Terhadap realitas kemajemukan bangsa inilah, pers nasional mesti berdiri dan berpihak. Pers nasional mesti menempuh pilihan sikap yang tegas dan terang-benderang, untuk menyatakan perang terhadap segala bentuk pengrusakan realitas kemajemukan bangsa seperti berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), dan hasutan intoleransi.

Bersamaan dengan itu, pers nasional mesti selalu dan terus tampil di garda depan untuk memperjuangkan keadilan bagi yang berhak; entah itu hak individu warga negara maupun hak-hak kolektif negara. Inilah konskuensi pers yang berpihak pada dimensi kebenaran. Sebaliknya pers nasional pun tidak boleh bersikap diam-diam saja, setiap kali ada penindasan hak warga negara oleh warga negara dan atau oleh negara. Pun tidak boleh diam-diam saja atau bersikap cuek bila ada oknum-oknum penyelenggara negara di semua level, yang melakukan pelanggaran hukum entah itu skandal korupsi, skandal amoral, dan atau skandal tipu-tipu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dalam hal dimensi kepatutan publik, pada masa lalu, kendati para pendahulu di lingkungan pers nasional berhadapan dengan ruang ekspresi yang amat sempit dan terbatas akibat cengkeraman kuku kekuasaan rezim penguasa, tetapi sikap elegan untuk merawat kemajemukan selalu kokoh dipertahankan. Mendiang Valens G. Doy (wartawan nasional yang berintegritas tinggi di zamannya, dan menjadi guru pers dari banyak wartawan idealis) pernah mengatakan, ada konvensi atau hukum tak tertulis yang mesti menjadi pegangan kalangan pers, selain “rumus pokok” 5W1H (what, who, when, where, why, dan how) dan “konfirmasi dua pihak” (cover both sides), yakni soal fakta. Valens Doy berkata, “Tugas profesional dan keharusan moral wartawan adalah memberitakan fakta. Tetapi, tidak semua fakta harus diberitakan.” Fakta yang tidak harus diberitakan itu antara lain ucapan narasumber yang bisa memicu sentimen SARA di ranah publik, urusan privat seseorang yang hanya menjadi rahasia keluarganya, atau menyinggung kekurangan fisik seseorang dalam pemberitaan.

Menyuarakan Kabar Baik

Hari-hari ini, di zaman di mana penetrasi teknologi media digital begitu dominan, peran moral dari pers nasional semakin dibutuhkan. Informasi yang berseliweran di media sosial sangatlah sulit terverifikasi kadar kebenarannya. Muncul fenomena, pengguna medsos seolah-olah telah pula berperan sebagai wartawan untuk memberitakan diri dan aktivitasnya, pun diri dan aktivitas teman-teman di habitat sosialnya.

Bahaya bias informasi terlihat nyata pada aksi “wartawan ala medsos” ini. Tulisan pada status yang disajikan tentu saja tidak berbasis pada kaidah-kaidah dasar jurnalistik sesungguhnya. Pokoknya tulis saja dulu, akibatnya tak menjadi prioritas pertimbangan. Inilah yang membuat medsos tampak seperti pasar bebas informasi yang sejatinya tak berkualifikasi informasi. Dalam situasi dampak medsos yang serba tak pasti itulah, peranan pers nasional semakin dibutuhkan untuk menjadi “batu penjuru”; kiblat informasi bagi bangsa dan negara kita tercinta. Bertalian dengan ini, maka pers nasional kita, termasuk di dalamnya media-media Kristiani, dituntut untuk terus “menyuarakan kabar baik” bagi kepentingan dan atau kemaslahatan seluruh bangsa.

Menyuarakan kabar baik itu tidak lalu berarti bahwa pers nasional membiarkan dirinya menjadi subordinat dari pemerintah/negara, atau para pihak lainnya. Menyuarakan kabar baik itu sejatinya bermakna tetap bersikap independen dalam pemberitaan atas fakta-fakta, dan informasi yang disajikan itu dapat bermuara pada suasana damai sejahtera, harmoni sosial, dan sukacita kolektif bangsa. Pada titik ini, sikap kritis pers nasional wajib dipertahankan. Kritik yang tajam yang disampaikan dengan nuansa santun dan bermartabat, berpotensi menjadi obat penyembuh bagi berbagai bentuk ketimpangan sosial. Inilah sisi lain manfaat dari keberadaan pers nasional, yakni memperkuat pembangunan karakter bangsa (nation and character building) sebagai bagian tak terpisahkan dari implementasi pembangunan nasional. Selamat Hari Pers Nasional 9 Februari 2022. Dirgahayu Pers Indonesia.

 

* Penulis adalah Tenaga Ahli Ketua MPR-RI Bambang Soesatyo, dan Koordinator Majalah NARWASTU untuk wilayah Indonesia Timur.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here