Bagi kita yang memiiki hobi keluar masuk pasar tradisional di manapun di wilayah Indonesia, pasti akan sepakat bahwa jumlah perempuan selalu lebih banyak dibandingkan dengan pria di dalam pasar. Baik para pedagang, pegawai, maupun pengunjungnya selalu lebih banyak kaum perempuan.
Tahun tujuhpuluhan, kala saya masih duduk di bangku SMP, saya sudah membantu berjualan di warung kelontong milik Ibu saya. Bukan Bapak saya yang menjadi pengusaha utama warung kecil, tapi ibu saya. Karena lokasi warung Ibu saya berada di daerah pusat jualan (pasar informal seminggu sekali) di sebuah kota kecamatan, maka banyak penjual-penjual lain berbaur di lokasi tersebut. Saya amati mayoritas penjual dan pembelinya adalah perempuan. Pada tahun 80-an mana kala saya kuliah di Yogyakarta, saya senang sekali keluar masuk Pasar Beringharjo dan Pasar Ngasem. Kembali saya amati bahwa jumlah perempuan selalu mendominasi di dalam pasar.
Pada tahun 90-an saat saya bekerja di Jakarta dan kantor saya berada beberapa lantai persis di atas pasar tradisional Pasar Baru (Gedung Metro Atom), saya juga mengamati bahwa pengunjung dan penjual di pasar tersebut mayoritas adalah perempuan.
Belakangan pada tahun 2000-an ini, pekerjaan saya banyak berada di berbagai kota dari Padangsidempuan (Sumatera Utara) sampai Merauke (Papua), dari Palu (Sulawesi) sampai Atambua (NTT). Hampir di semua kota yang saya kunjungi, selalu saya melihat dan mendapati yang berada di pasar mayoritas adalah perempuan. Di Papua tidak ada pasar Papa-Papa, yang ada Pasar Mama-Mama. Begitu juga manakala saya bertugas ke kota-kota di Afrika: Nairobi (Kenya), Windhoek dan Walvis City (Namibia), Kigali (Rwanda), Bukoba (Tanzania), dan Goma (Congo), fenomenanya hampir sama, selalu mayoritas perempuan yang berada di pasar. Juga mana kala saya bertugaske Colombo (Sri Lanka) tampak perempuan juga mendominasi pasar-pasar.
Bagaimana di negara maju? Saat saya berada di Hawai yang merupakan negara bagian Amerika Serikat, dan saat saya berada di beberapa kota di Jerman, meski nyaris sudah tidak ada pasar tradisional lagi, fenomena di mana perempuan lebih dominan jumlahnya di pusat-pusat pembelajaan juga dialami.
Ternyata kenyataan di atas juga diungkap hasil survei dan prediksi Brown A. & Weiner E., 2006, dalam Future Think, (Prentice Hall, New Jersey). Dikatakan bahwa peran perempuan semakin menonjol. Banyak keputusan-keputusan penting dalam hidup yang berhubungan dengan konsumsi ditentukan oleh perempuan. Pemenuhan kebutuhan perempuan mendominasi aktivitas bisnis di segala industri.
Meskipun kesetaraan gender selalu didengungkan di berbagai pelosok negeri dan secara internasional. Bahwa perempuan itu sederajat dengan kaum pria, namun fenomena di mana perempuan lebih banyak menjadi pelaku usaha dan pengambil keputusan dalam konsumsi keluarga, bisa menjadi pembelajaran dalam rangka mengembangkan entrepreunership di negeri ini. Peran perempuan justru tampak lebih mendominasi dibandingkan peran laki-laki.
Secara alamiah dan genetis ternyata pada umumnya mayoritas perempuan memiliki naluri bisnis yang lebih bagus dibandingkan dengan kaum pria. Pekerjaan di dapur dapat menjadi embrio bisnis rumah makan dan restoran. Pekerjaan merawat dan membersihkan rumah dapat menjadi embrio bisnis penginapan dan hotel. Pekerjaan membuat pernik-pernik yang mampu menghias rumah dapat menjadi embrio bisnis kerajinan dan industry kreatif. Pekerjaan merawat dan mendidik anak di rumah dapat menjadi embrio bisnis les privat dan pendidikan nonformal lain.
Sama seperti pertanyaan mengapa Brazil selalu melahirkan pemain-pemain sepakbola terbaik di dunia? Karena sejak sebelum dilahirkan semua anak-anak Brazil sudah diajak main sepakbola di mana saja. Nalurinya terbangun dan keterampilannya terasah secara sistematis. Semuanya menjadi konstruksi final – pemain sepakbola handal. Anak-anak memiliki bakat, klub-klub sepakbola bekerja efektif, gelaran kompetisi liga berjalan rutin, akhirnya panenlah pemain handal dari Brazil.
Bila kita ingin membangun insan-insan entrepreuner di negeri ini, yang jumlahnya masih jauh dari angka minimal, maka tidak bisa diabaikan bakat, genetis dan bawaan kaum perempuan dalam berbisnis. Secara ekstrem, pemerintah tidak menyentuh merekapun, mereka tetap berjualan dan berdagang dengan segala kemandiriannya.
Industri apa saja pastilah membutuhkan sentuhan perempuan. Membangun entrepreuner adalah membangun mental, etos dan perilaku yang selalu mampu melahirkan nilai tambah dan keunggulan. Dengan keberadaan perempuan yang secara alami sudah mampu memiliki ketiga hal di atas (meski dalam ukuran tertentu), maka yang dibutuhkan berikutnya adalah ajang pengembangan-pengembangan melalui berbagai ajang kompetisi dan diberikan berbagai insentif bagi yang mampu melakukan inovasi-inovasi.
Jangan abaikan perempuan dalam segala hal. Terutama dalam pengembangan entrepreunership negeri ini. Tidak ada Bapak Pertiwi dan Bapak Kota, yang ada Ibu Pertiwi dan Ibu Kota.
* Penulis adalah Founder &CEO SHI Consultant – Strategic Consulting, Training, Outsourching& Research.Dapatdiikutijuga di youtube: triyonosigit